Kenangan pada sebuah Sarapan Pagi Penuh Dusta

Spread the love

Judul: Sarapan Pagi Penuh Dusta
Penulis: Puthut EA
Tebal: vi +102 hlm
Penerbit: Mojok
Cetakan: IV, 2017
ISBN: 978-602-1318-58-4

***

Sarapan Pagi Penuh Dusta (SPPD) sepintas lalu, saya dan pembaca pada umumnya langsung terjebak pada judul ini. Judul yang boleh dikatakan sudah menjual segala isi yang ada di dalamnya pun seraya kita bertanya adakah sarapan pagi itu penuh dusta? Sampai pada titik ini, saya tidak menjawab pertanyaan itu dan lalu memuaskan pembaca.

Setiap kita diberikan kemampuan untuk menelaah yang tak bisa kita samaratakan dengan yang lain. Pembaca harus mampu menyelami isi teks dan bukan hanya pada kulit teks. Kedalaman teks harus dipahami sebelum akhirnya dimengerti.

Kisah-kisah di dalam SPPD dibuka dengan sebuah pertanyaan yang menohok, Apakah di Luar Telah Malam? Kisah dan kasih yang terjalin utuh di dalamnya mengalir jauh bagai sungai kehidupan yang menabarak batu-batu kegelisahan yang ngeri. Antara ragu dan percaya. Sekilas, aku mencoba memastikan pada tubuh dan wajahmu. Kamu masih seorang laki-laki yang terluka.

Sepintas, gambaran lekaki yang rapuh sangat ditonjolkan oleh Puthut EA. Ini jelas, bukan soal siapa yang kuat dan lemah. Siapa yang menang dan kalah. Tetapi ini tentang perjalanan manusia dalam mengakrabi semesta dan segala isinya. Sebab, ia selalu dan seperti sejarah, selalu mengulang kemuraman.

Tetapi, tidak hanya sampai di sini saja. Beragam pertanyaan yang datang dari dalam SPPD, tentang masa lalu dan segala yang terlampau oleh ingatan yang sekaligus oleh Puthut EA memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dan ada sedih di sana. Berkemaslah dari sedih yang menguncimu. Tetapi siapa yang bisa membuang masa lalu? Masa lalu selalu membututi, mejadi berkah maupun kutukan. Dan kita selalu tidak akan pernah bisa beranjak jauh-jauh dari sana. Oleh karena itu, kita percaya bahwa setiap manusia sering dilingkupi oleh masa lalu yang selalu dibaluti peta kesedihan dan kebahagiaan.

Adakah jejak yang kau tinggalkan di sana ketika bayang-bayangmu merapuh? Setiap manusia berjalan maju dan di sana ada jejak ketika langkah kaki membawa manusia jauh ke masa depan dan ketika ingatan membawa pulang ke masa lalu, di sana ada jejak yang menunggu. Sebab, roda waktu tak akan pernah berhenti berjalan. Ia seperti mata yang selalu mengerdip di langit-langit kerinduan.

Di sana, penyeselan adalah bagian paling cepat dari segala yang bisa kita kenang, tapi jika berlarut, ia akan menjelma kutukan. Manusia adalah penyesalan itu sendiri. Mengapa? Karena setiap manusia mampu menghamilkan lalu melahirkan penyesalan atas tragedi-tragedi yang sudah terjadi.

Baca Juga: Perempuan yang Memesan Takdir: Sebuah Monolog Memerdekakan Diri

Mengapa penyesalan tidak datang sebelum tragedi itu? Karena tak ada yang abadi selain penyesalan. Jika tidak, maka manusia tidak akan pernah memulai dan mengakhiri sesuatu dengan sebuah perubahan. Manusia akan tetap statis. Pengetahuan menjadikan manusia sebagai makhluk penuh penyesalan. Semakin banyak yang manusia tahu, semakin banyak penyesalan pula.

Manusia juga seperti Si Penulis Kematian, yang selalu meramalkan kematian manusia lain melalui cerita yang dibuatnya. Menyibukan diri dengan kehidupan manusia lain dan lupa memerhatikan diri sendiri. Ketika setiap cerita yang dibuatnya, para tokoh yang disertakannya, akan mati setelah itu. Hingga seluruh kota dikejutkan oleh tulisan surat kabar. Tulisan yang meramalkan kematianku. Karya Si Penulis Kematian! Kalimat-kalimat yang penuh kekuatan mengalir dari tulisan yang sebagaimana dulu-dulu. Ia nujumkan padaku akan mati dalam waktu dekat dengan membunuh diri. Dan, hal itu benar-benar terjadi.

Ini adalah potret manusia masa kini. Bunuh membunuh, baik secara fisik maupun psikis. Manusia dimatikan sebelum kematian itu benar-benar datang. Manusia mengalami keterasingan di tengah kaumnya sendiri. Terlempar jauh dan berlabuh pada kesunyian yang ingar-bingar. Manusia pada akhirnya takut untuk menjadi manusia. Dan lalu, hanya mampu Terdampar di Sebuah Ingatan.

Dengan cara yang jujur pula, Puthut EA melukiskan tentang kota dan membuat perbandingan dengan yang sekarang. Kota kami adalah kota riang. Hampir sepanjang hari kami menghabiskan waktu dengan bermain-main. Permainan bukan sekadar warisan  sejarah masa kecil, melainkan sesuatu yang sudah mendarah daging.

Sebuah kejujuran yang datang dari pengalaman manusiawi Puthut EA yang dahulu pernah mengalami masa kecil. Setiap permainan memunyai kandungan nilai di dalamnya. Permainan yang bukan seperti free fire dan mobile legend. Menghabiskan waktu di depan gadget sampai lupa menyapa sesama yang ada di sekitar. Di sana penuh makian dan saling ketergantungan, boyah.

Dan, anak kecil adalah manusia yang tak pernah pandai membuat pilihan. Di dalam kepalanya, semua yang dilakukan oleh orang dewasa itu baik adanya. Sebab, setiap yang dilakukan oleh orang dewasa adalah apa yang berhak dilakukan oleh anak kecil.  Jangan heran pula setiap orang dewasa yang hendak menikah, akan keluar dari kota kami–sebab menikah tidak bisa dilakukan oleh anak kecil.

Sering terjadi, orang dewasa menyalahkan anak-anak kecil ketika melalukan sesuatu yang sebenarnya hanya dilakukan oleh orang dewasa. Di sini, orang dewasa lupa, bahwa yang dilakukan oleh anak kecil itu adalah yang pernah dilakukan oleh orang dewasa. Oleh karena itu, di balik segala yang lemah dan terkesan tak berdaya, ia menyimpan potensi marabahaya. Di dalam tubuh yang kecil, terdapat kekuatan yang besar. Anak kecil adalah kepolosan. Orang dewasa akan was-wasan ketika ada dan berada di antara anak-anak. Sebab, darisanalah kejujuran itu lahir.

Dan, kusadari betapa waktu bisa memanjangkan tubuh sekaligus memangkas kenangan. Lagi-lagi si Puthut EA berkisah tentang waktu dalam sebuah Rumah. Waktu yang selalu jauh mengantar manusia pergi jauh dan rindu yang akan mengantar manusia untuk pulang ke dalam palung kangen. Dan rumah, tak melulu bangunan fisik. Melainkan sebuah suasana di mana setiap insan mampu menemukan kedamaian dan pulas yang tak dikuras.  Dan di dunia ini, baru ternyata aku tahu, kebahagiaan kita, bisa jadi merupakan ancaman bagi pihak lain. Mengapa? Karena tidak semua orang bisa mengalami kebahagiaan dalam waktu bersamaan.

Sebab, manusia seringkali menjadikan kebahagian orang lain menjadi acuan bagi kebahagiaan untuk dirinya. Manusia lupa, bahwa yang seragam itu tak harus sama. Kebahagian itu yang kita ciptakan sendiri dan bukan orang lain yang menciptakannya.

Tibalah kita pada sebuah Sarapan Pagi Penuh Dusta. Dengan narasi pembuka yang meneduhkan hati. Karena, Aku selalu diperangkap oleh masa lalu jika mengunjungi ibu. Ia masih selalu berada di pelataran rumah dengan wajah cerah menyambutku. Semua kita pulang karena ibu.

Pelukan hangat dan enakanya masakan ibu. Ada yang perlu kita sadari bahwa, ketika pulang, kita tak pernah luput dari pertanyaan-pertanyaan ibu. Ada saja jenis pertanyaan yang tiba-tiba. Menanyakan tentang pasangan hidup, tentang pekerjaan, dan kesediaan untuk tinggal bersamanya ketika hari malam benar-benar telah datang lebih pekat.

Sarapan-sarapan yang penuh dusta itu, bukanlah sebuah sarapan pagi biasa. Sebab, yang terjadi di sana adalah hanyalah kebohongan-kebohongan yang menentramkan. Dan kita akhirnya menjadi si Aku dalam Sarapan Pagi Penuh Dusta. Benar-benar tidak bias kumengerti mengapa ada sesuatu bernama kesetiaan. Bagiku, itu semua rumit. Sangat rumit dan tak kunjung kumengerti. Cinta dan sejenisnya, kebutuhan akan laki-laki maupun perempuan sebagai pasangan. Dan kelak aku harus terus menyiapkan sebuah nama, sekian dusta, ketika pulang bertemu ibuku, ketika sarapan pagi berjalan dengan nyaman. Pada kesempatan tertentu kita menjadi seperti seorang Bapa yang dengan lembut berkata dan berpesan kepada anak-anaknya, jangan gampang percaya pada cinta.

Puthut EA, sebagai pembaca, saya boleh katakan bahwa ia berhasil memanfatkan bahasa dengan sangat indah. Menyuarakan sekaligus mewakili pembaca dalam menyampaikan segala ketakutan dan kecemasan. Mendulang masa lalu menjadi sebuah kenangan yang tak mudah lekang. Sesekali ia membawa kita jauh ke masa depan dan juga memulangkan kita kepada masa lalu. Seperti, masa kecil kami adalah masa penuh teriakan dan tertawa.

Lagi dan lagi, Puthut EA bermain dengan dimensi waktu. Masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dan waktu tetap berjalan dengan caranya sendiri. Mungkin kesabaran ada habisnya, ada hal-hal yang harus tetap berjalan ketika keinginan dan kemauan tidak sesuai dengan kenyataan.

SPPD, tidak akan menjadi sebuah buku yang berhasil jika pembaca hanya berakhir pada membaca judulnya saja. Menyelam jauh ke dalam psikologis penulis lalu menemukan pelabuhan dalam tulisan-tulisannya, maka pembaca tidak akan terjebak pada ‘nafsu’ untuk memiliki buku ini hanya karena judul. Puthut EA berhasil mecuri psikologis pembaca melalui judul ini. Dan inilah kenangan yang akan kita temukan pada sebuah Sarapan Pagi Penuh Dusta.

 

Oleh: Alfianus Nggoa

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari Alfianus Nggoa

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai