Komuni: Kutuk, Kepulangan, dan Pertobatan

Spread the love

Judul:Komuni (Kumpulan Puisi)
Penulis:Saddam HP
Tebal:52 halaman
Penerbit:Perkumpulan Komunitas sastra Dusun Flobamora
Cetakan:I, Mei 2019
ISBN:978-602-51631-9-7

***

Buku puisi yang diterbitkan Perkumpulan Komunitas Sastra Dusun Flobamora ini, merangkum 27 buah puisi yang hampir seluruhnya pernah diterbitkan di berbagai media seperti Pos Kupang, Kompas dan Tempo.

Buku ini diluncurkan Saddam, sebagai kado untuk keluarga dalam mendukung panggilan hidupnya. Dapat dikatakan, kecintaannya akan panggilan sama seperti kesetiaan dalam menulis. Buku ini dihadirkan sebagai bentuk keterkaitan antara hidup membiara dan hidup menjadi penulis.

Buku antologi puisi Komuni, diawali dengan sebuah permainan majas anadiplosis berjudul ‘Siklus’. Kata atau frasa terakhir dari baris sebelumnya dijadikan sebagai awal kata atau frasa untuk baris selanjutnya.

Penggunaan majas tersebut menunjukkan bahwa hidup merupakan sebuah siklus. Ada kelahiran, ada kematian.

Terdapat sebuah pengandaian bahwa harapan-harapan mereka yang telah pergi (mati) dititipkan pada pada mereka yang baru datang (lahir). Terus terjadi, satu hal menjadi acuan untuk hal-hal yang lainnya dan berkesinambungan, —seperti sebuah rantai hubungan tiada berbatas.

Selain penggunaan majas anadiplosis, dalam buku ini permainan logika juga dapat dinikmati. Baris pertama dan terakhir puisi ini misalnya, Cinta adalaah mawar…Kau adalah cinta. Dapat dibuat silogisme kecil-kecilan, “Jika cinta adalah mawar dan kau adalah cinta, maka cinta adalah mawar”. Sesungguhnya dapat dibolak-balikkan baris-barisnya.

Hanya saja, baris terakhir mau menegaskan baris pertama. Dan begitulah cinta, kita perlu memulainya dan memberi penegasan di akhir perjumpaan. Seperti kelahiran dan kematian yang dijelaskan di atas.

Saddam, mengawali buku puisi ini dengan puisi ‘Siklus’, sebab, ia tahu proses kelahiran akan dimulai dengan cinta sampai akhirnya tumbang dalam batas waktu tertentu kepada Maha Cinta.

Tetapi, sesungguhnya puisi siklus ini hanya sebagai sebuah pengantar bahwa proses penciptaan puisi serta proses penglahiran karya puisi, sesungguhnya, sejak semula dilandasi dengan cinta akan puisi dan dengan acuan karya cipta sebelumnya yang dibaca dan direnungkan.

Puisi tersebut ditulis tahun 2010, dapat diperkirakan waktu itu Saddam muda masih terjebak dalam romantisme masa mudanya. Artinya, perjalanan panggilannya diawali dengan romantisme masa muda hingga menemukan sebuah kedewasaan iman dalam panggilannya.

Dan, dalam buku ini, terlihat sebuah pengakuan bahwa perjalanan kepenyairannya tak semata-semata langsung matang seperti saat ini, tetapi berkat pegasahan yang terus dilakukan dari waktu ke waktu.

Puisi selanjutnya, Saddam mulai berkisah,—berbeda  dengan Cyprian Bitin Berek dalam Pertarungan di Pniel yang mengawali kisahnya dengan kisah penciptaan (Genesis),—Saddam  justru mengawali kisahnya dengan kutukan.

Digambarkannya pada baris pertama ‘Kutuk’, “Lontar yang tinggi hati, jadilah tuak!”/Tiada ular yang melilit atau harapan yang sulit/ Tuhan mengetuk kakinya ke tanah.”.

Terdapat pengandaian, ketika manusia dilahirkan, ia sudah terjebak dalam kutukan. Manusia digambarkan sebagai lontar yang sejak sediakala dilahirkan untuk menjadi tuak. Lontar itu tumbuh dan besar di atas tanah yang gersang dan tandus.

Dalam segala keadaan yang sejak sediakala, ia harus terus menghasilkan tuak; yang manis atau pun pahit tergantung ‘pengolahan’ hidup. Penghadiran ular dalam bait berikutnya sebagai simbol bahwa manusia terlahir dengan dosa asal akibat godaan ular sehingga kemudian butuh pembersihan melalui permandian atau pembaptisan.

Selain itu, lokalitas lontar dan tuak sengaja digunakan dalam puisi ini untuk menyatakan sebuah realita kehidupan yang dekat dengan kita dan terbentang luas di hadapan kita.

Kita dilahirkan dari lingkungan yang kemudian bertumbuh dan berkembang oleh sebuah proses internalisasi nilai-nilai budaya dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Kutukan itu muncul sebagai sebuah keterbatasan berupa identitas terberi bahwa kita memang sudah adanya terlahir untuk melihat lontar dan tuak.

Seandainya kita dilahirkan di tempat lain, tentu akan lain ceritanya. Itulah kutukan, kita terlahir untuk terjebak dalam pelukan lingkungan tertentu dan kita sukar untuk melepaskan pelukan tersebut. Bukankah itu kutukan?. Ketika kau menilai orang lain berdasarkan nilai yang kau bawa dari lingkungan di mana kau dilahirkan. Seperti itulah titik awal keberangkatan hidup kita. Kutuk.

Sebagai bentuk hukuman Saddam menambahkan, “Bila haik tak penuh, esok kau kering/Debu kaki dikebaskan, tempias. Jika tak ada pertobaatan sejak awal, dosa asal akan memakan sisa perjalanan hidup kita berupa dosa lain yang berhamburan ke mana-mana dan merembes ke banyak persoalan.

Terlepas dari semua itu, interpretasi lain yang dapat diterima bahwa Saddam memulai panggilannya dari lingkungan keluarga, menemukan lingkungan yang kondusif di Seminari untuk belajar.

Dari sinilah benih panggilan dan kecintaan akan kesusatraan dikembangkan. Sehingga, interpretasi lanjutannya, jika kita tak memiliki bahan bacaan yang banyak sebagai pendukung ide, maka tulisan kita akan menjadi kering. Atau, jika pembekalan iman kurang dan tidak mencukupi, ia akan merasa asing dengan dunia panggilannya sendiri.

Kutukan itu kemudian dihadirkan Saddam dalam sajak berikutnya, ‘Taman’. Tak dituliskannya apakah taman yang dimaksud adalah Eden, sebab dalam baris pertama, ia menuliskannya dengan huruf kecil.

Tentu, ada makna tersendiri di balik pilihan penulisan tersebut. “akulah eden, taman kutukan/ menampung kodrat dan pohon yang terluka/tempat efrat dan tigris, pison dan gihon/dialiri airmata dari empat mata angin.”

Penyair menampakkan dirinya sebagai suatu taman kutukan, taman eden. Jika dikaitkan dengan puisi sebelumnya, kutukan itulah yang kemudian membuat kita menjadi eden. Kita menciptakan kehidupan kita sendiri. Bahwa sejak semula, eden memang tak ada.

Gambaran tentang kebahagian dan nostalgia indah di taman eden tak muncul dalam kehidupan. Yang bisa kita lakukan adalah menciptakan surga sendiri di tengah kutuk yang kita bawah sejak lahir. Bahwa kodrat kita sudah seperti itu.

Kegelisahan penyair pun digambarkan dengan jelas. Di tengah lingkungan yang memenjarakannya, ia mengalami berbagai pergolakkan batin tentang pilihan perjalanan panggilannya, tentang optimisme menjadi penulis yang harus menampung berbagai pemikiran dalam kepala dan terutama hati.

Ditegaskan dalam bait terakhir puisi ini, bahwa kutukan bukan semata dari Tuhan tetapi karena pilihan manusia sendiri untuk meninggalkan Mahaada. Aneka kecemasan dan kegelisahan penyair kemudian dinukilankan bahwa ketika ia hendak menjauh itu bukan karena salah Pemanggilnya tetapi kegagalannya sendiri merefleksikan kehadiran Pemanggil dalam panggilan hidupnya.

Ketika ia gagal menuliskan sesuatu dan mengalami beragam kejenuan dalam menulis, bukan  karena salah siapa-siapa tetapi ia memang harus terus membaca agar terus bisa menemukan pemenang dalam pikirannya sendiri.

Dalam sajak-sajak selanjutnya, Saddam memunculkan imajinasi pengkhianatan lewat tokoh Yudas. Ia kemudian merefleksikan pemahamannya akan kebaikan dan keburukkan. Di tengah sajak dikatakannya, “Ia satu dari 99 domba, yang pandai menghilangkan diri tapi tak menemukan lapang hati sang penggembala.”

Acapkali, manusia sukar menemukan mana yang baik dan mana yang buruk. Kebaikan memunculkan dirinya sebagai keburukkan, begitu pun keburukkan menghadirkan dirinya sebagai kebaikan.

Ada yang kemudian terpenjara dalam keburukan hanya karena merasa tindakannya baik dan kerap ada yang merasa bahwa hidupnya begitu buruk dan ia tak sekalipun menemukan setitik kebaikan dalam hidupnya.

Ini menjadi sebuah pencarian akan kebenaran, bahwa apakah kebenaran itu? Pada titik ini, kegagalan dalam mencari kebenaran berujung pada pengkhianatan.

Beberapa puisi yang lain, sesungguhnya hanyalah gambaran proses dan perjuangan bangkit dari kutukan. Refleksi kebudayaan, refleksi panggilan dalam tembok biara dan Sekumpulan kenangan yang diramu menjadi sebuah pembuktian akan keseriusan pengarang dalam berpikir.

Pada akhirnya, kutukan itu berujung pada kepulangan dalam ‘Tatan Pulang Gereja’. Bahasa lainnya, kepergian akan selalu berujung pada kepulangan. Proses kepergian berpikir Saddam diakhiri dengan kepulangan yang teduh si Tatan sebagai representasi dari dirinya sendiri. Ia masuk ke gereja dan mengalami pemurnian atau katarsis atas ‘keberdosaan’ berpikir yang dilakukannya.

Baca Juga: Berkomitmen untuk Pulang dan Tidak Lupa Jalan Pulang

Merayakan Ekaristi bersama ayah yang baik dan tak lupa menerima komuni sebagai buah nyata dari pertobatan. Buah nyata dari pertobatan itulah yang kemudian dijadikannya sebagai judul refleksi atas aneka puisinya.

Manusia yang tak sempurna selalu berikhtiar untuk mencari kesempurnaan. Seperti itulah akhir refleksi yang dipetik dari komuni: kutuk, kepulangan dan pertobatan.

Memulai buku puisinya dengan cinta dalam ‘Siklus’, ia pun mengakhiri dengan cinta dalam ‘Tatan Pulang Gereja’, “meski tak paham ia arti parousia, tapi ia tahu cinta tak dibatasi usia.

Refleksi yang sama akan kita temukan dalam Pertarungan di Pniel, Pada bagian epilog, Cyprian Bitin Berek menutup refleksi dan pergumulannya dengan sebuah ajakan: “Mari kita pergi di subuh samar. Diam-diam sebelum burung malam terjaga. Berjalan mengikuti arah matahari.”

Ditemukan sebuah persaman dengan pertobatan yang dikemukakan Saddam. Bahwa hidup, memang akan terus berjalan seperti terbit-terbenam matahari. Kita akan selalu pulang seusai kepergian yang panjang, akan berdosa dan bertobat pada waktunya, terkutuk kemudian terlepas bebas pada masanya. Sebagaimana bait terakhir puisi Ajakan: “Wahai kutahu tak kelak- keberangkatan selalu tiba- sebelum kita sempat berkemas- Karena hidup, bagiku, perjalanan abadi,”

Kendati demikian, Puisi-puisi Saddam memiliki ciri khasnya sendiri. Refleksinya tidak monoton terpaku pada teks-teks biblis. Ia berani berangkat keluar dari teks-teks biblis dan menemukan potongan-potongan sabda yang terselip dalam berbagai peristiwa hidup.

Tokoh-tokoh dalam kitab suci diramunya sedemikian rupa sehingga pembaca tak akan jemu dan bosan menyantap hidangan sajak-sajaknya. Gambarannya yang berbeda dengan cara pendarasan yang matang membikin kita selalu ingin maju menyantap komuni,—sebagai sebuah makanan spiritual bagi jiwa.

Saddam begitu ketat menalarkan puisi-puisinya. Potongan-potongan larik tak saling melepaskan diri atau tidak adanya kepatahan imajinasi melainkan berkesinambungan seperti sebuah siklus yang tiada batas ketika pembaca menalarkannya.

Ini bukan hanya refleksi tentang perjalanan panggilan hidupnya, tetapi kegelisahan berkarya dan kecemaasan akan kenyataan juga dimunculkannya agar orang lain merasakan apa yang dirasakannya.

Pengarang berhasil menggiring emosi pembaca untuk sampai pada titik refleksi mendalam. Jelaslah, ini bukan karya yang disepelekan tetapi memberi nuansa tersendiri dalam khazanah sastra NTT.

 

Oleh: Dunstan Maunu Obe 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari Dunstan Maunu Obe 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Komuni: Kutuk, Kepulangan, dan Pertobatan

Komentar ditutup.