Kritik Atas Partriarkat yang Terjebak dalam Praktik Kolonialisme Indonesia (3)

Spread the love

[alert type=white ]Baca Bagian 2 di Sini[/alert]

Judul: Tanah Tabu
Penulis: Anindita S.Thayf
Tebal:vi—189
Penerbit:Gramedia
Cetakan:2, 2015
ISBN:9786020322940

***

Pelacuran yang Mendukung Praktik Kekerasan Terhadap Perempuan

Selain budaya, faktor lain yang turut berkontribusi terhadap kekerasan terhadap perempuan adalah terjebaknya laki-laki Papua ke dalam pelacuran, yang oleh Anindita digambarkan sebagai “paha putih” dan “setan perempuan”. Gagasan itu dimunculkan dalam tiga narasi berikut

“Di luar sana. Di dalam ruangan yang lampunya tidak pernah menyala terang dan selalu berkabut. Di tengah musik ribut pemanggil arwah yang menulikan telinga dan tawa nyaring setan perempuan.” (Anindita, 2009:78)

“Gara-gara upah itu, Kwee, Pace Mauwe berubah. Dia jadi suka mabuk-mabukan dan pergi sampai jauh malam. Kata orang-orang, dia bersenang-senang dengan Paha Putih di tempat minum yang buka sampai pagi. Mabel pernah mendapatinya. Mengomeli dan menariknya pulang ke rumah. Tapi dasar laki-laki tidak tahu diri! Dia malah memukul Mabel, juga Johanis kecil. Sejak itu, Kwee, hidup Mabel menderita. Pace Mauwe menolak berubah, bahkan makin ganas menyiksa istri dan anaknya” (Anindita, 2009:110)

“Dia minta uang tambahan. Awalnya, dia bilang untuk beli minuman lagi, tetapi ketika kutolak dia akhirnya mengaku. Katanya, Mabel…Katanya, uang itu untuk bayar Paha Putih. Dia mau main perempuan di luar sana. Dan uangnya…uangnya dia minta kepadaku. Dasar bajingan! Bisakah kau bayangkan itu?!” (Anindita, 2009:149).

Fenomena “Paha Putih” dan “Perempuan Setan” bukanlah kondisi yang terbentuk dalam waktu singkat tetapi dicetuskan oleh sistem. Masuknya migran dalam skala besar yang dicetuskan melalui program transmigirasi pemerintah Indonesia ke Papua (Gietzelt, 1989) telah memengaruhi struktur komposisi kependudukan dan praktik seksual.

Tingkat migrasi telah meningkat secara stabil di tanah Papua sejak tahun 1980 karena koneksi transportasi telah meningkat dan populasi Indonesia yang juga turut meningkat. Kekhawatiran soal tanah Papua yang dibanjiri oleh para migran akhirnya menjadi kenyataan. Para migran ini selalu menuju ke daerah dengan peluang ekonomi yang tinggi seperti daerah perkotaan, di sana mereka mendominasi penduduk asli Papua dan menciptakan kesan kolonisasi Indonesia yang kaku pada kelompoknya sendiri

Ketika kolonisasi terbentuk, serentak juga terjadi dominasi migran Indonesia dalam kehidupan sosial dan politik Papua. Salah satu hal yang berkaitan dengan dominasi adalah dukungan terhadap praktik pelacuran sebagai bisnis profesional (Butt, Numbery, & Morin, 2002) yang dalam prosesnya di lindungi dan dijalankan oleh militer Indonesia (Schulman, 2016) serta secara sengaja difasilitasi oleh pihak militer Indonesia dengan mendatangkan pekerja seks komersial dari Indonesia (Mollet, 2011). Studi yang dilakukan oleh Clark (1997, dalam Kirsch, 2002) bahkan secara gamblang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia melalui militer, industri perikanan, dan tambang Freeport adalah vektor utama penyakit menular seksual dan HIV di Papua

Migrasi tenaga kerja prostitusi ini telah menempatkan laki-laki Papua dalam lingkaran perselingkuhan—banyak pria tidak memandang kesetiaan pada pasangan sahnya sebagai hal yang penting untuk mencapai pernikahan yang bahagia, tetapi mereka justru memandang minuman keras dan prostitusi sebagai sumber kebahagiaan yang akhirnya berujung pada kekerasan dalam rumah tangga yang korbannya adalah selalu perempuan (Wardlow, 2007).

Upah Rendah yang Mendukung Praktik Kekerasan Terhadap Perempuan

Perkembangan migran Indonesia di Papua umumnya mengarah pada peluang kerja ekonomi formal. Para migran Indonesia yang berpendidikan lebih baik dari bangsa Papua selalu mendapatkan posisi kerja yang jauh lebih baik. Selain itu, para migran menguasai 90% pekerjaan perdagangan di wilayah Papua dan mendominasi sektor manufaktur (Upton, 2009).  Ketika migran yang baru terus berdatangan, mereka akan berafiliasi dengan jaringan etnis mereka yang ada untuk mendapatkan pekerjaan.

Jaringan etnis seperti itu secara tidak langsung mengeliminasi kelompok pencari kerja beretnis Papua sehingga mereka hanya akan mampu bekerja di bidang pertanian—yang sebagian besar di antaranya pertanian swasembada (subsisten). Kondisi yang memperparah kesenjangan ini adalah kenyataan bahwa para migran juga telah mencapai kesuksesan yang lebih besar yang memungkinkan mereka untuk mengambil kendali ekonomi di atas tanah Papua.

Ketika pengendalian terjadi, maka secara otomatis akan terbentuk akumulasi proses kapital yang bertumpu pada kelompok masyarakat migran sehingga skema pembayaran upah murah dan pemecatan sepihak sering terjadi dan dialami bangsa Papua (O’Faircheallaigh, 1991). Bagaimanapun pemecatan kerja sepihak dan upah murah selalu berdampak pada banyak hal, pada tingkat yang paling ekstrim dapat menjadi stresor pemicu konflik dan kekerasan yang juga dinarasikan oleh Anindita

“Gara-gara upah itu, Kwee, Pace Mauwe berubah. Dia jadi suka mabuk-mabukan dan pergi sampai jauh malam. Kata orang-orang, dia bersenang-senang dengan Paha Putih di tempat minum yang buka sampai pagi. Mabel pernah mendapatinya. Mengomeli dan menariknya pulang ke rumah. Tapi dasar laki-laki tidak tahu diri! Dia malah memukul Mabel, juga Johanis kecil. Sejak itu, Kwee, hidup Mabel menderita. Pace Mauwe menolak berubah, bahkan makin ganas menyiksa istri dan anaknya” (Anindita, 2009:110)

“Mabel, kau pernah bilang padaku kalau kita tak mungkin mengubah seseorang, kecuali dia mau mengubah dirinya sendiri. Sekarang, kuakui kebenaran kata-katamu. Suamiku ternyata tetap tidak merasa cukup dengan upah barunya, yang dijadikannya alasan untuk mabuk-mabukan. Dia juga tetap marah-marah padahal anak-anak selalu kuingatkan untuk patuh dan tidak berisik” (Anindita, 2009:149)

Transmigrasi para pemukim Jawa, Sumatera, dan Maluku ke Papua merupakan tiruan dari strategi kolonial Eropa abad ke-18 yang bertujuan untuk mencapai keuntungan komersial jangka panjang. Ada beberapa kemiripan yang jelas jika dikaitakan dengan perusahan tambang emas Freeport di Papua, di mana, Indonesia yang menjadi kaki tangan Amerika turut menyuplai tenaga kerja berupa migran ke sana. Selain itu, sadar akan potensi perselisihan internasional di masa depan atas pendudukan Indonesia di tanah Papua, Soeharto dan para Presiden Indonesia selanjutnya, telah menggunakan transmigirasi sebagai alat legitimasi jangka panjang (Tirtosudarmo, 2014).

Sialnya, kebijakan “Indonesianisasi” ini (dengan kedok integrasi), turut disponsori dan didanai sebagian oleh kapitalis internasional termasuk di dalamnya ada Bank Dunia (Leith, 2002).  Dalam perjalanannya transmigrasi sebagai “kendaraan untuk mempromosikan stabilitas dan integrasi nasional”, berubah menjadi upaya hegemoni dan berujung pada benturan budaya yang akibatnya sangat luas (Gietzelt, 1989) termaksud praktik kekerasan seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Penggusuran yang Mendukung Praktik Kekerasan Terhadap Perempuan

Hal lain yang juga menjadi pendukung praktik kekerasan terhadap perempuan adalah perempasan dan penggusuran lahan. Secara episodik perampasan atas tanah, kontrol, dan pengembangan sumber daya yang dilakukan secara sepihak oleh investor yang disokong oleh negara kolonial Indonesia telah mempolarisasi identitas migran dan pemilik tanah yang mengakibatkan meningkatnya ketegangan dan kekerasan komunal (Koczberski, & Curry, 2004).

Narasi soal perempasan coba dimunculkan oleh Anindita

“Kampung Pace Mauwe digusur perusahan emas milik pendatang dari lereng gunung tempat tinggal mereka sejak lama. Memang ada kampung dan rumah baru yang diberikan sebagai gantinya di daerah bawah, tapi cukup jauh dari hutan, apalagi sungai. Namun hutan itu tidak lagi menghasilkan sagu dan sungainya dipenuhi kotoran perusahan emas” (Anindita, 2009:109)

Penggambaran di atas mestinya bisa diperluas dan dikaitkan dengan pengaruh kolonialisme terhadap praktik kekerasan. Bagaimanapun, praktik kolonialisme melalui perampasan selalu berkelindan dengan penindasan gender. Hilangnya hak-hak dan properti yang sebelumnya dimiliki oleh perempuan (seperti tanah, otoritas atas keluarga atau keahlian) melalui penggusuran tanpa pergantian yang sepadan telah membuka jalan kekerasan paling awal.

Kehilangan properti sebagi sumber mata pencaharian bagi perempuan dalam budaya patriarki dapat berkibat panjang, sebab, perempuan akan kembali didorong untuk hanya berada di rumah saja (rana domestik) melaksanakan pekerjaan rumah tangga yang tidak bisa menghasilkan uang, sehingga dari sisi ekonomi, perempuan hanya akan bergantung pada suaminya yang sering kali dapat menimbulkan ketegangan.  

Baca Juga: Kritik Atas Partriarkat yang Terjebak dalam Praktik Kolonialisme Indonesia (2)

Hal ini sejalan dengan gagasan Humm (2003) yang menjelaskan bahwa pembagian kerja berdasarkan gender yang menempatkan perempuan dalam ranah domestik akan menimbulkan kesenjangan kelas karena sebagai pekerja di ranah publik, laki-laki akan menguasai wilayah produksi. Secara ekonomi, laki-lakilah yang menghasilkan materi, sementara perempuan, walaupun mengeluarkan tenaga dan menggunakan hampir seluruh waktunya untuk bekerja di rumah dia tidak mendapatkan penghasilan. Bahkan, secara ekomoni perempuan sebagai ibu rumah tangga tergantung kepada laki-laki. Hal inilah yang memungkinkan perempuan tertindas

Penutup

Menulis novel dengan pendekatan feminis sebagai bentuk perlawanan terhadap praktik patriarkal tidak akan selalu tampak mudah, apalagi jika dibaluti dengan masalah-masalah penyerta seperti kolonialisme dalam konteks Papua, misalnya. Dalam riset Feminist criticism and the African novel. African Literature Today Frank (1984) menjelaskan pentingnya pemahaman yang utuh dari seorang pengarang ketika hendak menulis karya sastra dengan pendekatan feminis pada kondisi di mana praktik patriarkal hidup berkelindan bersama kolonialisme, Frank menekankan pentingnya seorang pengarang untuk memperhatikan kritik atas stereotip, pendekatan gaya, generik, pola dasar, nilai historis atau sosiologis, pendekatan atau pemulihan, serta re-evaluasi.

Elemen-elemen yang diajukan Frank, agaknya, tidak benar-benar diakomodir oleh Anindita dalam Tanah Tabu, ia justru terkungkung pada narasi mengenai stereotip laki-laki Papua tanpa mencoba  mengejar penyebab yang jauh lebih fundamental melalui perhatian atas kondisi historis sosiologis, melakukan pemulihan, serta evaluasi. Hal ini menjadi sangat penting, sebab komplesitas masalah di atas tanah Papua pertama-tama justru dicetuskan oleh sejarah panjang bercokolnya kolonialisme. Tanpa menyentuh dan mengkritisi sebab semacam ini sama artinya dengan membuat tuduhan serampang yang nirfaedah—untuk tidak mengatakan berbahaya.

Pada akhirnya,  penulis ingin membagikan kisah Petersen (1984) dalam abstrak risetnya First things first: Problems of a feminist approach to African literature sebagai penutup. Pada musim gugur tahun 1981, Petersen pergi ke sebuah konferensi akademis di Mainz. Tema konferensi itu adalah “Peran Perempuan di Afrika”.

Sejak awal, konferensi itu berlangsung tertib untuk membahas pelbagai makalah tanpa melibatkan banyak diskusi. Namun, tiba pada hari terakhir kegaduhan terjadi, sekelompok feminis muda Jerman yang diundang untuk berpartisipasi memilih untuk memecat profesor pria yang sedang memimpin satu sesi diskusi dan mengangkat seorang siswa wanita yang sangat pandai sebagai ketua dan melanjutkan diskusi menjadi menjadi serangkaian pernyataan pribadi dan komentar mengenai tradisi gerakan feminis. 

Mereka membahas buku Verena Stefan’s, Shedding dengan solusi feminis radikal, yang memperdebatkan hubungan dengan ibu mereka, dalam hal apakah mereka harus merawat ibunya di hari tua atau tidak.  Para wanita Afrika yang hadir mendengarkan sebentar gagasan itu, dan kemudian mereka menolak gagasan sekelompok feminis muda Jerman yang sedang berdiskusi. Sebab, di Afrika, mereka memiliki kedekatan perasan dengan ibunya atau anak perempuannya.

Tampaknya sekelompok feminis muda Jerman telah membuat keputusan sepihak tanpa terlebih dahulu memahami kondisi masyarakat Afrika. Hari itu, Petersen menemukan gagasan tentang pentingnya bagi sebuah gerakan femenis untuk memahami suatu sebab masalah secara jelas hingga ke akarnya sebelum menyodorkan atau mengkritisi sebuah persoalan, sebab bagaimanapun, relasi sosial kemasyarakatan memainkan peranan penting. Kondisi ini mestinya juga harus dipahami secara baik oleh Anindita dalam novel Tanah Tabu agar kritik atas partriarkat di atas tanah Papua tidak terjebak dalam struktur kolonialisme Indonesia. (Habis)

 

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari  Petrus Kanisius Siga Tage

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai