Patriarki, Kenikmatan Visual Adegan Seks, dan Batas Aristokrasi

Spread the love

Judul: Portrait de la jeune fille en feu
Tahun: 2019
Sutradara: Céline Sciamma
Rumah Produksi: Lilies Films

***

Dalam This Truths: a History of the United States, professor sejarah Jill Lepore, berupaya mengkritisi semua aspek sejarah Amerika yang hingga kini hanya sedikit diperhatikan oleh para sejarawan.

Seperti yang ditunjukkan dalam sebuah wawancara dengan majalah Newsweek, Lepore menjelaskan bahwa salah satu topik paling mencolok yang tidak ada dalam kebanyakan buku sejarah Amerika adalah wanita.

“Ada beberapa omong kosong tentang Abigail Adams (istri dan penasihat terdekat presiden John Adams, Betty Friedan (Feminis paling berpengaruh di Amerika) hingga Gloria Steinem (Juru bicara gerakan feminis terkemuka) di mana mereka hanya diletakan sebagai kameo. Itulah akhir dari kisah kita! Ini adalah pemecatan total terhadap perempuan sebagai aktor politik dan aktor sejarah.”

Kritik keras yang diarahkan Lapore tidak diarahkan sebagai arti bahwa Amerika memiliki monopoli atas sikap seperti itu. 

Meskipun ada pengecualian, aturan umum sebagian besar masyarakat dari waktu ke waktu adalah bahwa saat pria bertindak, wanita bergerak sebagai pendukung dan pada akhirnya kisah sejarah akan berpusat pada laki-laki.

Itulah sebabnya, mengapa, dalam beberapa tahun terakhir, dikelompok masyarakat umumnya dan terutama bagi kita yang menghabiskan banyak waktu menonton film, telah melihat semakin banyak wanita bersuara melalui film untuk menantang asumsi soal peran perempuan di mata masyarakat.

Kita mengenal sineas wanita seperti Kelly Reichardt, Greta Gerwig dan Patty Jenkins bergabung dengan veteran seperti Jane Campion dan Agnes Varda.

Dan baru-baru ini, pada akhir 2019 yang lalu, kita diperkenalkan dengan penulis cum sutradara feminis Prancis, Céline Sciamma melalui Portrait de la jeune fille en feu.

Sciamma, sejatinya bukan sineas yang benar-benar baru. Sebelumnya kita diperkenalkan dengan karya besutannya yang memukau, baik itu dalam Water Lilies yang sensual maupun kisah Girlhood yang berkilauan.

Dan dalam, Portrait de la jeune fille en feu, Sciamma membawa magnetisme sinematik dari sebuah latar di pulau terpencil lepas pantai Brittany pada akhir abad ke-18 ke depan mata kita.

Latar Film

Dimotori oleh sinematografer Claire Mathon, kisah terbaru Sciamma menceritakan kisah romansa yang menggantung.

Portrait de la jeune fille en feu adalah drama yang rumit yang berkembang melalui kekuatan seni yang membebaskan, di mana, hubungan cinta yang penuh harapan memancar diantara dua wanita muda ditengah desakan hegemoni patriarki yang berurat akar dalam masyarakat.

Set film ini berlatarkan pulau terpencil di lepas pantai Brittany pada akhir abad ke-18. Seorang seniman muda, Marianne (Noémie Merlant), tiba di atas daratan dengan perahu dayung terbuka sambil membawa cat, kanvas, dan perlengkapan lain untuk melukis.

Marianne telah melakukan perjalanan laut yang sulit untuk sampai ke pulau itu. Dalam perjalanannya ia terpaksa harus melompat ke laut untuk mengambil perlengkapan yang jatuh ke atas gulungan ombak.

Resensi Portrait Lady On Fire
Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage

Tetapi, kesulitan dalam perjalanan bukanlah yang paling dominan, ada masalah yang lebih rumit saat ia tiba di rumah majikan yang menyewa jasanya, di mana, subjek lukisan, Héloïse (Adèle Haenel), justru tidak ingin berpose untuk lukisan itu, sebab lukisan tubuhnya akan digunakan oleh Countess (Valerie Golino), ibunya, seorang janda Italia yang ingin mengatur pernikahannya dengan seorang laki-laki pelamar dari Milan, Italia.

Jika lelaki itu menyukai lukisan wajah Héloïse, mereka berdua (Countess dan Héloïse) akan meninggalkan pulau itu dan pergi ke Milan.

Dalam proses interaksi antara Marianne sebagai pelukis dan Héloïse sebagai objek lukisan, tampak tidak berjalan mulus, hubungan antara wanita itu dimulai dengan tipu daya, bahkan pengkhianatan, di mana Héloïse berpikir bahwa Marianne dipanggil ibunya untuk menjadi temannya, mengingat saudarainya baru saja mati bunuh diri karena menolak perjodohan ibunya dan ia yang baru keluar dari biara membutuhkan penyesuaian dengan dunia luar.

Sementara Marianne, tidak pernah mengira bahwa ia akan mengalami hambatan, ia merasa ditipu oleh Countess. Ia berpikir hanya akan membuat lukisan biasa.

Namun, ditengah pengkhianatan itu, segala sesuatunya bertumbuh dengan baik. “Potret” adalah kisah cinta penuh gairah yang tumbuh dari penemuan setelah pengkhianatan yang dingin—penemuan pertama berlaku untuk Héloïse, di mana ia akhirnya tahu tentang tujuan sejati Marianne, kemudian selanjutnya penemuan bertahap itu bermuara sebagai pertemuan satu sama lain. Sebagai perempuan.

Pada akhirnya, Héloïse setuju untuk berpose. Marianne bisa melukis secara terbuka. Héloïse dan Marianne saling mengamati dengan intensitas yang sama, mempelajari kontur dan fitur tubuh masing-masing.

Melihat adalah pintu gerbang membangun perasaan yang dalam bagi kedua wanita itu dan penonton, karena, sinematografer Claire Mathon, telah menciptakan karya seninya sendiri di mana tekstur dan warna yang diredam telah membangkitkan emosi serentak kedalaman bidang lensanya berhasil menyoroti wajah pemerannya dengan baik.

Menghadang Patriarki

Di zaman sekarang ini, tidak mudah bagi sutradara wanita untuk menulis dan menyutradarai film—apalagi film yang semata-mata berkisah tentang hubungan lesbian dan tidak menampilkan laki-laki sama sekali untuk sebagian besar cerita.

Representasi lesbian jarang ditemukan di bioskop maupun industri film global karena masih banyak yang menganggapnya tabu. Dan ini, tentu saja tidak berlaku untuk Portrait de la jeune fille en feu, film ini telah menyuntikkan pandangan baru serentak merekonstruksi perspektif penonton dengan memeriksa kembali akibat buruk dari hegemoni laki-laki.

Baca Juga: Lubang Besar Jaminan Sosial dan Jebakan Politik Orwellian Pada Masa Krisis

Sepanjang 119 menit bergulir, film Portrait de la jeune fille en feu, telah menunjukkan caranya sendiri dalam menghadrik patriarki.

Keseluruhan tokoh laki-laki dalam film hanya sebagai objek insidental semata, menjadi karakter yang tidak disebutkan namanya. Oleh karena itu, tidak ada risiko dari apa yang disebut “tatapan pria yang melemahkan wanita” dengan menggambarkan mereka hanya sebagai objek seksual.

Cinta yang Marianne dan Héloïse rasakan terhadap satu sama lain bukan hanya sangat intim, penuh gairah seksual—dengan judul feu (api) sebagai sifat kiasannya—tetapi juga menjelma menjadi upaya spiritual yang ditimbulkan tanpa kata-kata.

Semuanya itu semakin kuat ketika ditopang secara musikal, dalam sebuah coda penuh energi, Le quattro stagioni dari Antonio Vivaldi.

Ada beberapa adegan yang dibentuk dengan hati-hati, terutama, kita memasuki fase penggambaran hubungan yang tumbuh diantara pelukis dengan objeknya.

Kamera menyoroti wajah Héloïse dan Marianne saat mereka menunjukkan bentuk emosi yang mendalam baik saat diliputi oleh kerinduan, kesedihan, atau bahkan rasa kesepian.

Portrait de la jeune fille en feu boleh jadi dapat dikatakan sebagai upaya untuk membantah sinema lesbian yang selama beberapa dekade telah disalahgunakan dan didistorsi oleh pandangan laki-laki heteroseksual agar sesuai dengan apa yang pertama kali digambarkan oleh sarjana film Laura Mulvey pada tahun 1970-an sebagai “tatapan laki-laki.” 

Pada sisi yang lain, Portrait de la jeune fille en feu boleh jadi adalah sebuah terobosan untuk menggaungkan politik gender dan feminisme dalam film.

Ia, secara kontroversial menolak penggambaran tradisional Barat tentang perempuan di bioskop Hollywood yang hanya sebatas melayani pemenuhan kepekaan voyeuristik dan kepuasan seksual laki-laki. 

Dengan kata lain, satu-satunya fungsi representasi perempuan adalah untuk menyesuaikan diri dengan tatapan laki-laki heteroseksual.

Bagaimanapun secara tradisional film-film lesbian yang diarahkan oleh pria di masa lalu telah menjadi representasi yang bergerak dalam penggambaran yang hanya mementingkan aspek seksual dan hampir pornografi seluruhnya dari bentuk hubungan wanita lesbian. 

Karakter wanita sering dibingkai melalui kamera dengan cara yang diinginkan dari perspektif laki-laki, dan ketertarikan sering disampaikan secara eksklusif melalui kesenangan seksual dalam bentuk adegan seks yang sering melafalkan tubuh wanita dengan cara yang terlalu subyektif.

Kondisi ini bisa terlihat dalam film seperti Mulholland Drive dan The Handmaiden yang dinavigasi oleh narasi yang cukup rumit, tetapi menghadirkan karakter wanita mereka melalui lensa voyeuristik.

Sciamma, jelas menolak bentuk penggambaran perempuan semacam itu, ia memilih untuk menjadi pembuat film lesbian secara terbuka, menunjukkan kesadaran diri akan tatapan laki-laki dalam filmnya dengan menawarkan perspektif yang berbeda—perspektif yang secara harfiah dan kiasan berfokus pada tatapan perempuan dan menjadi upaya untuk merekonstruksi bagaimana kita merasakan sebuah keinginan melalui bahasa sinematik.

Portrait de la jeune fille en feu berhasil melucuti kenikmatan visual adegan seks dan berusaha untuk meremehkan secara konvensional struktur sosial patriarki di saat-saat yang agak intim ini. 

Hal ini terlihat jelas dalam beberapa adegan di mana Marianne dan Héloïse akan berciuman. Tepat ketika kita berpikir bahwa adegan seks lanjutan mengikuti, tetapi, Sciamma justru memotong dan hanya membiarkan keduanya berbaring di tempat tidur, dengan penuh semangat saling memandang.

Dibawah kendali Sciamma kamera diarahkan dengan cara yang tidak eksploitatif terhadap tubuh karakter di layar, bentuk kontrol semacam ini sangat berlawanan dengan pandangan laki-laki yang terlalu jauh mengksplorasi ketiak, perut, pubis, payudara, atau bahkan selangkangan perempuan secara terlampau brutal. 

Pandangan yang saling bertautan yang ditunjukan Marianne dan Héloïse melambangkan lebih dari sekadar ketertarikan timbal balik, tetapi penghancuran penghalang patriarki, mirip dengan bagaimana Marianne melihat Héloïse lebih dari sekadar wajah cantik dalam sebuah lukisan. 

Pandangan perempuan dalam film itu hadir seperti seni itu sendiri yang menawarkan kekuatan yang membebaskan. Awalnya, tatapan Marianne tidak melampaui anatomi, dengan fokus pada leher Héloïse, garis wajahnya, dan rambutnya tertiup angin. Namun, ketika mereka bertemu satu sama lain, mereka dibebaskan. 

Marianne adalah seorang wanita yang berusaha membangun karier dan warisan dalam profesi yang sebelumnya terbatas pada pria. Dia bahkan tidak bisa menandatangani lukisannya dengan namanya dan harus menggunakan nama ayahnya. 

Héloïse adalah seorang tahanan di rumahnya sendiri, dan pernikahan hanyalah sebuah relokasi menuju tahanan baru. Jadi, mereka membentuk jalur kehidupan satu sama lain, karena tindakan menatap dan ditatap tidak hanya mengarah pada cinta, tetapi juga keselamatan. 

Seolah-olah mereka sedang mengomunikasikan seluruh bahasa kata dan perasaan hanya dengan menatap.

Sciamma memfilmkan setiap tatapan dalam sebuah urutan panjang dan hanya berhenti saat mendengar suara ombak dari kejauhan menerjang pantai, nyala api berderak di perapian, dan angin menerobos pepohonan. 

Baca Juga: Kritik Atas Patriarkat yang Terjebak dalam Praktik Kolonialisme Indonesia

Palet gambarnya dipenuhi dengan warna merah, hijau dan biru, seolah-olah cinta mereka diberkati oleh rumput tinggi dan laut, seolah-olah alam mengambil sikap menentang budaya, norma dan tradisi yang dirumuskan oleh laki-laki untuk mengerahkan dominasi atas perempuan.

Selain itu, dalam film ini, ketiga wanita yang berada di rumah sebelumnya memiliki  peran dan tanggung jawab yang ketat. Héloïse berjalan-jalan, Marianne melukis, dan pelayan Sophie menyajikan makanan.  

Namun, ketika cinta berkembang antara Héloïse dan Marianne, kondisi rumah tangga berubah dengan meninggalkan norma aristokrasi yang ketat dan mengasumsikan ruang hidup yang jauh lebih egaliter.

Dalam adegan yang mencolok yang dipenuhi dengan pembalikan peran, Héloïse memasak, Marianne menuangkan anggur, dan Sophie si pelayan menjahit.

Batas-batas kelas yang ketat dibuang, dan ketiganya berbagi tanggung jawab dan peduli satu sama lain, sebagai perempuan.

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage 

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari  Petrus Kanisius Siga Tage


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Patriarki, Kenikmatan Visual Adegan Seks, dan Batas Aristokrasi

Komentar ditutup.