Membaca Sebuah Kitab (Yang Tak) Suci

Spread the love

Judul: Sebuah Kitab Yang Tak Suci
Penulis: Puthut EA
Tebal: vi + 88 
Penerbit: Buku Mojok
Cetakan: IV, 2017
ISBN: 978-602-1318-57-7

***

Sudah lama tidak ada derit berirama dari ranjang-ranjang kami.

Ya, bahkan kami lupa bagaimana berciuman dengan baik. (Seseorang di Sebuah Sudut)

Sepuluh kumpulan cerita yang terangkum dalam Sebuah Kitab Yang Tak Suci (selanjutnya: SKYTS), sebagai pembaca, saya menemukan puncak estetis dari sebagian karya fiksi Puthut EA.

SKYTS dalam jalinan kisahnya mengalir penuh pertanyaan serta penasaran. Penuh dugaan-dugaan yang tak mudah ditebak. Pembaca akan dihadapkan pada beragam penafsiran yang melonjak ke luar dari benak penasaran. Pembaca akan digiring bagai bola di atas lapangan hijau. Dari kaki ke kaki. Dari mulut gawang ke mulut gawang, penuh harap membuahkan kemenangan. Di luar, ada seorang pelatih yang sedang mengatur para pemainnya agar mampu memainkan permainan yang indah dan mampu mencetak gol. Dan ini, bukan permainan sepak bola kelas teri. Ini adalah sebuah pertunjukkan sepak bola yang memainkan rasa yang seluruh.

Puthut EA berhasil memainkan debar pada dada pembaca sejak Ia menulis puisi panjang di depan sekujur tubuh kaku istrinya. Tidak ada kata-kata seperti mati, kematian, dan air mata di dalam puisi itu.  Tak ada doa-doa dan percakapan melankoli biru pada mayat di depannya. Diam yang matang dan sempurna. Udara pun tak boleh meraba (Kematian Seorang Istri).

Cara bersedih yang dinarasikan secara lain oleh Puthut EA dalam Kematian Seorang Istri membuat pembaca serentak bertanya, apakah ini sesuatu yang surealis atau fakta tapi fatal? Mana bisa tak ada kesedihan dan doa pada sebuah kehilangan yang selamanya?

Puthut EA menabrak kematangan berpikir kita. Saya sebut saja ini sebagai salah satu cara mengganggu yang sekaligus mengubah mindset kita tentang kematian dan kesedihan.

Sampai di sini, kita masih dihadapkan pada kebingunan yang bertanya-tanya. Mana bisa, sudah tiga hari sebagai mayat, istrinya tidak makan dan tidak minum,tapi tidak ada yang berkurang. Tidak makin kurus dan tidak berbau busuk. Hanya tidak bergerak dan tidak bernapas, itu saja!

Lagi-lagi ada yang janggal secara akal sehat. Ini adalah sesuatu yang tidak biasa. Ini adalah sebuah bentuk pertanyaan kepada Tuhan tanpa harus bertanya yang dinarasikan oleh Puthut EA melalui tokoh suami di dalam Kematian Seorang Istri.

Setelah hidup, mengapa manusia harus mati? Si suami harus mencari literatur-literatur tentang kematian dan mengapa manusia bisa mati. Sampai pada akhirnya, si suami tetap menulis puisi panjang dan dipenuhi beragam literatur untuk merakit bom yang dijadikannya sebagai bentuk lain bagaimana cara mematikan manusia.

Tidak hanya sampai di situ, manusia dihadapkan pada berbagai persoalan yang menuntut untuk sesegera mungkin diselesaikan. Tapi semua seperti misteri yang terdapat dalam Mencari Tangisan Pertama. Mengapa Ia harus mencari tangisan pertama? Saya, menemukan sesuatu yang lain pada cerepen ini.

Puthut EA sedang mendoktrin (tetapi tidak menggurui) pembaca agar mampu bertanya tentang keadaan Ibu pertiwi, Bumi. Tentang keadaan negeri kita yang tak seimbang dalam pembangunan, pemerataan bantuan, dan adanya keterbelakangan sosial, ekonomi, pendidikan di salah satu wilayah di negeri ini. Di mana ada sebagian penduduk negeri ini ingin mencari tahu tentang rahim ibunya yang sesungguhnya.

Ia telah terlempar dari kesunyian. Dari ranjang-ranjang yang kosong, rapi, berseprei, putih, kering, dan sendiri. Ia terlempar dari bukit-bukit terjal dan menyimpan sendiri gaungnya, sudut-sudut yang kehilangan tajamnya. Manusia menjadi takut menjadi manusia yang sesungguhnya karena harus dihadapakan pada beragam persoalan. Banyak yang bermuka dua. Dan jika tak mampu beradaptasi, maka sia-sialah hidupmu. Datang dari kesunyian dan kembali kepada kesunyian yang mengerikan.

Ia mencari-cari kembali kelahiran dan tangisannya yang pertama. Jika memang pernah ada. Sebab, hari ini, seseorang yang tidak pernah bahagia, dibunuh oleh orang yang juga tidak sedang bahagia. Dan mungkin, hal yang paling membahagiakan adalah kematian itu sendiri. Sebab, tak ada lagi yang perlu diingat di sana. Semuanya tiada. Dan, banyak orang terlalu ambisius dengan waktu, selalu sibuk mencari kesenangan setelah tidur yang tenang. Mungkin, tidur adalah salah satu bentuk kesenangan lain yang membuat manusia begitu ambisius dalam menjalani hidup yang kompleks namun selalu dibatasi keterbatsan. Namun hidup kadang membuat kamu cukup sialan dan seksi.

Di dalam Ruang Tunggu Waktu, sejak pagi buka mata hingga tirai malam diturunkan, manusia dijebak dan terjebak dalam pusaran waktu yang terbatas. Semua aktivitas manusia dibatasi detak-detik jarum yang setia bergantian angka pada jam seperti dua pasang mata bersitatap , lekat; meraba punggung malam dan setiap fajar adalah sebait puisi di tubuh bayi. Tangisnya tetap rendah hati dan wangi.  

Puthut EA menghadirkan kenyataan dengan tidak melebih-lebihkannya dan begitupun sebaliknya. Kenyataan diciptakan ulang dalam narasi fiksi yang begitu indah dan dipenuhi pesan-pesan kehidupan yang menguatkan. Bagaimana mungkin doa menyatu dengan dendam dan kebiadaban manusia, dengan kemunafikan yang sempurna! Benar yang dinarasikan Puthut EA di dalam kisah Sehelai Kutukan Yang Menikam. Ini adalah gambaran manusia masa kini, penuh dendam namun dalam waktu bersamaan mencari pembalasan melalui doa. Secara lain, soal dendam Puthut EA menarasikannya melalui satire yang tajam, sejujurnya aku bukan seorang pendendam, tetapi penikmat yang baik bagi setiap pembalasan. Hanya itu saja.  

Narasi-narasi dalam setiap kisah yang disajikan Puthut EA patut dijadikan pedoman hidup agar menjadi lebih mapan meskipun tidak semua harus bahagia. Sebab, hidup yang sempurna adalah hidup yang bisa dinikmati dengan cara bersedih dan bersenang. Jika hanya salah satunya, hidup tak utuh. Seperti sejarah, seperti dendam, segalanya dijalani tanpa pernah bisa dimengerti. Tidak juga ketika semuanya berakhir. Tidak untuk sebuah kalimat; manusia menjalaninya dari depan, sedang sejarah bisa dimengerti dari belakang.

Sampai pada titik ini, saya yakin Anda sedang menunggu sebuah ulasan mengapa kumpulan cerpen ini diberi judul Sebuah Kitab Yang Tak Suci.

Jujur, rasa penasaran Anda itu seperti rasa penasaran saya ketika pertama kali membaca kumpulan cerpen ini. Dari kisah Kematian Seorang Istri sampai pada kisah Seseorang Di Sebuah Sudut, tak satu pun saya temukan diksi atau kalimat yang merujuk pada Sebuah Kitab Yang Tak Suci.

Tetapi, saya yakin bahwa Puthut EA sedang menjebak manusia ke dalam sebuah pencobaan yang yang menguntungkan. Manusia digiring masuk ke dalam sebuah judul lalu pada akhirnya tenggelam dalam setiap jalinan kisah yang ada di dalamnya.

Manusia masa kini adalah manusia yang hidup dari setiap judul tulisan, entah apakah membaca isinya atau tidak. Tetapi, SKYTS sesungguhnya menghadirkan sebuah keutuhan cerita di dalamnya. Puthut EA yakin bahwa kumpulan cerita ini bukanlah sebuah kitab suci yang patut ditiru tetapi bisa dijadikan panduan dalam menikmati realitas yang dihadiahkan semesta terhadap pola laku hidup manusia seperti pesan berikut ini;

Anakku, belajarlah berjudi sendiri dengan nasibmu, tak ada yang bisa menyelamatkanmu dari ketidakjelasan esok hari. Ia hanya layak dijalani, … sebelum senja merawatmu dengan kesedihan yang  masih sulit kau mengerti.(Kota yang Menuju Diam)

Oleh: Alfianus Nggoa

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari Alfianus Nggoa


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

3 tanggapan untuk “Membaca Sebuah Kitab (Yang Tak) Suci

Komentar ditutup.