Mulan dan Gerak Politik yang Canggung

Spread the love

Judul: Mulan (2020)
Tahun: 2020
Sutradara: Niki Caro
Rumah Produksi: Lilies Films

***

Dalam beberapa tahun terakhir, Walt Disney Pictures telah memulai perjalanan retrospektif mereka melalui upaya mengumpulkan sejumlah film animasi dari susunan katalognya yang sangat banyak untuk dibuat ulang menjadi live action.

Keberhasilan Maleficent tahun 2014, Cinderella tahun 2015 dan The Jungle Book tahun 2016 membuktikan bahwa segmen penonton akan muncul jika Disney memberi mereka cara baru untuk merasakan pengalaman klasik dengan sentuhan cita rasa sinematografi modern.

Dalam proses memperbarui beragam film di katalog perpustakaan mereka, seringkali, Disney menggarapnya terlampau standar sehingga sulit beradaptasi—lebih tepatnya diterima—dengan penonton remaja modern.

Pada saat yang sama, ada film—misalnya, Maleficent (2014) dari Robert Stromberg—yang mampu mengeksplorasi narasi lama dengan cara yang kuat yang serentak dapat membuatnya lebih hidup dan bernuansa.

Kegagalan adaptasi Disney bisa terlihat dalam Maleficent (Mistress of Evil), Beauty and the Beast, Lion King dan Aladdin yang terasa basi dan penuh dengan upaya yang sebetulnya tidak perlu.

Seringkali yang menjadi persoalan adalah sebagian besar dari upaya remake live action tidak hati-hati saat dieksekusi dan bergerak terlalu jauh dari materi animasi terdahulu.

Jadi, pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah Mulan, satu lagi film remake dari Disney, layak untuk diperbarui menjadi live action?.

Dari semua film animasi Disney, Mulan, boleh jadi adalah film yang paling menarik sebagai bentuk remake live action.

Tentu saja, hal ini, bukan berarti belum ada remake live action yang bagus dan menawan selama beberapa dekade terakhir, Cinderella dari Kenneth Branagh atau Maleficent (2014) dari Robert Stromberg, misalnya adalah contoh remake live action yang cukup berhasil.

Mulan milik sutradara Niki Caro kali ini tidak diragukan lagi adalah salah satu remake terbaik. Sungguh menakjubkan untuk dilihat dari awal hingga akhir.

Pemandangan yang indah (dieksekusi oleh sinematografer Mandy Walker), kostum yang berwarna cerah dan sangat rumit (dari Bina Daigeler), urutan pertarungan yang runut dan wajah para aktor—terutama Liu Yifei, yang berperan sebagai Mulan—begitu mempesona.

Film ini, sekilas menjadi pembuktian bahwa Caro memiliki visi yang besar dan luas untuk Mulan, sehingga dapat terlihat untuk sebagian besar adegan, dia berhasil mengarahkannya dengan sangat baik

Setiap letupan alur cerita berjalan mengalir mendebarkan dari awal hingga akhir. Secara umum latar film ini bernuansa lokal dengan detail budaya tradisional, namun, tetap terasa sangat modern dengan bantuan efek khusus yang menarik dan urutan aksi yang atraktif di setiap perpindahan adegan.

Seperti dalam film sebelumnya dan balada kisah aslinya, Mulan kali ini digerakkan oleh cinta dan didasarkan pada tipu daya yang gagah berani.

Anda ingin aksi udara yang menantang gravitasi, terinspirasi wuxia, martial arts dan adegan berkuda yang koreografinya rumit? Di Mulan Anda akan mendapatkan semuanya.

Tak cukup disitu, ada sederet aktor veteran—Tzi Ma, Donnie Yen, Jet Li, dan Gong Li—yang benar-benar mengesankan membantu menahan emosi Anda tetap membumi.

Alur Cerita yang Familiar

Kisah tentang Mulan tetap familiar ketika film dimulai. Ia muncul dalam karakternya sebagai gadis muda yang ceria dan akrobatik (diperankan oleh Crystal Rao), memanjat dan melompati atap di desanya untuk mengejar seekor ayam sebagai bayangan dari aksi yang akan datang sebagai seorang ksatria tempur.

Ayahnya (Ma, kehadirannya yang hangat di sini seperti dia di “The Farewell”) tampaknya bangga dengan sifat berani putrinya, tetapi ibunya (Rosalind Chao) mengingatkannya bahwa “seorang putri membawa kehormatan keluarga melalui pernikahan”.

Pertemuan dengan seorang mak comblang (veteran Pei-Pei Cheng) yang penuh lelucon adalah salah satu dari banyak indikasi bahwa jalur perempuan yang secara tradisional sebagai “kelompok kelas dua” dalam pandangan masyarakat tidak ada di masa depan Mulan. 

Baca Juga: Patriarki, Kenimatan Visual Adegan Seks, dan Batas Aristokrasi

Ketika terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh perompak Bori Khan (Jason Scott Lee) mengancam kaisar (Jet Li) bertahun-tahun kemudian, tentara kekaisaran menyebar ke seluruh China untuk mengumpulkan tentara demi melindungi istana, mengumpulkan satu orang dari setiap keluarga.

Keluarga Mulan tidak memiliki anak laki-laki, jadi ayahnya—seorang pejuang yang terluka—harus ikut menjaga kehormatan. Sebaliknya, Mulan mengambil pedang ayahnya lengkap dengan armor tubuh dan menunggang kudanya di bawah kegelapan, melapor untuk bertugas dibawah kendali komandan yang tegas (Donnie Yen) dengan rambut terselip di bawah topi dan suaranya sedikit diturunkan.

Dalam tradisi film pembengkokan gender mulai dari Yentl hingga Just One of the Guys, Mulan harus menemukan cara berkelit untuk menghindari laki-laki saat berganti pakaian dan mandi di depan rekan-rekan tentaranya, termasuk Honghui yang tampan (Yoson An), hal ini juga berlaku dengan siapa dia harus menikmati percikan verbal dan fisik. Dia juga berjuang untuk menghindari penyihir yang berubah bentuk, Xianniang (Gong Li), wanita tangan kanan Bori Khan yang terus-menerus menemukannya.

Terlepas dari sifatnya yang jahat, penyihir Xianniang dan Mulan memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang terlihat, dan sifat hubungan mereka yang rumit serta penuh tipu daya di awal memberikan percikan agenda feminis yang menarik pada film tersebut. (Li juga bisa mengenakan kostum yang paling indah, termasuk yang terinspirasi oleh kemampuan Xianniang untuk mengubah dirinya menjadi elang).

Gerakan Politik yang Canggung

Segera saat film dimulai, kita mudah saja paham bahwa Caro, sang sutradara, membawa semangat yang hampir pasti bertolak dari gerakan #MeToo, di mana wanita berdiri untuk diri mereka sendiri dan bergandeng tangan bersama menuntut agar pria mendengar dan mempercayai mereka.Resensi MulanAda banyak momen tentang perjuangan perempuan yang membuat hati kita tercekat dan sekaligus membuat kita berharap bisa menonton “Mulan” di bioskop yang penuh sesak.

Betapapun indahnya film itu—karya wanita berbakat yang tak terhitung jumlahnya di belakang layar, termasuk sinematografer Mandy Walker dan perancang kostum Bina Daigeler—tetap saja, tidak sama antara menontonnya di rumah, bahkan di layar TV raksasa dan gadget premium sekalipun jika dibandingkan dengan di bioskop.

Ketika Mulan akhirnya membiarkan rambutnya tergerai, secara harfiah, itu adalah deklarasi kemerdekaan, momen cinta diri yang menggembirakan dari penegakan identitas feminis yang amat jelas.

Namun, meski bergerak pada upaya feminis, tetap ada yang disesalkan bahwa remake film ini meninggalkan area naratif dan tematik yang utuh dan sebetulnya sangat membutuhkan pembaruan.

Film ini, sejak semula memiliki moral feminis yang solid, meskipun sederhana. Maka, jika tujuan film baru adalah benar-benar memperbarui karya aslinya, pesan yang lebih kompleks akan masuk akal.

Namun, pada akhirnya film itu sendiri tampak kebingungan secara idologi sehingga kehilangan daya kritis terhadap struktur kekuasaan patriarkal Imperial China yang sangat kaku.

Mulan sama sekali tidak menjadi pionir bagi karakter mana pun dalam film itu bahwa harus ada perubahan yang dilakukan pada cara masyarakat mereka berfungsi dan memperlakukan perempuan dengan tepat, bahkan ketika dia berada di depan Kaisar. 

Sebaliknya, di akhir film, dia bergabung dengan Pengawal Kaisar, memperkuat fakta bahwa wanita harus bekerja dua kali lipat untuk mendapatkan pengakuan yang sama dengan pria, sehingga kemudian berakhir dengan melanggengkan ketidakadilan yang sama. Film ini secara konseptual tidak pernah berusaha menantang dikotomi ini.

Bergeser lebih jauh, film ini sama sekali tidak kritis terhadap China. Kaisar dipandang sebagai sosok dewa dan deklarasi perangnya melawan Bori Khan terasa adil dan perlu, tanpa harus bertanya atau menolak.

Mestinya, melalui Mulan, kita juga dapat melihat bahwa film ini, menjadi pisau bedah kritis atas kondisi China yang yang tumbuh dalam otoritarianisme, di mana ada banyak kelompok minoritas yang tertindas yang mendapat perhatian.

China adalah negara otoriter, yang telah tumbuh semakin kuat di era internet dan media sosial, yang sepenuhnya dikendalikan dan dikontrol oleh pemerintah.

Kondisi ini yang mendasari terjadinya sikap represif terhadap lebih dari satu juta Muslim Uighur, yang merupakan warga negara China.

Mereka diasingkan, anak-anak dipisahkan dari orang tua, dan pengambilan organ. Banyak bagian dari “Mulan” difilmkan di Xinjiang, di mana orang Uighur ditahan. China juga menyerang dan menangkap aktivis pro-demokrasi di Hong Kong, memicu protes terbesar dalam sejarah Hong Kong.

Jadi, bagaimana film ini memberikan kesan kepada penonton? Orang dapat membandingkan antara film dengan glora nasionalisme China dengan film jingoisme Amerika, seperti film-film garapan Michael Bay, misalnya.

Secara umum, mungkin mereka sama spektakuler dan gagap menunjukkan autokritik, tetapi “Mulan” mungkin jauh lebih dari itu. Film ini canggung secara politik, sebab, di tempat pertama ia tampak bingung mengkritik kebrutalan patriarki dan di tempat kedua ia gagap menelanjangi praktik represif otoritarianisme China.

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage 

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari Petrus Kanisius Siga Tage


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai