Perempuan, Puisi dan Kosmetik

Spread the love

Judul : Ramuan bagi Wajah Perempuan; Puisi Romawi Kuno tentang Kosmetik
Judul Asli : Medicamina Faciei Femineae
Pengarang : Ovidius
Penerjemah : Mario F. Lawi
Penerbit : Rua Aksara
Cetakan : Pertama, Oktober 2020
Tebal : xii + 42 halaman
ISBN : 978-623-6650-09-7

***

Ketika Pandemi Covid-19 mendera seluruh umat manusia, kebijakan untuk membatasi kegiatan yang menimbulkan kerumunan di ruang publik pun diimplementasikan demi memperkecil risiko penularan virus. Akhirnya, rumah menjadi tempat yang aman untuk beraktivitas.

Domestifikasi kegiatan sosial seperti: kerja dari rumah, belajar dari rumah, dan lain sebagainya pun mulai terasa sebagai kebiasaan baru (new normal), meski untuk itu, kejenuhan tentu saja tak terelakkan.

Satu hal menarik yang juga akrab dengan kegiatan “di rumah saja” adalah perawatan diri bagi kaum perempuan. Ketika waktu untuk di rumah menjadi lebih banyak daripada sebelumnya, perhatian pada perawatan diri menjadi agenda tersendiri.

Dan pada momen inilah, pelbagai bentuk tawaran kosmetik dan aneka perawatan kecantikan menjadi hal yang mendapat perhatian khusus.

Buku puisi “Ramuan bagi Wajah Perempuan” adalah buku puisi Romawi Kuno tentang kosmetik yang sangat unik. Mario berhasil membawa sebuah khazanah antik kepada kita pembaca kontemporer dengan penerjemahan karya seorang penyair Romawi Kuno yang terkenal, yakni Ovidius.

Ada jarak waktu sekitar 2000 tahun lebih antara teks asli puisi Medicamina ini dengan latar waktu kita saat ini. Demikianlah kerja istimewa penerjemah karya sastra kuno. Melipat waktu dan situasi untuk pertemuan “transhistoris” antara penulis kuno dan pembaca masa kini.

Ovidius sendiri lahir di Sulmo, Romawi Kuno, pada 20 Maret 43 SM, dan meninggal di Tomis, pada sekitar tahun 17 Masehi.

Buku puisi ini diterjemahkan dari judul aslinya “Medicamina Faciei Femineae” dengan cara “penerjemahan dekat”, yakni mempertahankan sedapat mungkin rumusan penerjemahan berdasarkan gramatika Latin Klasik.

Dengan demikian, Mario tentu memiliki perangkat pengetahuan yang memadai tentang gramatika Latin.

Orang-orang Romawi kuno menganggap kosmetik sebagai bahan-bahan medis, sehingga Medicamina dapat dikategorikan sebagai puisi didaktik-medis.

Puisi didaktik (puisi yang mengandung nilai pengajaran atau pendidikan) ini dapat dibagi menjadi dua bagian.

50 baris pertama berbicara tentang cultus (perawatan/ pengolahan yang diasosiasikan dengan dunia pertanian) dan ars (seni, teknik) dalam arti yang luas. Pada 50 baris kedua, termuat 5 resep bahan kosmetik dan langkah-langkah pembuatannya: resep pertama (baris 51-68), resep kedua (baris 69-82), resep ketiga (baris 83-90), resep keempat (91-98) dan resep kelima (99-100).

Wilkinson (1995) mengatakan bahwa subjek khusus yang dipilih Ovidius adalah perihal kosmetik. Setelah 50 baris pertama yang cerdas dan penuh semangat (fifty clever and spirited lines) pada bagian pengantar, Ovidius menyelam lebih dalam (duc in altum) kepada resep-resep spesifik sebagai ramuan untuk perawatan wajah perempuan.

Baca Juga: Kiblat Puisi Kritis-Profetis dalam Kumpulan Puisi di Kaki Ina Bo’i

Menurut Wilkinson, daftar resep berupa bahan dan cara pembuatannya ini mungkin diakses oleh Ovidius dari risalah seorang ahli farmakologi pada saat itu.

Ketertarikan Ovidius untuk mengeksplorasi secara khusus dan puitik perihal perawatan wajah perempuan melalui kosmetik adalah juga sebuah bentuk perlawanan.

Ada gelombang kritik terhadap penggunaan kosmetik oleh para perempuan pada zaman Romawi Kuno.

Dalam Oeconomicus karya Xenophanes, Isomachus memberikan sebuah anekdot sebagai pengajaran kritis bagai istrinya untuk tidak terjebak pada kecantikan artifisial dan dandanan.

Plautus dalam karyanya “The Haunted House” pun mengejek perempuan yang menggunakan kosmetik dengan menulis, “Mulier recte olet, ubi nihilo let” (aroma yang tepat bagi permpuan adalah tanpa aroma).

Kritik terhadap dandanan dan kosmetik perempuan juga ditemukan pada karya-karya Palutus (254-184 SM), Seneca (4 SM- 65 Masehi), Plutrach (45-120 Masehi), bahkan sampai pada era Kekristenan Awal. Gelombang kritik ini disebut Marguerite Johnson sebagai “anticosmetic tradition.” (Tradisi anti-kosmetik).         

Ovidius tampil untuk melawan gelombang tradisi anti-kosemetik ini. Ia menyelami secara intim dunia privat perempuan dan menawarkan resep-resep ramuan yang berguna bagi perawatan wajah mereka.

Marguerite Johnson dalam bukunya Ovid on Cosmetics; Medicamina Faciei Feminae and Related Texts (2016) mengatakan bahwa Medicamina karya Ovidius ini merupakan sebuah karya yang unik dalam khazanah literatur Romawi, bukan hanya karena ia menyajikan suatu bentuk perlawanan terhadap tradisi anti-kosmetik dan sudut pandang yang lebih berorientasi feminin, tetapi juga karena Medicamina ditujukan secara spesifik kepada perempuan dan ketertarikan mereka.

Ovidius berhasil menyapa para pembaca perempuan dengan suatu topik yang intim dengan cara yang intim pula. “Ovid speaks to his female audience on intimate topic in intimate manner.” (Toohey, 2013, p. 161). Dengan kata lain, Ovidius memasuki dunia perempuan, mengenali dunia mereka dan menawarkan sesuatu yang berharga bagi diri mereka.

“Ovidius secara metaforis memasuki ruang hidup perempuan dalam Medicamina dan ia menuliskan perihal tampilan fisik perempuan serta secara puitik menyentuh wajah dan tubuh perempuan.” (Marguerite, 2016, p. 23).

Ada beberapa pemaknaan relevan yang dapat kita pelajari dari puisi-puisi Ovidius ini. Memaknai secara relevan puisi-puisi Ovidius sembari menyadari konteks tematik penulisan puisi dan situasi historis yang melatarinya adalah sebuah bentuk pelajaran yang baik terhadap puisi didaktik seperti Medicamina ini.

Puisi ini dibuka dengan suatu imperatif plural “Discite”, yang berarti: “pelajarilah”. Perawatan akan kecantikan diri harus dipelajari dengan baik oleh kaum perempuan. Sebagai pelajaran, tentu ada hal-hal yang bisa kita terima dan ada pula hal-hal yang kita tolak. Demikianlah pelajaran kritis yang sesungguhnya. Kita belajar mempertimbangkan sesuatu. Mengapresiasi kelebihan-kelebihannya, serentak mengkritisi kekurangan-kekurangannya.

Hal ini penting, mengingat perihal kecantikan bagi perempuan ternyata tidak bebas kepentingan. Kecantikan bisa dijadikan “mitos”, yang akhirnya menjajah secara halus kesadaran para perempuan, sehingga menerimanya begitu saja, atau bahkan menghakimi dirinya sendiri pada forma kecantikan a la kapitalis yang sudah dinodai mitos tentang “cantik itu harus berkulit putih, cantik itu harus bertubuh seksi dan lain-lain”.Perempuan dan kosmetikYang pertama, kecantikan itu berhubungan langsung dengan kesehatan. Merawat tubuh, khususnya wajah adalah demi kesehatan (pro sanitate). Dengan cara ini, perempuan lebih mencintai tubuhnya dan merawat dirinya demi meningkatkan kepercayaan diri.

Noda di wajah sebagai akibat sengatan matahari atau bekas jerawat juga berkaitan dengan kesehatan kulit. Pada baris 69-82, Ovidius menulis resep kosmetik penghilang noda di wajah. Pada baris ke 78 ditulis “ore fugant maculas; alcyonea vocant” (untuk hilangkan noda dari wajah, mereka menyebutnya alyconea).

Kedua, kecantikan itu butuh proses dan ketelitian. Dengan memanfaatkan bahan-bahan alami melalui pelbagai proses pembuatan yang harus dipenuhi beserta takaran-takaran yang harus diperhatikan dengan teliti, perjuangan untuk merawat wajah perempuan bukan perkara instan.

Kecantikan itu diperjuangkan dalam proses dan kesabaran. Itulah mengapa perawatan wajah versi Ovidius disejajarkan dengan “cultus” dalam dunia pertanian.

Untuk menghasilkan panenan yang baik, tanah harus diolah dengan baik dan telaten. Dengan demikian, perawatan wajah adalah sebuah proses yang berkanjang untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Hal ini sekaligus mengkritik banyak orang yang menempuh cara instan dengan membahayakan kesehatan diri demi terlihat cantik dan menarik.

Ketiga, kecantikan bukan hanya soal artifisial (hal yang nampak) belaka. Ovidius juga berbicara tentang inner beauty. Dalam Medicamina baris 43-45, Ovidus menekankan pentingnya akhlak (mos) dan karakter (ingenium) yang baik dalam diri. “ingenio facies conciliante placet” (rupa tampak menyenangkan dengan karakter yang baik). Dengan kata lain, kecantikan itu juga mengalir dari dalam diri, terpancar dari akhlak dan karakter para perempuan. “formam populabitur aetas, et placitus rugis vultus aratus erit” (waktu akan merusak rupa, dan wajah cantik akan dibajak oleh lekuk keriput). Kecantikan fisik akan pudar seturut usia, namun kebajikan berupa kejujuran (probitas) dan cinta (amor) yang akan bertahan lama. Hal ini juga mengkritik kecenderungan untuk menghakimi para perempuan berdasarkan rupa dan wajah semata.

Berkut kutipan Medicamina, baris ke 43-50:

Prima sit in vobis morum tutela, puellae;

ingenio facies conciliante placet.

Certus amor morum est, formam populabitur aetas,

et placitus rugis vultus aratus erit.

Tempus erit, quo vos speculum vidisse pigebit

et veniet rugis altera causa dolor.

Sufficit et longum probitas perdurat in aevum;

perque suos annos hinc bene pendet amor.

Yang paling penting, para gadis, milikilah perisai akhlak dalam diri

rupa tampak menyenangkan dengan karakter baik yang melekat.

Cinta yang pasti adalah milik kelakuan baik, waktu akan merusak rupa,

dan wajah cantik akan dibajak oleh lekuk keriput.

Akan tiba waktunya kalian menyesal menatap cermin

dan dukacita akan mendatangkan penyebab lain keriput.

            Kejujuran sungguh memadai dan bertahan dalam jangka panjang,

dan pada waktu-waktu tersebut cinta bersandar dengan baik.

Serentak itu pula, kita juga mengkritik beberapa hal yang bisa saja tidak relevan dengan situasi dan persepsi kita sekarang perihal kecantikan.

Baca Juga: Komuni: Kutuk, Kepulangan, dan Pertobatan

Pertama, meski Ovidius terkesan lebih terbuka dan toleran terhadap kebutuhan pribadi perempuan, khususnya perihal perawatan kecantikan, tetap saja perempuan masih menjadi “objek” yang diimajinasikan kuasa persepsi laki-laki.

Tetapi, kita sadar bahwa konteks pada saat itu, kesadaraan akan kesetaraan gender belum menjadi hal yang wajar. Dewasa kini, banyak perusahan kapitalis memanfaatkan imajinasi lelaki untuk menginvasi kesadaran perempuan agar memakai produk kecantikan yang ditawarkan. Kita bisa lihat pada kecenderungan iklan-iklan yang menayangkan perempuan dapat merasa dirinya cantik ketika digoda atau dilirik laki-laki.

Kedua, meski bahan-bahan yang disajikan dalam resep ramuan kecantikan wajah banyak berasal dari bahan-bahan alami, namun seturut pendapat Marguerite Johnson, situasi politik bangsa Romawi pada saat itu sebagai sebuah bangsa imperial baru, menunjukkan kecenderungan untuk mempromosikan bahan-bahan baku demi kepentingan material dan operasi pasar internasional yang cukup tinggi.

Beberapa bahan baku yang ada dalam pergerakan impor barang menjadi bukti bahwa butuh biaya khusus untuk mengakses bahan baku tertentu. Meski kurang begitu kuat pembuktian ini, hal ini bisa menjadi catatan kritis bagi para perempuan untuk membangun sikap kritis terhadap godaan pasar. Dalam pola pikir kapitalis, segala sesuatu terukur dengan uang, termasuk imajinasi tentang kecantikan.

Membaca buku puisi terjemahan Ovidius di era pandemi ini membawa suatu pemaknaan yang didaktif, jika disikapi dengan sikap reflektif dan kritis. Tidak ada salahnya memperkaya khazanah pemikiran dengan membaca puisi-puisi kecantikan dan memaknainya, selain memfokuskan diri pada aneka rupa perawatan kecantikan di dalam rumah.

Satu hal yang penting, perempuan berhak mendefinisikan arti cantik itu sendiri tanpa harus tunduk pada rupa-rupa asumsi kecantikan yang diciptakan oleh pasar, juga oleh para lelaki.

 

Oleh: Giovanni A. L Arum

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari Giovanni A. L Arum


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Perempuan, Puisi dan Kosmetik

  1. Terima kasih telah menyajikan tulisan yang cantik untuk dicerna. Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan ??
    Salam

Komentar ditutup.