Perempuan yang Memesan Takdir: Sebuah Monolog Memerdekakan Diri

Spread the love

Judul: Perempuan yang Memesan Takdir
Penulis: W. Sanavero
Tebal: vi +102 hlm
Penerbit: Mojok
Cetakan:1, 2018
ISBN:978-6021318-65-2

***

Menyoal perempuan adalah sebuah usaha yang jelas-jelas gagal. Mengapa? Karena setiap persoalan yang dipersoalkan akan menimbulkan anak persoalan baru. Jadi, tidak akan ada habisnya jika berbicara tentang perempuan. Semuanya akan selalu seksi dalam setiap kepala manusia (baca: lelaki).

Keseksian itu bukan tampak pada fisik semata melainkan persoalan seperti masalah kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, pelecehan seksual, pekerja seks, perdangan manusia, dan beragam persoalan lain yang pada akhirnya menimbulkan gangguan psikologi pada diri perempuan.

Persoalan-persoalan yang dialami itu bukan tidak pernah berakhir atau diprotes oleh kaum perempuan yang mayoritas secara kuantitas tetapi minoritas secara eksistensial. Akan tetapi, jika melihat kualitas, ketajaman berpikir, perempuan memiliki kemampuan di atas laki-laki.

Namun, oleh karena kedudukan perempuan selalu digambarkan sebagai sesosok yang lemah, maka ada dan keberadaan perempuan selalu dipertentangkan bahkan dianggap tidak punya tempat.

Perempuan (sepertinya) menjadi produk budaya yang menguntungkan penciptanya yaitu para pemegang otoritas budaya yakni lelaki. Hal itu sering terjadi dalam kehidupan berumahtangga. Pada tempat ini, kodrat perempuan adalah untuk melayani. Namun, seringkali perempuan mendapatkan ketidakadilan di dalamnya.

Ketika ruang-ruang perempuan diintervensi, lalu terus dimaki, aku ingin tahu hormat semacam apa yang dilakukan oleh seorang istri untuk suaminya. (Sanavero, 77)

Menjadi jelas, bahwa Sanavero adalah perempuan yang ke sekian yang mewakili kaumnya untuk mencari model kemerdekaan yang sesungguhnya. Tanpa harus dicacimaki, tanpa harus dintervensi, tanpa harus dilecehkan, tanpa harus mengalami siksaan, dan diperjualbelikan seperti barang dagangan lainnya.

Lantas, kita pun bertanya, bukannya manusia diciptakan setara dan menjadi mitra dalam kehidupan? Tetapi, mengapa perempuan selalu mendapatkan diskriminasi dalam ada dan keberadaannya? Saya coba mengutip apa yang pernah diungkapkan oleh Gandhi:

“Kaum perempuan adalah mitra kaum pria yang diciptakan dengan kemampuan-kemampuan mental yang setara. Kaum perempuan memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas kaum pria. Kaum perempuan juga memiliki hak atas kemerdekaan dan kebebasan yang sama seperti yang dimiliki kaum pria. Kaum perempuan berhak memeroleh tempat tertinggi dalam ruang aktivitas yang dia lakukan, sebagaiman kaum pria dalam ruang aktivitasnya.” (Gandhi, 5)

Yang dikatan Gandhi bukanlah sesuatu yang  tanpa dasar. Gandhi mengatakan ini pada sebuah pertemuan tepat pada tanggal 20 Februari 1918. Semua itu didasari oleh keprihatinannya terhadap otoritas budaya India yang masih dipenuhi dengan sistim kasta dalam kehidupan. Dan, perempuan menjadi korban atas sistim yang demikian.

Hal yang sama masih terjadi di tengah-tengah kehidupan kita saat ini. Bukan karena sistim kasta tetapi karena keegoisan yang keterlaluan. Atau meminjam istilah dari Gandhi, kekuatan adat yang keji. Selain itu, Gandhi juga mengatakan dengan ungkapan yang tajam kepada lelaki.

“Kebanyakan kaum pria yang bodoh dan tidak berharga telah menikmati posisi superior atas kaum perempuan, suatu keadaan yang tidak pernah dapat diperoleh dan dialami kaum perempuan.” (Gandhi, 5)

Sanavero dalam Perempuan yang Memesan Takdir, berusaha berteriak dari kedalaman kesunyian diri yang memasung kebebasan yang diciptakan kaum lelaki. Dan, mencari jalan menuju kemerdekaan yang memerdekakan.

“Hatiku masih sama. Dengan cinta dan luka yang sama. Selamat malam untuk sepasang mata yang terbendung air berkaca.” (Sanavero, 11)

Jalan kemerdekaan itu, akhirnya berujung luka. Tak ada jalan keluar yang tepat untuk para perempuan selain menerima dan merayakan setiap luka yang selalu merdeka dalam diri.

Dengan dan melalui sastra, jalan kemerdekaan itu hanya sebatas media yang menjadi tempat untuk menampung segala keluh dan kesah serta luka yang beranak pinak. Tetapi sastra hanya menjadi alat menuju pembebasan berekspresi bagi siapa saja dan termasuk perempuan.

Ada kejadian-kejadian yang tak mampu ditangkap oleh intuisi lelaki, perempuan hadir dengan ketajaman intuisi untuk menarasikan segala kepedihan. Dan melalui sastra, Sanavero dengan bebas mempertanyakan apa tujuan Tuhan menciptakan perempuan untuk lelaki.

“Adalah aku, wajahku. Salah, disalahkan, atau dibuat salah? Mana yang benar? Barangkali pertanyaan semacam ini juga sebuah kesalahan. Lahir di atas kehendak Tuhan, bernapas di atas kehendak aturan-aturan yang dibuat-buat” (Sanavero, 19)

Pertanyaan semacam ini adalah sebuah kewajaran ketika ruang gerak dibatasi oleh aturan-aturan yang melemahkan. Tak ada jalan lain selain menerimanya dengan penuh kesabaran.

“…, terkadang memilih memahami jauh lebih buruk daripada tidak peduli sama sekali.” (Sanavero, 55)

Hanya dengan sastra manusia bebas menarasikan apa saja dan menembus ruang-ruang tabu dalam diri setiap manusia laiknya sebuah monolog di atas sebuah panggung yang sepi dari tepukan tangan dan apresiasi yang janggal.

Sebab, sastra belum seutuhnya mendapatkan panggung ekspresif dalam hati pembaca atau penikmat. Bukan karena sastra terlalu abstrak melainkan karena ketakutan dari pihak pembaca dan juga penikmat dalam melakukan proses penafsiran. Namun, Sanavero hadir dengan kenyataan-kenyataan yang sudah dipoles ke dalam ruang imajinasi yang mudah dipahami. Diksi yang kaya dan narasi yang penuh letupan untuk tak ingin akhiri cerita.

“Aku buang semua tisu-tisu kecuali tisu berwarna merah. Ya, merah darah, darahku, darah dari darahku. Untuk pertama kalinya, pagi seperti ujung mata pisau.” (Sanavero, 35)

Realitas memang menyakitkan. Tak bisa tawar-menawar selain menerimanya. Itulah kisah si Aku dalam Tisu Kering yang Basah. Menerima kenyataan bahwa keperawanannya hilang karena cinta yang belum apa-apa. Ditinggalkan. Ketika dihadapkan pada situasi seperti ini, tentu proses untuk menerima diri, tidaklah mudah. Ada banyak pilihan yang akan berakhir pada keputusasaan. Takut, apakah kelak akan ada yang menerima Aku yang seperti saat ini?

Sanavero tidak menutup mata, telinga dan hatinya ketika berhadapan dengan keadaan di sekitar. Di luar sana ada banyak orang (baca: Perempuan) yang mengalami kisah yang sama. Seringkali menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Tetapi si Aku di akhir kisah mengungkapkan hal ini demi menguatkan diri.

“Suatu saat ketika ada yang datang dan mengetuk pintu kamar, aku bukakan lipatan tisu ini di depannya. Agar mereka tahu, kalau yang mereka inginkan tidak ada padaku lalu pergi tanpa harus masuk kamarku dan meninggalkan liur yang masih basah di bibir.” (Sanavero, 35)

Di dalam Cerita Anak Kecil, Sanavero dengan sangat hati-hati menjadi seorang narator yang lapang. Membiarkan kisahnya mengalir jauh ke lubuk hati pembaca. Melukiskan seorang lelaki yang disebut ayah dalam menjaga dan membesarkan anak perempuannya laiknya seorang ibu penuh kesabaran.

Tinggal berdua dengan seorang Ayah tidaklah sulit. Tetapi mungkin tinggal berdua dengan seorang anak perempuan tanpa istri adalah hal yang sangat sulit bagi Ayah. Karena dia harus kuat dalam segala hal.” (Sanavero, 97)

Dalam segala hal, kadang Tuhan memang tidak adil. Ketika masih ada sayang-sayangnya, si Aku harus kehilangan cinta pertamanya, Ayah. Pergi dan tak kembali. Si Aku putus harapan. Kehilangan kepercayaan. Imannya goyah. Meninggalkan Tuhan.  Si Aku memilih menjadi perempuan malam yang mungkin malang.

Dan aku sudah menemukannya. Aku bertemu Tuhan di atas ranjang. Di atas kesakitan-kesakitan perempuan malam. Di sana, aku membuat dosa yang mendekatkanku pada Tuhan. Barangkali benar, ketika kau mengenal dosa, ketika itu pula aku mengenal iman. Semoga Ayah dan Ibu dalam iman. Dalam kepercayaan pada Tuhan.” (Sanavero, 97)

Melalui album prosa ini, Sanavero berhasil menjadi perempuan yang merdeka dalam mengekspresikan keprihatinannya terhadap persoalan perempuan yang dijumpainya dalam kehidupan nyata. Bukan sekadar imajinasi belaka tanpa dasar kenyataan.

Dengan sadar, sesungguhnya Sanavero melalui Perempuan yang Memesan Takdir, sedang berusaha memberikan penguatan kepada kaumnya dalam menghadapi otoritas yang tak seimbang. Ada kesenjangan yang disengajakan agar perempuan tak mendapatkan panggung pada sebuah singgasana kemerdekaan. Dan, sekarang, tugas perempuan adalah saling memerdekakan satu sama lain.

Untuk mimpi-mimpi yang sempat aku ciptakan di luar kemampuanku, maafkan aku.(Sanavero, 72)

 

Oleh: Alfianus Nggoa

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari Alfianus Nggoa

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai