Tuhan a la Cyprian

Spread the love

Judul:Pertarungan di Pniel (Kumpulan Puisi)
Penuli:Cyprian Bitin Berek
Tebal:99 halaman
Penerbit:Perkumpulan Komunitas Sastra Dusun Flobamora
Cetakan:I, Maret 2019
ISBN:978-602-51631-4-2

***

Tuhan merupakan satu dari sekian banyak ekspresi puitis dari nilai tertinggi dalam epos kemanusiaan, walau kadang tidak sama dalam medan realitasnya.” -Erich Fromm

Pada dasarnya, ekspresi konseptual pengalaman manusia memiliki kecenderungan untuk berubah menjadi ideologi. Alasannya, bukan hanya ketakutan manusia untuk mengaitkan dirinya secara penuh pada pengalaman, tetapi, karena perubahan itu alami dalam hubungan antara pengalaman dan ide (konseptualisasi).

Sebuah konsep tidak pernah cukup mengungkapkan pengalaman yang diacunya. Konsep menunjuk pada pengalaman tetapi bukan pengalaman itu sendiri.

Persis seperti yang dikatakan para penganut Zen Buddhisme,—telunjuk yang mengarah ke bulan, tetapi itu bukan bulan.

Seseorang bisa mengacu pada pengalamannya dengan konsep a atau simbol x, sekelompok orang bisa menggunakan konsep a atau simbol x untuk mengartikan pengalaman bersama.

Dalam kasus ini, meskipun konsep dan simbol tidak terasing dari pengalaman, tetapi ia tetap menjadi ekspresi yang mendekati pengalaman. Sebab, tidak ada pengalaman seseorang dapat identik dengan pengalaman orang lain. Ini hanya akan mendekati keperluan untuk mengizinkan penggunaan konsep dari simbol yang sama.

Faktanya, pengalaman seseorang tidak pernah tepat-sama pada saat yang berbeda, karena tidak ada seorang pun tepat-sama pada rangkaian periode hidupnya.

Terlepas dari semuanya itu, konsep dan simbol mempunyai tabungan nilai yang besar sehingga manusia dapat mengkomunikasikan semua pengalaman mereka.

Pada titik ini, ada sebuah pertanyaan mendasar muncul, apakah pengalaman religius penting bila dihubungkan dengan konsep teistik?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu akan membutuhkan penalaran yang detail dan komprehensif.

Seseorang bisa menjelaskan suatu pengalaman religius sebagai pengalaman manusia yang mendasari, dan umum pada jenis teistik tertentu sebagaimana nonteistik, ateistik, atau bahkan konseptualisasi antiteistik.

Perbedaannya adalah konseptualisasi pengalaman, bukan dasar pengalaman. Dengan kata lain, bukan dasar pengalaman yang mendasari bermacam-macam konseptualisasi.

Sebab, jika seseorang menganalisis pengalaman dan bukan mengkonseptualisasinya, akan berakibat pada ketiadaan batasan yang jelas, mana pengalaman individual yang mendasar pada religiusitas nonteistik.

Kerangka berpikir di atas dapat didalami, ketika kita menjelajahi puisi-puisi Cyprian Bitin Berek dalam Pertarungan di Pniel (PdP).

Dalam buku ini, terangkum 51 buah puisi yang sebagian besarnya mengisahkan tentang tokoh-tokoh dalam kitab suci perjanjian lama. Membaca puisi-puisinya ibarat menonton seorang pianis melancarkan jemarinya di atas hitam-putih bilah nada piano.

Kita akan menemukan campuran dari kebaikan dan kejahatan, penalaran murni ke dalam realitas, pengalaman iman yang ditransfer ke dalam potongan-potongan imajinasi, konsep-konsep pertarungan-pertarungan psikologi dan penghayatan akan keberadaan Tuhan yang dikolaborasi dengan serpihan-serpihan fiktif sehingga membuat puisi-puisinya menjadi sistematis. 

Dari setiap buah puisi, bisa kita temukan pengalaman Cyprian dalam menalarkan pertarungan-pertarungan dalam dirinya untuk menemukan sisi keilahian yang muncul dari setiap pertarungan.

Karena itu, ia bercermin pada kitab suci, tak melulu tokoh-tokoh yang baik saja, tetapi tokoh jahat atau antagonis dan segala pergolakan mereka.

Ia memasuki hidup setiap tokoh, merasakan apa yang mereka rasakan, menghayati pencarian Tuhan dari setiap tokoh.

Rujukan puisi yang menunjukkan Tuhan dalam pengalaman Cyprian dan bagaimana kehadiran Tuhan di dalam dirinya dinukilkan dalam puisi Pertarungan di Pniel, “Yakub! Yakub!/ Tatkala lahir engkau sendiri/ Hidup adalah dirimu sendiri” .

Ini adalah dialog dalam diri penyair dan mengalami pertarungan di dalam dirinya.

Cyprian mengawali hidup sebagai masalah, sebagai pertanyaan yang membutuhkan jawaban.

Cyprian mengungkapkan kegelisahannya di tengah keterpecahan eksistensial dalam arus kehidupan.

Baginya, hidup menjadi statis dan tak sedikit pun terganggu oleh desakan pemecahan masalah.

Hidup yang lumrah memiliki kesan tersendiri dalam laci eksistensinya, dia tidak mengalami kesakitan dari keterpisahannya dari manusia dan alam yang juga tak bergairah untuk mendatangkan keterpisahan, justru, dapat timbul keinginan lain untuk menemukan hubungan yang baik.

Dalam bait ke sekian, ia menuturkan lagi dialog dalam dirinya; Menjelang subuh dia melenguh:/ “Yakub! Yakub! Sudah kau menang terhadap Allah./ Sudah kau taklukkan dirimu/ ialah ketakutanmu sendiri.”

Pada titik inilah pengalaman Cyprian disebut sebagai panggilan untuk transendensi. Masalahnya, kata ini dapat kita temukan masalah yang sama seperti kata religius. “Transenden” secara konvensional digunakan dalam arti transendensi Tuhan.

Namun, sebagai fenomena kemanusiaan, kita bisa menyetujui transendensi di sini sebagai transendensi ego, keluar dari penjara keegoisan dan keterpisahan; bagaimana ia mengelola tangga-tangga transendensi ini hingga pergumulannya sampai kepada Tuhan, dan yang terutama, bagaimana pengalaman transendensi itu bisa dikonseptualisasikan.

Di sini pengalaman adalah hal pokok yang tidak bergantung pada apakah hal itu mengacu kepada Tuhan atau tidak.

Sebagai permenungan akhir ia menyodorkan bingkisan Ajakan; “Wahai kutahu tak kelak/ keberangkatan selalu tiba/ sebelum kita sempat berkemas/ karena hidup, bagiku, perjalanan abadi.”

Manusia dikepung oleh dikotomi sebagai bagian dari semesta, akan tetapi ia melebihi semua itu, berdasarkan kenyataan bahwa sebelumnya ia telah mempunyai kesadaran diri dan pilihan. Dia hanya bisa memecahkan masalah ini dengan terus bergerak maju.

Manusia harus mengalami dirinya sebagai orang asing di dunia, asing untuk dirinnya, semesta dan untuk kembali bersatu dengan dirinya,—dengan sesama manusia, alam dan segala isinya.

Manusia harus mengalami keterpisahan antara dirinya sebagai subjek dan dunia sebagai objek yang merupakan satu kondisi untuk keluar dari keterpisahan ini.

Ada sebuah bentuk persuasif yang berteriak dalam dalam dirinya bahwa Tuhan adalah sebuah jalan akhir yang terus dicari dalam proses kehidupan.

Tentu, kita teringat akan paham Tuhan dalam filsafat prosesnya Whitehead, Tuhan dipahami sebagai “dalam proses”, Ia adalah wujud aktual bersama wujud-wujud aktual lainnya sehingga menjadi aspek awali (The primordial nature of God) dan aspek akhiri (The consequent nature of God).

Walau dengan penjelasan demikian, tentu Tuhan Cyprian belum tergambarkan secara utuh dan tak lengkap bila hanya dilukiskan dengan kata-kata.

Lalu seperti apakah Tuhan versi Cyprian yang sesungguhnya? Tentu hal tersebut adalah pertanyaan reflektif.

Namun, karyanya dapat dikatakan berhasil menggiring pembaca untuk sampai pada titik-titik permenungan akan kehadiran Tuhan dan keberadaan manusia. Lebih dari itu, kita akan berkelana mencari tuhan-tuhan kita sendiri.

 

Oleh: Dunstan Maunu Obe 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari Dunstan Maunu Obe 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Tuhan a la Cyprian

Komentar ditutup.