Yang Mencegat yang Mendorong Itu, Namanya Rindu!

Spread the love

 

Judul Buku : Perihal Pulang
Penulis : Milla Lolong
Penerbit : Kuncup (Malang)
Tahun Terbit : 2019
Jumlah Halaman : xx + 56 Halaman
ISBN : 978-623-7283-20-1

***

“Perihal Pulang”, judul antologi puisi ini, langsung mengingatkan saya pada dua penulis yang penggalan dari tulisan atau pernyataan mereka telah jadi quote terkenal.

Pertama dari antropolog Amerika Serikat, kedua dari pustakawan-sastrawan Indonesia. Baiklah kalau dua quotes itu saya lampirkan.

One of the oldest human needs is having someone to wonder where you are when you don’t come home at night – Salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah memiliki seseorang untuk bertanya di manakah Anda saat Anda tidak pulang ke rumah malam hari.” -Margaret Mead, The Quotable Woman (1991)

“Masa lalu tidak pernah hilang. Ia ada tetapi tidak tahu jalan pulang. Untuk itu ia menitipkan surat-kadang kepada sesuatu yang tidak kita duga. Kita menyebutnya kenangan.” -M. Aan Mansyur, dalam Kukila (2012)

Dua quotes di atas–yang masing-masing mengandung kata “pulang” di dalamnya– akan jadi semacam penuntun bagi saya untuk memasuki puisi-puisi dalam “Perihal Pulang” ini. Lebih dalam menyelaminya dengan pijakan atau bahkan pisau analisis lain, silakan Anda, pembaca yang budiman, lakukan sendiri.

* * *

Bila jeli membaca, puisi-puisi dalam antologi ini sebetulnya membahasakan hal-hal yang sangat dekat dengan keseharian kita. Ia bukanlah hasil olah imajinasi yang jauh melangit, bukan khayalan semu yang tak tergapai, bukan pula formulasi kata-kata yang bombastis tanpa pijakan. Melainkan, permenungan yang melekat pada setiap detak detik hidup kita.

Milla Lolong berhasil meramu kepingan-kepingan pengalaman jadi puisi-puisi yang: atau buat kita diam tersadar, atau mengajak kita bergerak merenung lebih jauh. Atau, yang ingin saya terangkan sekarang ialah, saya menemukan karakter puisi-puisi dalam “Perihal Pulang” ini bermain-main dalam dua nuansa: atau mencegat, atau mendorong kita.

Puisi yang Mencegat

Menyadari masa lalu yang tak tahu jalan pulang–Aan sebut sebagai kenanganitu, rasa-rasanya seketika menghentikan kita. Kata bahasa Indonesia lain yang sepadan dengan “mencegat” ialah “menghentikan”.

Waktu berputar begitu gesit, tanaman tumbuh pun mati jua, usia menua tanpa disadari, bayi-bayi dalam gendongan kini berlari lepas di lapangan Desa, rambut Anda memutih, kumis saya menebal, dan Milla yang kumal tanpa bayangan pasti akan masa depannya 20-an tahun silam di Kampung Lewoeleng nun jauh di Pulau Lembata, NTT, sana saat ini terkejut mendapati antologi perdana puisi-puisinya sampai di tangan Anda, dibaca khalayak.

Segalanya berlalu, yang tinggal tetap hanyalah kenangan.

Dalam situasi quickness, serba tergesa-gesa, puisi-puisi Milla mencegat kita, seperti sebuah lambaian tangan penumpang tua yang mencoba menghentikan laju kendaraan.

Seperti teguran guru wali kelas saat mendapati anak walinya duduk gosip alih-alih diskusi kelompok.

Kenangan yang tergambar dalam Kepada Ayah misalnya, adalah kenangan akan masa kecil yang begitu membekas. Tentang Ayah yang ... Terkadang karena ulah kami amarahmu membuncah...

Milla mengajak kita pulang, kembali menjumpai kenangan-kenangan akan kasih– meski tak sedikit pula Saudari/a kita yang mengalami sebaliknya, yang tidak mengalami apa dan bagaimana kasih itu–yang secara cuma-cuma kita terima dari orang tua.

Pertanyaan Cintamu, cinta apa?, saya kira merupakan pertanyaan yang dapat pula Anda dan saya utarakan kepada siapa saja: atasan, sahabat, rekan kerja, kawan diskusi, kekasih, atau juga musuh.

Karakter yang sarat akan cegatan-cegatan juga dapat dijumpai dalam Elegi Perempuan, Pertanyaan (1 & 2)atau Sajak-sajak Pilu”. Milla mengajak kita untuk berhenti sejenak, menerjunkan diri kita sendiri ke dalam lembah realitas sehari-hari yang diwarnai kompetisi yang kerap berakhir dengan baku injak, memasuki diri kita sendiri yang terus bergerak maju di tengah dunia yang kian gaduh-absurd ini.

Dengan mencegat diri kita sendiri bersama puisi-puisi Milla, kita dapat kembali memenuhi kebutuhan spiritual yang barangkali makin hilang tergerus kebisingan zaman: keheningan, refleksi!

Puisi yang Mendorong

Hal apa yang paling mendorong kita bekerja keras, belajar hingga larut malam, menerjang hujan, berpanas-panasan, bahkan berdarah-darah, kalau bukan kebutuhan?

Kendati getolnya keinginan kadang bikin kita khilaf-lupa, kebutuhan adalah semurni-murninya motivasi untuk berjuang dalam hidup yang sementara ini. Maka, benarlah apa yang ditegaskan Margaret di muka, ... having someone to wonder where you are when you don’t come home at night adalah kebutuhan setiap kita, kebutuhan fundamental.

Dicintai, dinanti, digelisahi, adalah kebutuhan setiap kita, dan bias lain dari terpenuhinya kebutuhan dasar ini ialah kebahagiaan.

Seperti kebutuhan, puisi-puisi Milla juga mendorong kita. Untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia akan kedamaian dan keharmonisan, puisi Sepucuk Surat Untuk Ibu mendorong kita untuk gelisah.

Harus gelisah! Kenyataan bahwa gesekan-gesekan juga konflik-konflik sosio-kultural sebetulnya tidak hanya ada dalam televisi atau koran, melainkan telah bertahun-tahun lamanya diam bagai kanker ganas dalam tubuh kampung kita sendiri, sudah seharusnya menjadi kenyataan yang mendorong kita untuk berpikir, untuk menyudahinya dengan cara-cara yang membebaskan.

“… Perpecahan di mana-mana / Kini bahkan di depan mata kita …” merupakan kenyataan yang tak bisa kita elak.

Dalam suku, dalam keluarga, dalam agama, dalam perusahaan, dalam komunitas, bahkan dalam diri kita sendiri, ada banyak keterpecahan.

Karakter yang mendorong lainnya dapat dijumpai dalam Tuhan Masih Pantaskah? (1&2). Kebutuhan akan keselamatan, dalam konteks iman, adalah kebutuhan yang sama mendesak dan urgennya dengan kebutuhan akan upah kerja atau nama baik di tengah masyarakat.

Bertanya pada Tuhan tentang kepantasan adalah dorongan Milla agar kita semua pulang ke dalam diri. Mengecek tabungan kebaikan kita, mengecek saldo solidaritas kita pada sesama juga alam lingkungan.

Pulang adalah Ihwal Kerinduan

Dua nuansa yang mewarnai “Perihal Pulang” ini dapat dilebur, sehingga pada akhirnya bisa saya katakan, “Perihal Pulang” tak lain tak bukan ialah perkara rindu.

“Perihal Pulang” adalah perihal rindu. Rindu pada Ibu: “… Di malam sepi / Maafkan aku yang terlalu rindu ...” rindu dari Ibu yang kerap mencuat berupa nasihat: “… Perjuangan tentu membawa imbalan / Tiada untung kau menanam dendam  …”, rindu akan tanah kelahiran: “… Aku pulang banyak yang berubah …”, juga rindu akan keheningan: “… Adalah engkau
/ Rindu yang tiada
 …”, dan rindu akan toleransi: “… Kita adalah Satu.

Atau sekarang saya ringkas, rindu bisa “mencegat” kita. Kita bisa saja tiba-tiba rindu kampung (dhégha nua, sebagaimana tagline dan ide dasar ArnoldusWea.Com ini) ketika sedang berada jauh di tanah rantau. Rindu “mencegat” kita saat itu, yang dalam waktu bersamaan, “mendorong” kita untuk pulang. Kita kerap “terdorong” setelah “tercegat”.

Baca Juga: Kenapa Saya Menginisiasi Gerakan Dhegha Nua?

Kita melakukan sesuatu setelah tahu ada sesuatu yang perlu diubah, ada yang tidak beres, atau ada yang mesti jadi lebih hebat. Kita juga kadang tak mau “tercegat” sendiri. Kita lanjut “mencegat” sesama. Tak mau “terdorong” sendiri, kita lanjut “mendorong” yang lain.

“Perihal Rindu”–Anda tentu dapat menyimpulkannya sendiri selepas membacanya –adalah sekumpulan refleksi seorang pemudi yang terpisah jauh dari keluarga, dari aroma kampung, yang telah lebih dahulu “tercegat”, sehingga “terdorong” untuk menawarkan cegatan-cegatan juga dorongan-dorongan pada kita.

Puisi-puisi dalam “Perihal Pulang” ini cocok dibaca dan dihayati oleh siapa saja yang selalu rindu untuk “pulang”: berbakti pada orang tua, menata kampung halaman, membawa perubahan di daerah, juga yang punya idealisme untuk membangun sebuah tatanan kehidupan baru dalam tiap dimensinya.

Bagi yang sedang atau akan membaca “Perihal Pulang” ini, saya ucapkan selamat menikmati, selamat “tercegat-mencegat”, selamat “terdorong-mendorong”! 

Catatan: Milla meminta penulis membuat prolog untuk bukunya “Perihal Pulang”, dan resensi ini diolah sedemikian dari prolog itu.

 

Oleh: Reinard L. Meo

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari Reinard L. Meo


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

4 tanggapan untuk “Yang Mencegat yang Mendorong Itu, Namanya Rindu!

  1. Terima Kasih Untuk Resensinya Kaka.
    Terima kasih untuk motivasi dan kritikan yang membuat saya sampai pada titik ini.
    ???.

  2. Pusi-puisi mila lolong bagi saya adalah bentuk kepedulian darinya sebagai anak muda perempuan yang gelisah atas segala kebibrokan di sekitarnya juga ada rindu yang kuat untuk menata kebibrokan itu

  3. Sebuah resensi nan utuh….buah manis dari rajin membaca…..tak sekadar membaca buku, tetapi juga membaca realitas semesta….yang memiliki sejuta pesan kaya makna….keep going guys

Komentar ditutup.