KEMENANGAN ARGENTINA DI ANTARA TAKHAYUL DAN POLITIK YANG TERBELAH

Spread the love

Ketika sepakan Monteil bersarang di sudut kanan jala gawang Hugo Lloris dalam drama adu pinalti antara Argentina melawan Prancis, serentak, malam 18 Desember di Lusail Iconic Stadium pecah.

Dari segala penjuru tribun chants Argentina penuh gairah, “Muchachos” bergema jauh hingga ibu kota negara, Buenos Aires atau mungkin ke segala penjuru dunia.

En Argentina nací

Tierra del Diego y Lionel

De los pibes de Malvinas

Que jamás olvidaré…..

Raksasa sepak bola Amerika Selatan pada akhirnya membawa pulang trofi setelah menanti selama 36 tahun untuk gelar juara dunia ketiga yang terbukti sangat sulit diraih sejak menjuarainya pada 1986, saat dipelopori oleh Diego Maradona yang legendaris itu.

Tepat di Lapangan Monumen Obelisco di Kota Buenos Aires, lautan manusia berkumpul merayakan kemenangan La Scaloneta (julukan untuk tim argentina yang dicetuskan oleh wartawan Rodolfo ‘Gringo’ Cingolani untuk menggambarkan keberhasilan Lionel Scaloni dalam mengawaki skuad Argentina).

Jalan-jalan dipenuhi hiruk-pikuk karnaval oleh sorak-sorai, klakson mobil, musik cumbia, dan pengeras suara. Orang-orang muda memanjat pagar dan tiang lampu di dekat kaki monumen.

Permainan drum dadakan menggunakan ember dan kaleng cat terbalik terus bergema, sementara irisan daging sapi panggang di asados ​​(barbekyu), aromanya memenuhi udara sore yang cerah.

Hari itu, menurut perkiraan dari pihak berwenang Argentina, lebih dari satu juta orang berada di jalan-jalan Buenos Aires merayakan kemenangan.

Berkumpulnya pendukung Argentina di Obelisco, bukanlah hal yang biasa. Monumen ini adalah simbol politik.

Pada tahun 1975, selama pemerintahan populis Isabel Perón, sebuah tanda lingkar berbentuk cincin digantung di sekitar obelisk, dengan semboyan El silencio es salud (Silence is health).

Meskipun diduga semboyan ini ditujukan untuk mengingatkan pengendara yang membuat kebisingan yang berlebihan, semboyan ini secara luas juga dapat ditafsirkan sebagai pernyataan yang menyerukan kepada warga Argentina untuk tidak mengungkapkan pandangan politik mereka.

Perayaan di monumen Obelisco yang sarat akan politik itu, mungkin bagi sebagian masyarakat Argentina adalah cábala, takhayul yang berkembang di Argentina saat mereka memilih tempat untuk menonton turnamen agar tim yang didukung menang.

Bagi mereka jika mengubah keyakinan tentang cara menonton pertandingan dan tim yang didukung kalah maka itu disebut mufa.

Pablo Noya, 29, seorang jurnalis olahraga yang pernah bermain sepak bola profesional untuk JJ Urquiza dan Deportivo Español, mengatakan sepak bola adalah cara bagi orang Argentina untuk melepaskan diri dari masalah kehidupan sehari-hari mereka. 

“Ini adalah momen di mana kita semua sama,” katanya. “Ada orang yang tidak punya apa-apa, tapi, dengan sepak bola mereka bisa merayakannya… tidak ada kelas sosial, tidak ada masalah ekonomi. Bagi saya, itulah sepak bola.”

Sepanjang turnamen piala dunia ada perasaan bahwa masyarakat Argentina membutuhkan kemenangan sebagai penawar untuk segala prahara yang melanda.

Negara ini telah bangkit dari resesi ekonomi yang menggigit, krisis mata uang, dan inflasi hampir mencapai 100%. Sementara itu, Buenos Aires adalah wilayah dengan lockdown Covid-19 terlama dan paling menyiksa di dunia.

Beberapa pekan lalu, wakil presiden dan mantan presiden dua periode Cristina Fernández de Kirchner dari sayap kiri dijatuhi hukuman enam tahun penjara atas tuduhan korupsi, sebuah putusan yang mempertajam perpecahan politik di negara itu.

Fernández de Kirchner adalah sosok progresif dalam landscape politik Argentina. Dia dan suaminya adalah anggota dari apa yang disebut “pink tide” presiden sayap kiri yang memerintah banyak negara Amerika Latin pada awal abad ini, bersama tokoh-tokoh seperti Luiz Inácio Lula da Silva dari Brazil dan Michele Bachelet dari Cile.

Kirchner selama kepemimpinannya telah menerapkan kebijakan ekonomi progresif yang memperbaiki kehidupan orang miskin dan membantu membawa Argentina kembali makmur setelah bencana keruntuhan ekonomi pada 2001 dan 2002.

Tetapi, para pengkritiknya dari sayap kanan telah lama menuduh Kirchner melakukan korupsi, dan putusan itu tidak akan banyak mengubah pendapat yang mengakar, kata Sebastián Giorgi, ahli semiotik Argentina yang telah mempelajari wacana seputar persidangan Kirchner.

“Mereka yang sudah mengira dia korup akan terus memikirkan apa yang mereka pikirkan, dan mereka yang mengira dia tidak korup, akan tetap berpikiran sama juga,” katanya.

Dia menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap peradilan Argentina rendah, terutama kaum muda, pada akhirnya lebih memilih untuk membentuk opini mereka di media sosial.

Tekanan politik dan ekonomi yang terjadi di Argentina selalu beririsan dengan transisi mereka dari negara kaya di awal abad kedua puluh menuju negara terbelakang hingga saat ini.

Argentina tidak pernah menyelesaikan transisi menuju demokrasi terbuka yang didukung oleh supremasi hukum.

Ketika militer secara resmi melanggar tatanan konstitusional pada tahun 1930, Argentina memulai jalur pengembangan institusional yang tidak stabil, transisi bolak-balik antara periode kediktatoran dan demokrasi.

Alih-alih memulai jalan menuju pembangunan kelembagaan yang berkelanjutan, Argentina terjerembab dalam kecurangan pemilu yang kacau dengan pengikisan sistem check and balance antara eksekutif dan legislatif yang serentak mempercepat kebangkitan pemimpin populis, seperti Juan Péron, ke tampuk kekuasaan.

Kerangka kelembagaan de jure dan de facto yang tidak stabil gagal mengaktifkan kebijakan ekonomi yang meningkatkan pertumbuhan. Sebaliknya, justru melahirkan oligark yang didukung pemerintah dalam kegiatan ekonomi produktif.

Bagi Argentina, yang berjuang dengan inflasi tahunan sebesar 100 persen dan perpecahan politik yang pahit, Piala Dunia menawarkan jeda sementara dari berita buruk yang tak henti-hentinya menerpa. 

Kejuaraan Piala Dunia ketiga yang baru saja diraih akan meningkatkan semangat nasional yang nyaris lumpuh dan merekatkan perpecahan yang membahayakan.

Di Twitter Presiden Alberto Fernández menulis “Selalu bersama, selalu bersatu. KAMI JUARA DUNIA! Tidak ada lagi kata-kata. TERIMA KASIH, Argentina,”

Di Buenos Aires saat perayaan kemenangan, polisi kota hanya menghitung 17 penangkapan pelanggaran, menurut laporan media setempat.

Di jalanan San Telmo, sebuah truk lewat, penuh dengan beberapa liter bir Quilmes. Seorang pria dengan setelan boiler biru dan putih menggebrak atap mobil dengan marah

Tapi kemudian, orang yang sedang bersuka ria di sekitarnya berteriak lantang. “Ayolah, berbahagialah,” kata mereka. “Kita menang!”

Di luar hiruk pikuk dalam negeri, deru dukungan mengalir dari seluruh Amerika Latin, dengan pecinta sepak bola di seluruh wilayah gembira bahwa trofi telah datang, jika bukan untuk mereka, maka setidaknya untuk tetangga regional mereka.

“Kemenangan Argentina adalah kemenangan untuk Tanah Air Besar”, tweet presiden Bolivia, Luis Arce.

Ia menggunakan frasa yang menggambarkan cita-cita komunitas regional bersama orang Amerika yang berbahasa Spanyol.

“Sepak bola itu sangat indah,” tambah presiden Cile, Gabriel Boric. “Pelukan erat untuk saudara-saudara Argentina kami. Kegembiraan mereka melintasi cordillera [Andean].”

Saat pemain tiba dari Qatar untuk membawa trofi, sekitar 5 juta orang berkumpul untuk merayakan momen bersejarah ini di Buenos Aires.

Bus atap terbuka meliuk-liuk melintasi kota, para pemain menari dan bersorak bersama para penggemar yang mengelilingi kendaraan.

Polisi harus menahan orang-orang agar bus dapat bergerak maju dalam perjalanannya yang lambat menuju pusat kota. Tapi akhirnya mereka tidak bisa melangkah lebih jauh untuk menyapa semua penggemar.

Skuad Argentina dipaksa untuk menyelesaikan parade kemenangan mereka di Buenos Aires dengan sebuah helikopter setelah jutaan orang membuat bus beratap terbuka mereka terhenti, dengan laporan menunjukkan 18 orang terluka dalam perayaan dan rekaman video menunjukkan salah satu penggemar melompat ke bus skuad dari atas sebuah jembatan.

Namun, yang harus diingat insiden yang terjadi bukan karena gesekan akibat perpecahan politik tetapi karena orang-orang justru sedang bersatu merayakan kemenangan.

Kemenangan memberi jeda ketenangan bagi masyarakat Argentina untuk sementara waktu. Selamat Argentina.

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian dari tanggungjawab redaksi

Oleh: Petrus Kanisius Siga Tage

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari  Petrus Kanisius Siga Tage

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai