Risiko Kesehatan Bila Menuruti Pemikiran Jerinx

Spread the love

Rentetan kontroversi yang dilakukan Jerinx Superman Is Dead (SID), seperti tidak ada habis-habisnya. Selain sebagai penabuh drum yang mumpuni, kini ia juga makin dikenal sebagai orang yang piawai menabuh genderang polemik–khususnya melalui media sosial.

Khusus yang berkaitan dengan masalah Covid-19, sudah berapa kali pria Bali bernama asli I Gede Ari Astina itu menciptakan berbagai pernyataan atau pemikiran yang kontroversial.

Masih lekat dalam ingatan kita, sejak awal kemunculan isu virus Corona baru ini mencuat, dia tidak percaya kalau itu sesuatu yang alami. Dia meyakini itu hanya mainan negara atau orang-orang tertentu yang punya kuasa.

Dia menantang banyak orang untuk berdebat mengenai keyakinannya itu. Sampai nekat membuat tantangan untuk berdekatan, bersalaman dan berada dalam satu ruangan dengan pasien positif Covid-19, tanpa menggunakan masker atau pelindung diri apapun.

Kemudian dia mengampanyekan agar tidak perlu repot-repot pakai masker, tidak perlu ikut tes Covid-19 –pokoknya menganggap Corona bukan sebagai masalah yang perlu ditanggapi serius.

Puncaknya pada kasus terbaru, dia mengatakan organisasi profesi dokter Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai kacung WHO di akun medsosnya. Buntutnya sudah kita ketahui bersama, pejuang anti tes Covid-19 itu pada akhirnya melakukan tes juga sebelum berurusan dengan masalah hukum di kantor polisi.

Menelaah Landasan Perjuangan Jerinx

Dari unggahannya di Instagram, Jerinx menunjukkan rasa tidak setujunya terhadap aturan yang mewajibkan bagi ibu yang hendak melahirkan untuk melakukan tes Covid-19. Baginya, pemeriksaan seperti itu cukup menyulitkan, apalagi kadang hasil rapid test masih sering menyimpang.

Memang selama masa pandemi Covid-19 ini, ada begitu banyak keluhan dari ibu-ibu yang hendak melahirkan buah hatinya. Hal itu disebabkan karena prosedur pemeriksaan dan persalinan, wajib mengikuti protokol kesehatan yang telah ditetapkan.

Bagi yang tidak sedang hamil saja, berbagai tuntutan adaptasi kebiasaan baru itu tidak mudah dilakukan. Banyak yang mengeluh. Apalagi kalau sedang hamil, selain terasa sangat merepotkan, berbagai kebutuhan tersebut membutuhkan dana yang lebih besar dari biasanya.

Sebagai gambaran, ada seorang ibu yang curhat mengenai pengalamannya selama proses melahirkan. Terdata begitu banyak kebutuhan tambahan yang, ujung-ujungnya memaksa mereka untuk rogoh kocek lebih dalam. Biaya bersalin dan perawatan bayi sangat menguras dompet, sebab terjadi peningkatan anggaran yang cukup signifikan.

Masalah makin terasa berat tatkala ada kasus bayi meninggal yang dikaitkan dengan ribetnya prosedur tes Covid-19 menjelang persalinan berlangsung. Ketika ada kejadian luar biasa seperti ini, Jerinx mungkin merasa apa yang diperjuangkannya itu sudah tepat, lantas berkomentar, “Semoga tidak ada lagi ibu-ibu yang bersalin, melahirkan, sampai kehilangan bayinya, hanya karena prosedur rapid test.”

Kalau situasi sudah seperti itu, apakah artinya pengecekan Covid-19 menjelang waktu melahirkan perlu diabaikan seperti desakan Jerinx dan mungkin pula dengan pendukungnya?

Memikirkan Ulang Desakan Jerinx

Sesungguhnya, apa yang dipersolakan Jerinx dan kelompoknya itu merupakan aturan yang telah digodok dan disepakati oleh tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Bila kita meninjau dasar penyusunan standar pelananan ibu dan anak selama masa pandemi Covid-19 tersebut, semuanya berdasarkan hasil riset, rekomendasi WHO, panduan Kemenkes RI, kesepakatan ahli dan sebagainya.

Artinya, tidak ujuk-ujuk ada. Hal itu juga bukan aturan internal IDI seperti yang disangka Jerinx, melainkan hasil kombinasi dari temuan atau fakta penelitian yang disesuaikan dengan sistem layanan kesehatan yang sudah ada di wilayah kita, Indonesia.

Secara umum, protokol khusus untuk ibu dan bayi ini sudah digambarkan secara rinci. Mulai dari tugas dari masing-masing dinas terkait, tugas tenaga kesehatan di berbagai level layanan kesehatan (tingkat pertama dan rujukan tingkat lanjut), hingga apa-apa yang harus dipatuhi oleh pasien (ibu hamil, melahirkan atau setelah melahirkan beserta bayinya) selama berkunjung dengan berbagai kebutuhan layanan pada tingkat tertentu.

Protokol ini sudah diluncurkan dan diedarkan sejak 5 April 2020 lalu. Khusus pada bagian ‘Tenaga Kesehatan’, salah satu poinnya menekankan bahwa seluruh komponen tenaga kesehatan baik di lembaga pemerintah maupun swasta, bahkan hingga ke tingkat kader yang paling dekat dengan masyarakat, diharapkan telah memiliki pengetahuan tentang peraturan tersebut.

Itu artinya, bila seorang ibu selama masa kehamilannya pernah melakukan pemeriksaan rutin, paling tidak di posyandu atau pustu yang dekat dengan tempat tinggalnya, maka bisa dipastikan ibu tersebut sudah mendapat informasi terkait kebutuhan yang harus dipersiapkan menjelang kelahiran. Salah satunya tentang kewajiban melakukan tes Covid-19 sebelum melahirkan.

Bila kita mempelajari kronologi dua kasus kematian bayi yang dikaitkan dengan prosedur tes Covid-19 –terjadi di Makassar pada bulan Juni dan yang terbaru pada bulan Agustus di Mataram-NTB– tampak sekali ibu hamil tersebut melewatkan bagian utama yang penting dari sistem pelayanan kesehatan.

Kedua kasus itu langsung digambarkan ketika mereka mengeluhkan pelayanan ke faskes rujukan tingkat lanjut (RS rujukan), sedangkan riwayat mereka pada fakses tingkat pertama (puskemas atau klinik praktik swasta) malah kehilangan jejak. Apakah mereka kurang mendapatkan informasi?

Menariknya lagi, bila kita hanya membaca judul atau bagian yang disampaikan pihak pasien, maka kesan yang paling kuat akan muncul adalah: pihak RS atau pemerintah itu sangat kejam, tidak manusiawi, dan sebagainya.Konspirasi JerinxTapi, bila kita membaca lebih lengkap hingga konfirmasi dari pihak RS, kita akan temukan adanya ketimpangan informasi. Apa yang diceritakan pasien dan keluarga lain, bertentangan dengan cerita pihak RS. Lantas, kita percaya yang mana?

Pertanyaan itu mungkin agak sulit dijawab, sebab membutuhkan investigasi yang lebih mendalam lagi. Kita kembali pada pertanyaan dasar sebelumnya saja dan menjadikan kasus yang ada sebagai pelajaran berharga.

Apakah prosedur tes Covid-19 pada ibu hamil yang akan melahirkan masih perlu dipertahankan? Tentu saja jawabannya iya, sebab ini menyangkut keamanan dan keselamatan tenaga kesehatan, pasien lain yang dirawat sebelumnya, maupun yang bersangkutan bersama bayi yang akan dilahirkan.

Kita semua bahkan sudah tahu, tidak semua fasilitas kesehatan yang ada bisa melayani pasien Covid-19. Sudah ada RS tertentu yang menjadi pusat rujukan Covid-19. Kalau diketahui sejak awal, maka pasien tersebut bisa dirujuk tepat sasaran atau dirawat di ruang khusus, dengan saranan dan protokol yang sesuai standar.

Dari berbagai penelitian, ibu yang akan melahirkan dengan diagnosis positif Covid-19, pada umumnya masih bisa melahirkan dengan normal atau lewat pembedahan. Bayi yang lahir dari ibu yang positif Covid-19 juga tidak selamanya langsung tertular, banyak yang terbukti sehat-sehat saja.

Jadi, kalau kita sudah tahu status ibu yang akan melahirkan itu sejak awal, maka pasca melahirkan, kita bisa melakukan perawatan pisah antara ibu dan bayi baru lahir tersebut agar tidak ikut tertular virus.

SARS-CoV-2 adalah virus yang nyata, tidak sekadar ‘konspirasi’ seperti pemikiran Jerinx. Kasusnya ada, terjadi di hampir semua negara, banyak orang yang meninggal dunia –termasuk tenaga kesehatan yang berjuang di garis depan.

Kita mau percaya siapa, Jerinx atau otoritas kesehatan? Kalau urusan musik, khususnya menggebuk drum, memang sebaiknya menuruti saran Jerinx. Tapi kalau soal Covid-19, kader kesehatan masih lebih dapat dipercaya.


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari  Saverinus Suhardin

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

4 tanggapan untuk “Risiko Kesehatan Bila Menuruti Pemikiran Jerinx

  1. Kesalahan Jerinx adalah meng”IDIOT”kan institusi. Kebenarannya adalah benar adanya. Bisa dilihat dg 3 institusi(TNIAD,BIN,UNAIR) published obat “C19″tp apa urusan dg WHO. Mrkpun dikomplain bahwa obat tsb TIDAK LAYAK krn banyak efek samping. Emang obat lainnya tidak ada efek samping? Inilah NKRI TIDAK AKAN MAJU Kalau Oknum WHO memegang kendali. Ada baiknya bang “Jerinx” diBEBAASKAN. Sy bersama Tim juga siap bantu tuk NKRI dg Protocol Kesehatan “PLUS”,bila saudara bisa bantu Kita itu baik silahkan hub lgsg dg bpk Husen di wa +62 818-189-925. Tidak AKAN ada pabrik,mall,kantor,pasar,sekolahan buka-tutup. Pariwisata akan MAJU pesat. Hidup NKRI.

  2. Terima kasih tanggapannya, Pak Ario.

    Covid-19 ini masalah baru, persoalannya kompleks.

    Dalam riset itu, kita tidak bisa klaim sendiri ini benar atau tidak. Setiap ada temuan baru, pasti ditinjau lagi oleh rekan satu bidang ilmu –bahkan diuji ulang utk mengetahui hasilnya sama atau tidak.

    Mengenai masalah Jerinx, biarlah proses hukum berjalan. Kalau memang tdk bersalah, pasti tdk dikurung terus.

    Terima kasih tim Pak Ario yang terus berjuang utk mencari solusi masalah Covid-91. Salam sukses…

Komentar ditutup.