Olahraga dan Bekerja

Spread the love

Olahraga merupakan saran yang paling sering kita dengar di seluruh fasilitas kesehatan, bahkan penjual obat penurun berat badan abal-abal sekalipun sering memberi anjuran, “Jika ingin hasilnya bagus, sertai dengan kebiasaan olahraga.” (Pernyataan yang terakhir itu memperjelas, obat yang dijualnya itu tidak memiliki khasiat apa-apa).

Tapi, meski semua tahu betapa dasyatnya manfaat olahraga, rutinitas baik ini tetap tidak mudah dilakukan jika tidak dibiasakan. Ada saja alasan yang membuat orang merasa tidak wajib menjalankannya. Misalnya ada yang berkelit, olahraga itu cari keringat. Kerja juga bikin keringat. Jadi, buat apalagi olahraga kalau kerja saja sudah bikin kita berkeringat?

Semangat Olahraga Indonesia

Secara umum, semangat olahraga bangsa Indonesia terbilang mengangumkan. Bagaimana tidak, tiga tahun setelah mendeklarasikan kemerdekaan, bangsa kita sudah berani dan berinisiatif mengikuti kompetisi olahraga dunia, Olimpiade XIV tahun 1948 di kota London, Inggris.

Sialnya, saat itu tim kita masih terkendala dengan status negara baru merdeka yang belum diakui semua negara, dan paspor Indonesia tidak dilegalkan di Inggris. Panitia olimpiade menyarankan Indonesia menggunakan paspor Belanda.

Alih-alih patuh pada anjuran yang menyepelekan eksistensi Indonesia tersebut, bangsa kita justru menunjukkan kebolehan dengan menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama yang berlangsung 9-12 September 1948, di kota Surakarta, Jawa Tengah.

Itulah cikal bakal pesta olahraga empat tahunan yang terus berlanjut hingga saat ini. Dan hari pertama penyelenggaraan PON I tersebut, 9 September, telah ditetapkan sebagai Hari Olahraga Nasional (Haornas). Perayaan Haornas tahun 2022 ini mengusung tema: Bersama Cetak Juara.”

Berkat perjuangan para pendahulu tersebut, saat ini kita bisa menikmati  berbagai kemajuan dunia olahraga di tanah air. Ada banyak indikatornya, misalnya, Indonesia selalu aktif mengikuti kompetisi olahraga di berbagai tingkatan penyelenggaraan.

Selain itu, kita juga bisa memantau kegemaran bangsa Indonesia pada dunia olahraga dari tren pertumbuhan rubrik olahraga di media massa. Saat ini kita pun mudah menemukan orang baku olok antarpenggemar di media sosial setelah sebelumnya ada pertandingan sepak bola. Bahkan sampai pada takaran yang berlebihan, ada oknum yang menyebarkan rasisme hingga timbul tawuran antarsuporter.

Tapi, partisipasi masyarakat pada aktivitas olahraga belum tentu seriuh yang kita pantau di media massa maupun media sosial. Setiap orang memiliki peran dan tujuan tersendiri. Ada yang menjadikan olahraga sebagai pekerjaan (para atlet dan pelatih), ada golongan penikmat atau penonton, ada pula yang menjadikan olahraga sebagai runitas meningkatkan relasi di komunitas, rekreasi, sekaligus untuk meningkatkan kesehatan. Anda masuk dalam golongan yang mana?

Kesehatan dan Produktivitas Kerja

Aktivitas latihan jasmani terus dianjurkan sepanjang waktu karena manfaatnya yang tidak terbantahkan untuk meningkatkan kesehatan. Tapi, meski sudah berkali-kali dikatakan, golongan yang hanya ramai berkomentar di media sosial tapi aslinya malas berolahraga itu pada umumnya sulit membiasakan diri berolahraga.

Ada saja alasan untuk menghindarinya, termasuk yang sudah disinggung pada bagian awal tulisan ini, bahwa bekerja itu sudah sama dengan olahraga. Pendapat ini sebenarnya sudah terbantahkan dengan hasil penelitian, olahraga tetap tidak tergantikan dengan pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik sekalipun.

Lagi pula, bukankah populasi masyarakat yang menjalani pekerjaan dengan mengandalkan kekuatan fisik saat ini makin berkurang? Kita tahu, tren urbanisasi terus meningkat. Banyak anak muda yang meninggal kampung halaman untuk mendapatkan pekerjaan kantoran di kota-kota besar.

Sejalan dengan fenomena tersebut, masyarakat yang dulunya bekerja menggunakan seluruh perangkat fisiknya, kini berubah menjadi pekerja yang lebih banyak duduk di depan layar monitor sambil makan jajanan yang mengandung lemak jahat dan minuman yang tinggi kalori.

Tuntutan pekerjaan yang tinggi dari pagi hingga petang, membuat sebagaian besar masyarakat pulang kerja dalam keadaan lelah dan tidak bersemangat lagi untuk olah tubuh. Mereka kemudian mencari kesenangan dengan bermain gawai sambil leyeh-leyeh dan tidak berhenti mengunyah camilan.

Pendek kata, telah terjadi perubahan dua perilaku utama: pengurangan aktivitas fisik dan peningkatan pola makan yang tidak sehat. Dampak gaya hidup baru itu sudah mulai terlihat sekarang. Tren penyakit bukan lagi didominasi penyakit infeksi, tapi berubah pada kelompok Penyakit Tidak Menular (PTM), seperti obesitas atau kegemukan, darah tinggi, stroke, gagal ginjal, diabetes melitus, dan masih banyak lagi.

Tingkat kesakitan dan kematian akibat PTM tersebut cukup membebani ekonomi negara, sehingga pemerintah giat mengampanyekan hidup sehat sejak dulu. Kita tahu, pemerintah Indonesia telah meluncurkan program Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) sejak 2016 yang lalu.

Salah satu poin yang ditekankan dalam Germas adalah melakukan aktivitas fisik atau berolahraga, setidaknya 30 menit per hari. Selain itu, bagi pekerja kantoran yang kegiatannya lebih banyak duduk, dianjurkan untuk berdiri, berjalan sebentar di sekitar kantor, dan melakukan gerakan atau peregangan ringan tiap 1-2 jam.

Pilihan untuk fokus bekerja dan mengabaikan olahraga atau menganggap bekerja sudah sama dengan olahraga perlu direnungkan lebih matang lagi. Hal yang mungkin kurang disadari banyak orang, kebiasaan olahraga justru berkontribusi positif bagi produktivitas kerja.

Konsep pemikiran tersebut sudah jelas. Ketika kita sudah rutin berolahraga, maka kita tentunya akan sehat dan bugar. Kondisi fisik yang prima tersebut menjadi modal utama untuk bisa bekerja secara produktif. Selain itu, penelitian juga membuktikan olahraga rutin dapat meningkatkan kebahagiaan atau kualitas hidup yang lebih baik.

Tokoh yang bisa dijadikan panutan dalam rutinitas olahraga di Indonesia, salah satunya adalah Ade Rai. Menurut pengakuannya di berbagai media massa, sepanjang hidupnya yang telah berusia di atas 50 tahun, Ade Rai belum pernah sakit—apalagi sampai dirawat di rumah sakit.

Andai saja sebagian besar masyarakat bisa menerapkan gaya hidup seperti Ade Rai—yang tertib berolahraga dan mengatur pola makan sehat—maka bisa dipastikan kebutuhan rumah sakit yang harus menelan biaya yang sangat besar bisa dihilangkan.

Tapi, apakah kita bisa seperti itu? Meski sebenarnya anjuran ini sangat klise, mari kita coba kembali rutin berolahraga. Semoga perayaan Haornas tahun ini bisa menjadi pemicu tumbuhnya semangat untuk terus bergerak menuju hidup yang lebih sehat dan produktif.

Kalau sudah sehat dengan postur tubuh yang proporsional, kita tentunya akan terhindar dari godaan penjual obat yang katanya bisa menurunkan berat badan, tapi khasiat obat itu baru terlihat jika dibarengi olahraga. Kalau seperti itu, kenapa kita tidak berolahraga saja? Salam olahraga!


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai