Mengenang Game of Thrones dan Ide Tentang Kekuasaan

Spread the love

Tiap saat, ada saja yang pergi atau datang. Selalu ada ruang yang ditinggalkan dan ada ruang baru yang diciptakan. Tapi, di antara yang pergi, ada yang tak tergantikan, ada kekosongan. Besar. Sangat besar.

Bagi saya, seperti penyuka film lainnya, tuntasnya serial Game of Thrones merupakan kehilangan. Kehilangan besar. Sangat besar.

Ketika memikirkan serial itu, saya, entah kenapa terkenang dengan sebuah dialog. Percakapan ketika Tyrion Lanister berbicara di hadapan para pemimpin tiap kingdom.

Dialog yang dalam berbagai percakapan serta memantau media sosial, saya tahu telah mematahkan banyak hati para pencinta serial ini.

Tyrion yang dibawa ke hadapan para pemimpin itu untuk diadili atas tuduhan pengkhianatan, malah tampil menguasai percakapan dengan sebuah tema besar tentang susksesi kepemimpinan pasca perang besar.

Memang mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi, dia mengajukan Brandon Stark sebagai raja yang baru.

“Brand tidak ingin memimpin dan dia tidak bisa punya anak,” kata Sansa.

“Bagus. Putra raja bisa jadi jahat dan bodoh. Kau tahu itu. Anaknya takkan menyiksa kita,” ujar Tyrion. Dia lalu menoleh ke arah kepala pasukan Unsullied, kepala pasukan Daenerys Targeryen lalu bilang, “Itulah roda yang ratu kita hancurkan.”

“Mulai sekarang pemimpin tidak dilahirkan. Mereka akan dipilih di sini,” kira-kira begitu kalimat lanjutan yang diucapkan Tyrion.

Mulai hari ini, pemimpin tidak lagi dilahirkan, tapi dipilih. Jujur, kalimat itu dan masuknya Brandon Stark dalam bursa, bahkan jadi calon tunggal membuat saya terhenyak. Saya datang menonton episode terakhir, menunggu siapakah raja terpilih dengan membawa nama bakal calon penguasa ‘The Seventh Kingdom” versi saya.

Saya membayangkan mereka akan memilih Jon Snow. Dia memang telah membunuh Daenerys Targaryen, tapi dia pahlawan dalam cerita itu bukan? Dia layak menjadi raja. Dan yang lebih penting, dia keturunan Targaryen.

Seperti banyak penonton lain, saya kemudian terkejut ketika nama Brandon Stark muncul dan semua yang hadir setuju. Setelah semua palagan, “mandi darah”, tumpukan puing kota remuk, orang-orang yang patah hati, apakah mereka kemudian memutuskan untuk memilih demokrasi?. Atau sesuatu yang mirip dengan demokrasi?.

Yang menurut saya menarik dari adegan itu adalah semacam pertarungan antara pandangan lama, pola pikir monarki, di mana raja diturunkan berdasarkan garis darah, “Tapi dia (Brandon Stark) tidak mungkin punya anak.”

Bergerak menuju pemahaman yang sama sekali baru, “Mulai hari ini, pemimpin tidak lagi dilahirkan, tapi dipilih.” Kedua pola pikir itu kemudian dipertemukan, lalu para pemimpin yang kelelahan oleh perang dan kehilangan kemudian menerima. Kecuali Sansa yang memutuskan untuk keluar dari kelompok ‘Tujuh kerajaan’ untuk membangun hidup dan negaranya sendiri di Winterfell.

Percakapan itu seperti mengingatkan bahwa setelah tahun-tahun panjang penuh polemik dan upaya merebut dan mempertahankan tahta, kemudian muncul kesadaran bahwa kekuasaan, tahta, sepenuhnya ruang yang sangat terbuka.

Dia bisa diisi siapa saja. Bukan monopoli dan hak eksklusif satu kalangan atau satu garis darah. Jalan menujunya pun sebaiknya tidak lagi dilalui dengan palagan dan sikut menyikut, tapi “dipilih di tempat ini”.

Baca Juga: Mengasah Sikap Skeptis Pasca-Pelantikan DPRD

Dalam adegan itu sistem negara yang baru bukan sebuah produk pemikiran yang diturunkan tiba-tiba dari langit. Dia hasil keringat, kerja keras, refleksi atas pertarungan api dan besi. Ia bukan sebuah barang mewah yang tumbuh di dalam kastil, balairung istana.

Ia hasil pergulatan dengan kenyataan dengan kegelisahan-kegelisahan manusia akan masa depan, fungsi, dan di mana seharusnya titik pijak sebuah negara diletakkan.

Aku terus berpikir beberapa pekan ini, tentang sejarah berdarah kita, tentang kesalahan-kesalahan kita. Apa yang menyatukan orang-orang? Tentara? Emas?, Bendera?…, ujar Tyrion.

Kita tahu kekuasaan ternyata tidak selalu benderang dan cemerlang seperti mahkota atau kokoh seperti ‘iron throne’. Ia mengandung kecemasan dan penyakitnya sendiri. Ia mengandung kontradiksi.

Sistem yang demikian, lahir sebagai tanggapan akan kondisi derita yang ada. Di tengah semua realita minor: kekuasaan yang kaku dan angkuh, pelaksanaan aturan yang keras, lancung serta mementingkan diri, dan situasi derita warga negara yang harus menanggung beban, kata-kata Tyrion merupakan suara yang menghardik bahwa, ”situasi semacam ini, tidak boleh ada”. Dan memang seharusnya tidak boleh ada.

Hal berikut yang saya catat adalah bahwa setiap sistem baru yang ditawarkan Tyrion merupakan hasil dari kerelaan juga keterbukaan untuk melakukan autokritik. Tantangan lain kekuasaan, setidaknya yang saya amati dari serial ini adalah bukan bagaimana ia mendefinisikan liyan, mendefinisikan masyarakat, abdi, mereka yang bergantung pada setiap sabda, gerak, intrik, dan pergolakan di dalam tembok istana.

Tantangan besar kekuasaan ternyata adalah kemampuannya bergulat dengan diri sendiri. Kekuasaan yang mandek, bisa jadi merupakan kekuasaan yang gagal mendefinisikan dirinya sendiri.

Dan Brandon? Untuk saya, menempatkan sosok yang bukan tokoh sipil yang berpengaruh, bukan pemimpin militer yang gagah, tapi bangsawan cacat di puncak kekuasaan adalah imajinasi sekaligus eksperimen politik yang paling menakjubkan. Juga berani.

Tapi Tyrion melihat kualitas lain darinya. Anak yang jatuh dari menara tinggi dan selamat. Dia tidak dapat berjalan lagi, maka ia belajar untuk terbang. Dia melewati Wall. Anak cacat ini dan menjadi gagak bermata tiga, demikian Tyrion mengkampanyekan Brandon. Dan terpilih.

Tampaknya, dalam kerangka berpikir Tyrion, ada syarat lain yang harus dipenuhi seseorang agar layak menjadi pemimpin: persentuhan dengan kehidupan orang yang dipimpinnya. Dia adalah kenangan kita. Penjaga semua cerita kita. Perang, pernikahan, kelahiran, pembantaian, kelaparan. Kemenangan kita, kekalahan kita, masa lalu kita.

Pemimpin dalam imajinasi Tyrion adalah dia yang terlibat, bukan duduk menunggu di tahta dalam kastil yang megah.

Tapi bukan berarti kehadiran Brandon menjadikan tahta jauh dari problem dan kontradiksi. Brandon tak serta-merta membuat ruang-ruang diskusi istana beralih menjadi tempat yang sepenuhnya bersih dan suci.

Dalam rapat pemerintah yang baru terbentuk, Tyron sebagai Lord Hand mengumpulkan semua pemimpin lembaga dan para Lord, dalam sebuah pertemuan yang cagung.

“Sir Bronn dari Blackwater Lord Highgarden Ahli Keuangan, apakah utang kerajaan padamu sudah lunas?”

“Dengan penuh, Tuanku.”

“Bagus. Saatnya buat utang baru. Banyak orang kelaparan.”

Mereka kemudian bicara tentang rencana pembangunan. Mereka menghitung armada, kerusakan dan berapa yang harus diperbaiki. Mereka memicarakan tentang pentingnya saluran air yang sehat bagi masyarakat.

“Omong-omong soal itu, semua rumah bordil terbakar. Ahli keuangan mau mendanai pembangunan,” kata Sir Bronn.

“Arcmaster tidak suka efek dari rumah bordir.”

“Aku rasa cara dia mepergunakannya salah,” dalih Bronn.

”Aku rasa kita setuju bahwa kapal lebih penting dari rumah bordil,” sanggah Brianne.

“Itu kata-kata yang angkuh,” tandas Bronn.

Dan jujur setelah adegan ini, saya tersenyum-senyum. Negara memang selalu punya tantangan apa pun sistem yang dia pilih dan kemana pun dia hendak pergi. Bahkan, di tangan orang dengan kemampuan melihat dan mengetahui semua semacam Brandon Strak.

‘Kepentingan’, kita tahu, adalah penyakit lama dengan wajah yang selalu baru. Dan Game of Thrones mengingatkan, kita seharusnya waspada.

 

Oleh: Wilfridus Setu Embu

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari Wilfridus Setu Embu


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai