Mengasah Sikap Skeptis Pasca-Pelantikan DPRD

Spread the love

Beberapa hari terakhir, publik disuguhi informasi seputar pelantikan anggota dewan perwakilan rakyat (DPRD) Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Timur periode 2019-2024.

Momen pelantikan menjadi saat penuh berkat bagi kandidat yang menang bertarung, dan sebaliknya, menjadi momen penuh kutukan bagi petarung yang gagal, paling tidak, gagal meraup suara terbanyak yang disyaratkan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Tentu saja, sepanjang proses pertarungan elektoral, tiap-tiap calon legislatif telah mengeluarkan pundi-pundi materi sebagai mesin kampanye, yang jika dikonversi ke dalam rupiah, bisa mencapai ratusan juta.

Ada yang menampung uang dalam waktu yang lama dan ada yang meminjam uang dari pelbagai sumber. Pada akhirnya, uang itu dihabiskan selama masa kampanye.

Mimpi duduk di kursi empuk dewan kandas seketika, persis pada hari penghitungan suara berakhir. Inilah saat paling tragis untuk petarung yang mengisi pemilu sebagai jalan mencari pekerjaan, juga yang memandang pekerjaan legislatif sebagai jabatan kehormatan dengan amat sempit.

Sebaliknya, pada sisi yang lain, ekspresi syukur semburat memancar dari wajah para legislatif yang hadir dalam momen pelantikan kali ini.

Mereka telah mengeluarkan biaya kampanye yang relatif mahal, menggunakan jejaring patronase dan klientelisme, hingga memakai kuasanya sebagai tuan tanah untuk menekan para petani penggarap untuk memilihnya.

Kelompok ini jelas merasa tidak sia-sia mengeluarkan biaya kampanye yang besar, karena di penghujung pertarungan, ia keluar sebagai pemenang.

Atas pencapaian melewati labirin pertarungan yang tak pasti, tak heran jika sesaat sesudah pelantikan, tiap anggota legislatif merayakan syukur dengan cara-cara yang unik.

Ada yang melakukan pesta besar-besaran, menghabiskan jutaan uang untuk memberi makan dan minum kepada para tetamu yang diundang hingga merayakan kegembiraan bersama tim kerja.

Bahkan, yang paling sering terjadi pesta pelantikan dipandang sebagai ajang memamerkan kebesaran suku.

Pertanyaan kemudian adalah mengapa suku?

Tak sulit menemukan hal ini dari konteks politik lokal NTT. Selain ditentukan oleh kekuatan kapital finansial dan jejaring patronase, kemenangan dalam pesta demokrasi lokal ditentukan pula oleh sejauhmana anggota suku membangun kekuatan dan kekompakan di dalam suku.

Anggota suku atau klan ramai-ramai mengumpulkan ikhwal material untuk membiayai kampanye salah satu dari anggota sukunya. Ini, tentu saja, sebagai upaya menjaga ‘marwah’ nama besar suku, meski praktik seperti ini dapat merusak demokrasi.

Di tengah euforia pelantikan anggota legislatif lokal, kita perlu mempertajam sikap skeptis terhadap kiprah anggota legislatif. 

Setidaknya ada dua kondisi nasional yang memungkinkan rasa skeptis patut dihidupkan.

Pertama, tingginya angka korupsi pemerintah daerah. Hasil survei Indonesia Corruption Watch [ICW] menempatkan pemerintah kabupaten sebagai lembaga terkorup pada tahun 2018.

Dalam laporan ICW, korupsi oleh kepala daerah (Bupati) menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 833 miliar.

Korupsi kedua diikuti oleh pemerintah desa, dengan total kasus mencapai 104 kasus, dan negara mengalami kerugian sebesar 1,2 triliun.

Lembaga legislatif pun masuk dalam temuan ICW sebagai lembaga korup yang mencapai 30 miliar.

Bila menilik sepintas, tak ada benang merah yang menghubungkan korupsi bupati dengan peran DPRD. Akan tetapi, jika melacak lebih jauh, korupsi oleh bupati merupakan tanda gagalnya anggota legislatif melaksanakan tiga fungsi utama: anggaran (budgeting), kontrol (controlling), dan legislasi (legislation).

Jumlah anggaran pembangunan yang dialokasikan kepada tiap satuan kerja pegawai daerah didiskusikan di tingkat legislatif dan disahkan oleh sidang paripurna dewan.

Dengan kata lain, biaya pembangunan disepakati di ruang legislatif. Akan tetapi, ruang legislatif tidak selalu terang-benderang.

Ruang legislatif acapkali abu-abu. Ada pertukaran material dan simbolik antara anggota legislatif dengan kepala daerah. Goffman dalam teori dramaturgi telah membuka tabir sebuah panggung.

Baginya, yang tampak di panggung depan (front stage) tidak selalu apik dengan panggung belakang (back stage).

Sebaliknya, panggung politik belakang tidak selamanya merefleksikan panggung depan.

Yang tampak di permukaan adalah sesuatu yang didesain, untuk menghibur para penonton, subyek demokrasi dalam arti tegas.

Kecanduan anggota legislatif memeragakan panggung depan dengan sejuta kamuflase membuat tiga tugas dan fungsi penting representasi rakyat hanya dijalankan setengah hati. Kontrol legislatif terhadap penggunaan anggaran sama sekali kurang maksimal.

Kritik konstruktif dan dialektika rasional anggota dewan mudah dipatahkan oleh kepala daerah jika panggung belakang ruang legislatif terdapat permainan untuk melanggengkan kepentingan para pemain politik ini.

Kedua, potret korupsi berjemaah anggota legislatif. Belum lekang dalam memori kita keterlibatan anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur dalam korupsi berjemaah. Dari total 45 anggota DPRD, terdapat 41 orang menjadi tersangka kasus suap.

Dan, lembaga anti rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan 22 orang sebagai tersangka dugaan suap pembahasan APBD Pemkot Malang tahun anggaran 2015. Mereka diduga menerima fee sebesar Rp. 12,5 juta hingga 50 juta dari walikota Malang, Moch Anton (Kompas.com 4/9/2018).

Ada relasi yang adekuat antara korupsi berjemaah dan tingginya angka korupsi kepala daerah di Indonesia. Bupati ingin memuluskan kepentingannya, salah satu dengan cara menyuap anggota legislatif.

Suara kritis dewan dibungkam melalui pertukaran material dan simbolik dengan kepala daerah. Selanjutnya, jika pembungkaman itu terjadi secara berjemaah, maka ruang politik dewan yang idealnya dipenuhi oleh kritik dan dialektika berubah menjadi suara massa anonim. Di situlah terjadinya ‘kematian’ kaum representan rakyat.

Merujuk kondisi sosio-politik di atas, publik perlu mengasah sikap skeptis terhadap anggota DPRD. Ada dua alasan penting.

Pertama, skeptisisme mutlak perlu dalam ranah demokrasi. Barangkali tidak berlebihan jika skeptis dianggap sebagai conditio sine qua non, sesuatu yang seharusnya dilakukan. Kekuasaan yang di tangan yang salah cenderung berlaku korup.

Kedua, di hadapan fakta raibnya ratusan juta rupiah yang digelontorkan selama perhelatan demokrasi pada April 2019 lalu. Secara positif, segala sesuatu yang telah dikeluarkan itu mesti dikembalikan. Tentu, salah satunya melalui permainan proyek pembangunan sebagaimana telah terjadi dalam panggung politik selama ini.

Karena itu, kini saat yang tepat bagi para konstituen, subyek politik dalam arti tegas, untuk mengasah sikap skeptis terhadap anggota dewan yang hari-hari ini tenggelam dalam euforia perayaan syukur pelantikan padahal mereka adalah representasi rakyat yang hari-hari ini tenggelam dalam beragam persoalan hidup yang pelik.

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

 

Oleh: Didimus Dedi Dhosa

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Didimus Dedi Dhosa

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai