Bumi Sebagai Common Home

Spread the love

“Our common home is like a sister with whom we share our life
and a beautiful mother who opens her arms to embrace us.”-St. Fransiskus Assisi)

Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) yang dirayakan sepanjang bulan September tahun ini, mengusung tema “Mewartakan Kabar Baik di Tengah Krisis Lingkungan Hidup”. Mengapa Gereja begitu peduli pada ekologi?

Isu ekologi merupakan satu dari sejumlah isu yang makin hari makin ramai diperbincangkan. Ambivalensi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi turut menjadikan isu ini kian polemis.

Sudah sejak lama, banyak pihak ambil bagian di dalamnya, tidak terkecuali Gereja. Hal ini menunjukkan betapa kesadaran akan pentingnya bumi sebagai rumah bersama merupakan kesadaran yang bukan baru mencuat belakangan ini.

Selain itu, kesadaran ini juga mengindikasikan suatu pergeseran dari sempitnya pemahaman akan alam lingkungan yang hanya berperan sebagai pelayan yang memenuhi kebutuhan manusia – magnum miraculum – semata-mata, menuju common home, dalamnya manusia ada, hidup, berinteraksi, dan berkelanjutan.

Sebagai common home, demikian Fransiskus Asisi, bumi tidak lain adalah saudari tempat berbagi kehidupan dan ibu yang selalu merentangkan tangannya memeluk semua makhluk.

Namun, mengapa terus saja terjadi krisis? Pertanyaan ini rumit dan membutuhkan keseriusan untuk menjawab setuntas-tuntasnya.

Hemat saya, untuk menyebut dua dari beberapa, penyebab terberat krisis ekologi ialah jumlah manusia yang semakin meningkat – over population – sementara daya dukung alam kita sangat terbatas.

Padatnya penduduk di suatu wilayah tertentu, pengangguran, atau pilihan merantau ke daerah lain, merupakan beberapa akibat, manakala sokongan sumber daya yang disediakan alam, kian menipis.

Penyebab lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berwajah ganda. Akibatnya jelas, di satu sisi terus lahir kemajuan, di sisi yang sisa, lingkungan menjadi korban.

Dampaknya apa? Alam dan hutan menjadi rusak, banjir, tanah longsor, kekeringan dan gundulnya lahan akibat pembakaran, sampai akhirnya, ketidakseimbangan ekosistem global.

Gereja, melalui Ensiklik terbaru Paus Fransiskus, Laudato Si’, angkat bicara soal ini. Adapun persoalan-persoalan ekologi tersebut, sebagai berikut.

(a) Polusi dan perubahan iklim (art. 20-24). Tiga soal praktis sehubungan dengan polusi, diangkat di sini.

Pertama, (art. 20) polusi udara mengakibatkan berbagai masalah kesehatan, terutama bagi masyarakat miskin, dan menyebabkan jutaan kematian dini. Orang jatuh sakit, misalnya, karena terus menghirup asap bahan bakar yang digunakan untuk masak atau pemanasan rumah.

Kedua, (art. 21) setiap tahun dihasilkan ratusan juta ton limbah, yang sebagian besar tidak membusuk secara biologis, antara lain limbah domestik dan perusahaan, limbah pembongkaran bangunan, limbah klinis, elektronik dan industri, limbah yang sangat beracun dan radioaktif. Bumi, rumah kita, mulai makin terlihat sebagai sebuah tempat pembuangan sampah yang besar.

Ketiga, (art. 22) masalah-masalah ini berkaitan erat dengan budaya ‘membuang’ yang menyangkut baik orang yang dikucilkan maupun barang yang cepat disingkirkan menjadi sampah.

Hendaknya kita menyadari, misalnya, bahwa sebagian besar kertas yang diproduksi, terbuang dan tidak didaur ulang. Selain polusi, perubahan iklim juga ditekankan. Iklim merupakan salah satu sisi kesejahteraan umum, milik semua, dan untuk semua.

Pada tingkat global, iklim merupakan suatu sistem yang kompleks, terkait dengan banyak syarat mutlak untuk kehidupan manusia. Sebagai misal, pemanasan bumi memiliki efek pada siklus karbon. Itu menciptakan lingkaran setan yang semakin memperburuk situasi, karena akan berdampak pada ketersediaan sumber daya penting seperti air minum, energi dan hasil pertanian di daerah yang lebih panas, dan akan menyebabkan kepunahan sebagian dari keanekaragaman hayati di bumi (art. 24).

(b)  Air (art. 27-31). Ini menyentuh kebutuhan paling primer dalam hidup semua ciptaan. Air minum segar merupakan topik yang paling penting, karena sangat dibutuhkan untuk kehidupan manusia dan untuk mendukung ekosistem di daratan dan perairan.

Sumber-sumber air tawar diperlukan untuk perawatan kesehatan, pertanian, dan industri. Persediaan air, dulu relatif stabil, tetapi sekarang di banyak tempat permintaan melebihi pasokan yang berkelanjutan, dengan konsekuensi dramatis untuk jangka pendek dan panjang. Masalah sangat serius adalah kualitas air yang tersedia bagi orang miskin yang menyebabkan banyak kematian setiap hari.

Sementara, kualitas air yang tersedia terus berkurang, di beberapa tempat ada tren makin kuat ke arah privatisasi sumber daya yang terbatas ini, mengubahnya menjadi barang dagangan yang tunduk pada hukum pasar. Kelangkaan air yang makin besar akan menyebabkan peningkatan biaya makanan dan berbagai produk yang tergantung pada penggunaannya.

(c) Hilangnya keanekaragaman hayati (art. 32-42). Hilangnya hutan dan vegetasi lainnya membawa serta hilangnya spesies yang dapat menjadi sumber daya yang sangat penting di masa depan, tidak hanya untuk makanan tetapi juga untuk penyembuhan penyakit dan penggunaan lainnya.

Barangkali kita terganggu ketika mendengar tentang kepunahan mamalia atau burung, karena mereka lebih terlihat. Sebagai contoh lainnya, paru-paru dunia yang kaya keanekaragaman hayati, yaitu wilayah Amazon dan cekungan Sungai Kongo, atau tempat-tempat air bawah tanah (aquifer) yang luas dan gunung es (gletser). Kita tahu betapa pentingnya semuanya itu bagi seluruh bumi dan bagi masa depan umat manusia.

Apa yang harus kita lakukan?

Senada dengan seruan Laudato Si’ sebagai bentuk kepedulian Gereja terhadap bumi kita yang sedang sakit, saya mengusulkan beberapa solusi dan rekomendasi guna mengatasi krisis dimaksud.

Sebagai anggota dan penghuni common home ini, kita perlu mewujudkan kepedulian kita terhadap hutan dan alam lingkungan lewat aksi-aksi konkret.

Perawatan hutan dan alam lingkungan dapat dimulai di masing-masing keluarga, kampung halaman, atau lingkup-lingkup kita di perkotaan.

Dalam bidang pendidikan, diharapkan semakin besarnya perhatian pada agenda edukasi yang ramah lingkungan, yang berorientasi pada kelestarian ekologi, melalui pelajaran-pelajaran formal di sekolah-sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler yang produktif.

Selain itu, dalam konteks pastoral, salah satu solusi yang saya tawarkan ialah program Paroki Go Green yang ramah lingkungan seperti yang kini dilaksanakan di Keuskupan Bogor dan Keuskupan Agung Jakarta.

Program ini merupakan gerakan seluruh umat dan masyarakat untuk merawat lingkungan di tiap-tiap paroki. Seluruh umat dilibatkan untuk program ramah lingkungan, semisal menanam pohon, memilah dan mengolah sampah, daur ulang sampah, pertanian organik dan hidroponik, reboisasi di tempat-tempat yang semakin gundul atau terancam abrasi, dan sejenisnya.

Umat perlu dibekali cara bertani yang baik misalnya mengolah pupuk kompos atau pupuk kandang dan menghindari pemakaian pupuk-pupuk organik yang sering kali lebih banyak berdampak negatif karena mengurangi kesuburan tanah.

Di tempat-tempat tertentu, tim sosialiasi paroki perlu menyadarkan umat dari pola bertani yang salah seperti praktik ladang berpindah-pindah yang merusak alam karena meninggalkan ladang gundul dan menebang hutan baru untuk bertani.

Umat perlu disadarkan untuk memelihara kebersihan lingkungan, sungai, laut, dengan tidak membuang sampah sembarangan di tempat-tempat umum, di jalan, pasar, sungai atau di pantai dan di laut.

Dengan ide ini, Pesantren Go Green, Seminari Go Green, Desa Go Green, Cafe Go Green, Taman Baca Go Green, Dinas Go Green, Kecamatan Go Green, Desa Go Green, Kabupaten Go Green, Provinsi Go Green, sebagai misal, saya sangka dapat pula digagas.

Sekiranya, dengan usaha-usaha kecil kita, dengan kepedulian-kepedulian kita, hutan-hutan kita kembali menjadi hutan dalam artinya yang sebenar-benarnya, dan lingkungan kita makin asri. Pada gilirannya, bumi tetap menjadi common home, dalamnya kita hidup, berinteraksi, dan berkelanjutan.

Sudahkah kita menyepi dalam pertobatan ekologis, dari segala ide-laku-tindak kita yang destruktif?

 

Oleh: Reinard L. Meo

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Reinard L. Meo


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai