Masihkah Lilin Kita Bernyala?

Spread the love

Sebelum dengan sadar, tahu, dan mau memutuskan untuk mengabdi di sebuah sekolah di Bajawa, Flores, NTT, saya menghabiskan hari-hari selepas tamat kuliah dengan menjadi freelanceryang kadang-kadang relawan sosial.

Sadar bahwa setiap kita tidak akan pernah benar-benar menjadi tuan atas diri kita sendiri—dalam arti, sebebas-bebasnya seorang freelancer mengatur dirinyadia pasti tak akan bebas dari misalnya harus antre di pertamina atau di ATM, diundang menjadi fasilitator dalam pelatihan jurnalistik atau creative writing workshop—, tentu suatu hal yang menggembirakan.

Lepas dari soal tambahan penghasilan—karena kadang freelancer rajin berdoa untuk hal ini—menjadi fasilitator merupakan momen empuk untuk berkreasi. Tidak mudah memang, jadi fasilitator.

Apalagi, pesertanya adalah siswi-siswa SMA/SMK yang dijejali sekian banyak mata pelajaran atau anak kuliahan yang hampir pasti tidak cukup konsen pada hal-ihwal jurnalisme macam Akademi Keperawatan.

Dua kali saya diundang jadi fasilitator, dua kali pula saya harus benar-benar diyakini bahwa betul, jadi fasilitator itu tidak enteng.

Selain bahwa materi-materi inti harus disiapkan, atau materi yang disiapkan pihak yang mengundang harus betul-betul dikuasai untuk kemudian dibagikan kepada peserta, kreatif memang satu-satunya pegangan yang harus saya miliki.

Bukti kreativitas itu tentu banyak. Satu yang paling pasti—dan saya kira tidak ada fasilitator mana pun yang membantah ini, kecuali bila memang dia memiliki kuasa transendental yang mampu membuat semua peserta aktif dari detik pertama sampai detik terakhir—ialah  kreatif menciptakan game.

Game. Yah, betul. Dua pertanyaan bisa kita lontarkan: (a) apa manfaat sebuah game dan (b) seberapa reflektifkah sebuah game yang kita ciptakan?

***

Pada kegiatan paling akhir Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) bagi siswi-siswa baru di SMA Katolik Regina Pacis Bajawa, saya menyaksikan sebuah game dimainkan. Sampai kini, saya tak tahu apa nama game itu, dan saya tak akan pernah mau mencari tahu namanya. Nama game itu bisa Anda tentukan sendiri, selepas tulisan ini selesai.

Pengurus OSIS membagi casis (calon siswi-siswa) ke dalam beberapa kelompok. Pengurus OSIS yang tidak bertugas sebagai pemandu game, ikut berperan mendampingi kelompok-kelompok casis.

Kepada masing-masing kelompok, diberikan sebatang lilin putih. Game diawali dengan menyalakan lilin. Beberapa casis yang membentuk lingkaran paling kecil, menutupi lilin bernyala itu dengan tangan mereka.

Casis lain membentuk lapisan kedua, ketiga, sampai terakhir, dengan satu tugas, melindungi para penjaga lilin. Casis berbadan tinggi dan beberapa pengurus OSIS pendamping menjadi tameng penjaga. Tiap-tiap kelompok harus membawa lilin bernyala itu dari titik start menuju titik finish.

Dalam perjalanan, kelompok-kelompok lain melempari kelompok yang sedang dalam “misi penyelamatan api” itu dengan air yang diikat dalam plastik, dari berbagai arah.

Ada kelompok yang berhasil, ada pula yang gagal karena lebih dahulu gagal menghalau serangan air. Ada lilin yang terus bernyala sampai akhir, ada yang terpaksa mati karena anggota kelompok lebih sibuk menghindari air daripada menjaga nyala lilin.

Satu hal yang pasti, kita melihat semua yang terlibat dalam game ini basah kena air.

***

Kenangan-kenangan saat menjadi fasilitator, muncul dengan sendirinya. Pelatihan atau workshop sudah seharusnya menyenangkan sejak dalam dirinya sendiri.

Bila tak menyenangkan, barangkali itu sidang sengketa tanah di pengadilan. Saya ingat lagi, bagaimana mencegah peserta agar tidak bosan. Saya ingat kembali, bagaimana caranya agar peserta tidak tidur. Saya ingat persis, bagaimana membuat peserta aktif juga gembira.

Yah, saya ingat, game memang dimaksudkan agar peserta atau orang tidak bosan, tidak tidur, agar aktif dan gembira. Untuk semua tujuan atau manfaat ini, sebuah game diciptakan. Ini jawaban untuk pertanyaan (a) di atas. Namun, bagaimana dengan pertanyaan (b)?

***

Saya kira, hidup kita di dunia yang sementara ini hanyalah soal bagaimana menjaga api agar tetap bernyala hinggah akhir. Hidup adalah perkara menjaga nyala lilin agar tak padam, meski dilempari air.

Basah itu pasti, atau sekarang kita bisa menyebutnya: tantangan pasti ada. Serangan pasti datang. Cobaan juga. Pertanyaannya—maaf, saya tidak bermaksud kelihatan bijak—, kita mau fokus pada yang mana: lilin di tangan atau air dari luar?

Ada banyak kisah orang yang sukses menjaga api hingga akhir. Berkat komitmen, berkat kerja tim. Tanyakan pada mereka, apakah tak pernah sekali atau dua kali menghadapi serangan air yang kadang datang tanpa ditebak?

Ada pula pengalaman atau cerita tentang api yang padam di tengah jalan, bahkan baru berjalan tak terlalu jauh. Tanyakan pada mereka, mereka pasti menjawab: kami tidak mau basah!

***

Saya akan bangun tiap pagi sebagai seorang guru. Akan selalu bertemu anak-anak didik yang memainkan game yang masih buat saya tak bisa dengan tegas menamai apa game itu.

Akan selalu merefleksikannya, sembari mulai pelan-pelan berjalan membawa dan menjaga nyala lilin di tangan. Sambil berjaga-jaga, dari arah mana air itu tiba-tiba datang.

Apakah lilin Anda masih bernyala?

 

Oleh: Reinard L. Meo

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Reinard L. Meo

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

2 tanggapan untuk “Masihkah Lilin Kita Bernyala?

Komentar ditutup.