Hidup adalah perjuangan.Untuk berjuang, tentunya setiap orang memiliki caranya masing-masing. Inti dari perjuangan itu pun harus didasari oleh roh dan niat yang baik.
Dan salah satu cara perjuangan yang baik itu, termaktub jelas dalam buku kumpulan puisi Pendar Sajak di Langit Flores karya Lusia Yasinta Meme. Dari 81 puisi yang telah saya baca dan selami, saya menemukan tiga kata kunci yang sangat fundamental.
Pertama, pewartaan. Secara khusus, penyair menempatkan 7 puisi: Di Langit Pulau Flores 1-Di Langit Pulai Flores 7, untuk pewartaan tentang keindahan Flores. Juga tentang nilai budaya dan spritualitas humanis yang sudah sekian lama membudaya di Flores.
Hemat saya, pewartaan yang dilakukan oleh penyair bukan karena penyair orang Flores yang memiliki tanggung jawab penuh dalam mewartakan nilai-nilai yang ada di Flores, namun lebih daripada itu, penyair mau melegitemasi bahwa sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling istmewa, tugas pewartaan tentang keindahan alam ciptaan Tuhan itu adalah wajib hukumnya untuk dilakukan.
Baca Juga: Kenangan pada Sarapan Pagi Penuh Dusta
Tak heran, jika penyair dengan sangat tegas melabeli Flores tempat kelahirannya itu sebagai sebuah surga di nusa bunga.
Di Atas Langit Pulau Flores 1
Kutulis syair ini di kala besi meraung kencang mengudara
mengintari lembah dan ngarai yang permai
dari balik jendela kaca kuamati
bukit demi bukit yang berbaris rapih
sungai, gunung, padang, hutan berderet, berjenjang dan bergelombang
pulau nusa bunga laksana istana
bermuara di keelokkan yang tiada tara.
Burung besi terus mengintari langit
semakin tinggi semakin membiru
pulauku, terlihat surga di bawa lengkung
langit semakin jauh semakin merindu hatiku.
Burung besi kian mengakasa
tergambar jelas wajah Floresku
bak raut yang tak perlu riasan untuk terlihat
cantik sejatinya ia sudah sangat rupawan
dari angkasa tergambar alam Flores
yang jelitabirunya laut dan hijau pohon nyaris
tak terbatas bagai menyatu pada sebuah surga
di nusa bunga.
Lebih jauh penyair kembali menegaskan bahwa Flores layak untuk dikunjungi oleh para wisatawan asing. Untuk memperkuat pernyataan ini, kemudian penyair melukiskan salah satu tempat wisata yakni Labuan Bajo sebagai alam sutera dan negeri surga yang keindahannya tetap terjaga dan jauh dari luka.
Itulah sebabnya, Labuan Bajo tidak saja menjadi ikon Flores tapi sudah menjadi ikon nasional dan internasional, bahkan. Fakta ini mendapat tempatnya dalam puisi Di Atas Langit Pulau Flores 6, pada bait kedua penyair menulis baris-baris ini:
Aku pemuja negeri
dari Nusa Nipa hingga Labuan Bajo
terbentang alam sutera
negeri nusa bunga
negeri nusa surga
yang terisolasi dari konfrontasi.
Selain itu, penyair lagi-lagi memberi penegasan, bahwa masyarakat Flores juga sangat kental dengan nilai budaya. Salah satu bentuk penghayatan nilai itu yakni sikap toleransi antar umat beragama.
Oleh karena itu, saya pun sungguh sepakat ketika penyair mengamini toleransi Flores sebagai kekhasan budaya yang sudah diketahui oleh publik. Penegasan penyair sangat jelas termaktup pada puisi Di Atas Langit Pulau Flores 6, pada bait ketiga:
Aku pengagum rahasia
dengan rasa yang tak berucap
tentang eloknya, damainya
membuat hati tak ingin pergi
selalu tertambat pada negeri eksostis
yang berbingkai toleransi.
Selanjutnya dalam puisi Di Atas Langit Pulau Flores 5 pada bait ketiga dan keempat, penyair berkumandang tentang kentalnya harmoni toleransi di Flores.
Di atas langit Pulau Flores
terlihat pemuda duduk bersama
bercampur dalam keanekaragaman
begitu akur dan rukun
lambang perbedaan yang sangat terjaga.
Di atas langit Pulau Flores
terlihat jelas permata cinta
sungguh, tak terbaca tunas-tunas kebencian di sana.
Pada titik ini, bersama penyair saya pun sepakat bahwa Flores sangat pantas untuk dijadikan lokus dan fokus bagi siapa saja yang mau belajar tentang budaya toleransi, tentunya.
Kedua, gugah. Sangat jelas, sebagai seorang pendidik penyair telah dan sedang menggugah para guru yang selalu mengidentikkan dirinya sebagai pengajar di kelas saja. Juga pengajar yang tidak kreatif dan inovatif.
Hal ini tentu dibuktikan oleh fakta lapangan. Bahwa masih ada sekian banyak guru yang masih menempakan tugas pada dirinya, semata-mata hanya sebagai pengajar siswa di sekolah dan dalam ruangan kelas. Juga masih menempatkan tugas pada dirinya untuk selalu tunduk pada kurikulum yang administratif.
Baca Juga: Berkomitmen untuk Pulang dan Tidak Lupa Jalan Pulang
Dampaknya, lahirlah guru yang hidupnya hanya dalam dunia mimpi dan harapan yang ompong. Banyak waktu yang berlalu begitu saja tanpa bekas. Atau yang lebih ekstremnya, guru yang terbelenggu seperti katak dalam tempurung.
Penyair lalu menyentil sekaligus menggugah para guru yang demikian melalui puisi Waktu yang Sia-Sia, khusus pada bait pertama.
Untuk apa engkau bermimpi
hanya untuk menghiasi anganmu
sementara banyak ruang yang kau buang.
Dan pada hemat saya, atas kenyataan-kenyataan yang membelenggu pikiran dan sikap para guru itulah, penyair bersuara. Bahwa tugas guru tak boleh dibatasi oleh ruang, waktu dan aturan yang membelenggu ruang kreatifitas guru itu sendiri.
Sebaliknya, seorang guru harus menjadi corong pewartaan tentang nilai-nilai universal yang peka dan merdeka. Di mana ada bebauan yang merogot hidup bermasyarakat, guru hadir untuk menghalaunya dengan aroma wangi.
Ketiga, menggugat. Kagum pada keindahan dan nilai-nilai yang kemudian mewartakan pada ranah praksis, sebenarnya adalah tugas semua manusia tanpa pengecualian. Namun acapkali fakta justru berkata lain. Banyak pejabat Flores yang mengagungkan tambang.
Seolah tambang sangat cocok untuk rahim Flores yang amat sempit itu. Seolah tambang mampu datangkan surga bagi Flores. Kalaupun ada, surga itu hanya bisa dirasakan oleh para pejabat yang bernapaskan kapitalis. Namun neraka bagi masyarakat kecil.
Satu contoh nyata, coba saya paparkan. Pada awal tahun 2013 silam, saya pernah mengadakan penelitian limiah untuk penulisan skripsi. Fokus penelitiannya adalah terkait alasan masyarakat Latung, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada bersikap resistensi terhadap rencana pertambangan bijih besi di Mbopok, Desa Latung.
Pada umumnya, alasan penolakkan karena alasan ekologis, sebab Desa Latung letaknya di pinggir pantai. Sebaliknya, masyarakat lebih mendukung agar pemerintah memprioritaskan pada aspek pariwisata seperti 17 pulau Riung, taman laut, dan pulau kelelawar yang bisa mendatangkan hasil yang lebih humanis dan tidak merusak alam.
Namun tak dapat dimungkiri, bahwa fakta Flores saat ini, walau banyak potensi pariwisata, tapi semuanya tak bisa dikelola secara professional demi kesejahteraan rakyat.
Semuanya lebih kepada cara pengelolaan demi kepentingan perut para pejabat dan kapitalis. Dampaknya, bangunan kekuasaan yang bertopeng sok ekologis dan sosialis dalam membangun aspek pariwisata semakin bertumbuh subur.
Baca Juga: Perempuan, Puisi, dan Kosmetik
Oleh karena itu, saya pun percaya bahwa alasan pewartaan tentang keindahan dan nilai-nilai yang ada di Flores sebagaimana dikumandangkan oleh penyair lewat puisi-puisinya, sebenarnya sedang dan mau menyadarkan semua orang, termasuk penyair untuk:
Pertama, bahwa menggaungkan pewartaan hal baik adalah tugas dan tanggung jawab semua orang tanpa pengeculian.
Kedua, bahwa bagi insan yang tidak peka dan sering merusak alam dan tatanan sosial, segeralah sadar dan berubah. Sebab cara-cara hidup yang demikian masuk kategori primitf dan destruktif.
Akhirnya, bersama puisi Bukalah Kacamatamu, terkhusus pada bait keempat, saya mengajak Anda sekalian termasuk penyair untuk sejenak berefleksi. Sembari berharap, semoga dapat menggugah dan menggugat nurani kita masing-masing untuk semakin banyak mencintai dan berbuat kebikan ketimbang keburukan.
Bukalah Kacamatamu
bukalah kacamatamu
ia terlalu terang buat matamu
hingga tak terlihat yang dekat denganmu.
Oleh: Bonefasius Zanda
Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari Bonefasius Zanda