Modal Yakin Saja Tidak Cukup dalam Pengobatan Tradisional (Pertanggungjawaban Panitia Lomba Menulis HUT Pojok Sehat)

Spread the love

Kurang lebih lima tahun terakhir, kita semua barangkali sudah sangat akrab dengan salam yang satu ini: salam literasi!

Biasanya, seruan salam itu dibarengi gerakan tangan kanan ke atas dan agak condong ke depan, lalu jemari dibentuk menyerupai huruf L.

Antusiasme seperti itu menunjukkan program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) cukup diterima dengan baik oleh masyarakat, lebih khususnya di lembaga pendidikan formal.

Bahkan, untuk meluaskan gerakan hingga tingkat keluarga dan masyarakat, pecinta gerakan literasi ini bekerja sama dengan pihak pemerintah dalam membentuk sebuah organisasi penggerak yang bernama Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM) di seluruh Indonesia.

Setelah bergerak selama kurang lebih 5 tahun, kita perlu memeriksa kembali sejauh mana efektifitas program tersebut.

Apakah GLN itu sekadar euforia sesaat yang diramaikan slogan kosong atau memang berkontribusi dalam peningkatan kualitas pendidikan kita?

Terima Kasih Yayasan Arnoldus Wea Dhega Nua

Terlepas dari besar-kecilnya kontribusi yang sudah diberikan, patut diakui, Yayasan Arnoldus Wea Dhegha Nua juga ikut andil dalam gerakan literasi tersebut.

Situs web arnolduswea.com ini, misalnya, menyediakan berbagai rubrik yang bisa diisi dengan tulisan siapa saja, asalkan memenuhi kriteria tim redaksi.

Kabar baiknya, setiap tulisan yang lolos seleksi dan dimuat, penulisnya mendapatkan honor yang tergolong pantas.

Bukankah ini menjadi motivasi yang baik bagi masyarakat, khususnya anak-anak muda NTT dalam berliterasi?

Arnoldus Weacofounder yayasan ini—dalam sebuah catatannya pernah menjelaskan secara detail mengenai gerakan Dhegha Nua, sebuah prinsip hidup yang jadi landasan dalam menjalankan program atau kegiatan yayasan.

“…saya Arnoldus Wea menginsiasikan sebuah gerakan sosial DHEGHA NUA. Dalam Bahasa Indonesia, secara harfiah, adalah ingat kampung, tetapi, saya ingin memberi bobot lebih sebagai  sebuah gerakan rindu kampung halaman,” demikian tulisnya.

Pada beberapa kesempatan, Pak Aldo—begitu beliau biasa disapa—menyampaikan visi yayasan tersebut untuk menjadi partner pemerintah atau lembaga lainnya dalam kegiatan kemanusiaan, serta pembangunan SDM muda. Ada tiga misi yang menjadi perhatian utama: kesehatan, pendidikan dan pariwisata.

Lomba menulis HUT Pojok Sehat ini  juga bagian dari karya dari yayasan ini. Selain mengangkat tema kesehatan, kegiatan itu merupakan bentuk dukungan bagi sektor pendidikan, khususnya  gerakan literasi yang gencar digaungkan berapa tahun belakangan. Karena itu, sebelum membaca pertanggungjawaban panitia berikut ini, kita mengucapkan terima kasih terlebih dahulu buat Yayasan Arnoldus Wea Dhegha Nua.

Modal Yakin Saja Tidak Cukup

Kami selaku panitia merasa senang dengan antusiasme yang ditunjukkan masyarakat NTT, khususnya yang ikut menjadi peserta lomba. Ada 723 naskah yang masuk ke redaksidheghanua@gmail.com, langsung diseleksi oleh “penjaga gawang” e-mail.

Pemilahan awal ini menggunakan standar minimum sebuah tulisan yang sudah ditentukan sebelumnya. Hal ini menyangkut jumlah kata, kesesuaian tema, dan kerapian penulisan.

Saringan awal itu menyisakan 350 naskah. Anggota redaksi yang mengawal pintu e-mail menghilangkan identitas penulis, lalu diganti dengan kode tertentu. Ini merupakan teknik “blind review” untuk mengurangi konflik kepentingan dari dewan juri.

Tim redaksi arnolduswea.com yang menjadi penilai akhir tulisan-tulisan itu menyeleksi lebih lanjut dengan patokan kriteria yang sebelumnya telah disampaikan dalam informasi lomba menulis Pojok Sehat.

Proses penilaian ini kurang lebih seminggu. Ada lima tulisan yang dianggap cukup baik. Tapi, hanya tiga tulisan terbaik yang ditetapkan sebagai pemenang.

Sebelum mengumumkan siapa saja yang berhak mendapatkan hadiah jutaan rupiah itu, kami ingin menyampaikan beberapa catatan penting yang disampaikan tim penilai.

Pertama, sebagian besar peserta lomba menulis merupakan anak-anak muda kelahiran tahun 90-an ke atas. Ada juga kelompok yang lahir tahun 80-an, tapi jumlahnya tidak dominan.

Data demografi ini menunjukkan kalau selama lima tahun gerakan literasi nasional (GLN), mereka sedang berada di pendidikan menengah.

Bila kita anggap lomba menulis Pojok Sehat ini sebagai salah satu metode “cek ombak” yang mengukur sejauh mana keberhasilan GLN, maka bisa dikatakan cukup berhasil.

Namun, semangat yang besar itu belum dibarengi kualitas yang baik. Banyak tulisan yang ditulis asal-asalan, sehingga untuk masuk kategori “tulisan baik” saja belum pantas.

Kedua, hal ini berkaitan dengan kualitas tulisan, tim juri menemukan banyak tulisan bergaya alay. Setiap paragraf, penulis sering kali menyelipkan candaan yang mubasir.

Iya, panitia memang menyampaikan kalau tulisan dalam lomba ini sebaiknya disampaikan sekreatif mungkin, tidak kaku, atau singkatnya seperti semboyan media Tempo: enak dibaca dan perlu.

Banyak peserta yang memaknai anjuran itu dengan menulis sesukanya saja. Misalnya, ada tulisan yang hampir tiap paragraf berisi candaan kalau dirinya ganteng dan pandai merayu wanita. Siapa yang rela peduli dengan hal seperti ini?

Mestinya calon atau peserta lomba sudah menyadari sejak awal, siapa penyelenggara kegiatan. Misalnya dalam kasus ini adalah media arnolduswea.com, maka hal yang harus dilakukan sebaiknya mempelajari gaya tulisan yang sudah diterbitkan sebelumnya.

Amati gaya selingkung media yang dituju, kemudian sebisa mungkin ikuti polanya, sehingga bisa merebut hati para juri.

Masih banyak masalah lain dari sisi penulisan. Tim penilai juga menyoroti penggunaan atau penempatan metafora yang kurang sesuai. Bukannya memperindah tulisan, malah bikin dahi pembaca berkerut.

Ketiga, peserta lomba menulis kurang mempedulikan riset—meskipun  sederhana—dalam  menyiapkan bahan tulisan.

Sebagian besar peserta memang menyebutkan nama bahan atau metode tradisional yang dipakai untuk menangani gejala penyakit tertentu. Sayangnya, tidak ada keterangan lanjutan mengenai kandungan apa yang terdapat dalam bahan obat-obatan tradisional itu.

Sebagai contoh, ada peserta yang menuliskan tentang metode hentikan perdarahan dengan daun sirih. Kenapa darah itu bisa berhenti? Apakah ada zat tertentu dalam daun sirih tersebut yang mampu merangsang proses pembekuan darah?

Mereka yakin saja kalau bahan tersebut mujarab menyembuhkan sakit. Alasannya cuma karena hal itu dikatakan oleh orang tua yang dianggap memiliki kemampuan lebih (dukun).

Kalau kita punya niat mengangkat pengobatan tradisional sebagai metode yang bisa diterima secara luas, maka modal yakin seperti itu saja belum cukup.

Kita perlu cari tahu, apa kandungan dalam bahan obat itu, sehingga masuk akal untuk mengatasi atau meringankan gejala tertentu. Di sinilah pentingnya melakukan riset.

Peserta lomba tidak harus melakukan riset primer yang rumit secara mandiri. Riset juga bisa dilakukan secara sekunder dengan meninjau hasil penelitian orang lain terkait bahan obat tersebut.

Itulah inti sari catatan dewan juri dalam mengevaluasi naskah tulisan yang masuk ke panitia. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ada lima tulisan saja yang dianggap baik.

Dari lima kandidat juara tersebut, cuma satu tulisan yang dianggap lengkap. Maksudnya, tulisan itu memenuhi hampir semua kriteria yang ditetapkan panitia. Selain menyebutkan nama bahan, penulisnya juga menyertakan hasil kajian terkait kandungan di dalamnya yang bermanfaat sebagai obat.

Sedangkan empat tulisan lainnya memang terbilang baik, namun belum lengkap. Meski demikian, tim juri tetap harus memilih juara dua dan tiga. Pertimbangan yang dipakai adalah unsur kebaruan (dalam arti belum pernah ditulis dalam rubrik Pojok Sehat), teknik menulis dan kesesuaian dengan tema.

Akhirnya, tim juri menetapkan tiga tulisan terbaik sebagai pemenang. Urutannya sebagai berikut:

1. Juara I: Abel Harapan, dengang judul tulisan, “Atasi Diare dengan Daun Jambu Biji, dari Nuca Lale untuk  Flobamora yang ditulis”

2. Juara II: Gres Gracelia, dengan judul tulisan, “Pemulihan Pasca Melahirkan dengan Pengobatan Tradisional”

3. Juara III: Antonius Rian, dengan judul tulisan, “Sirih dan Pinang dari Kedang Bisa Bunuh Asam Lambung.

Keputusan tim juri bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat. Ketiga tulisan terbaik ini akan ditayangkan di rubrik Pojok Sehat arnolduswea.com.

Sebelum dipublikasikan, kami ingatkan memang, petunjuk pengobatan tradisional yang ada dalam tulisan tersebut bukan bentuk rekomendasi yang harus Anda praktikkan. Anggap saja ini informasi awal yang memancing kita untuk terus mencari tahu lebih jauh.

Bagi pemenang, silakan hubungi panitia, kirim nomor rekening Anda ke nomor WA 085239021436. Selamat dan salam sehat.

Terimakasih, salam hormat, kami ingin bertumbuh bersama Anda

 

Redaksi ArnoldusWea.com

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai