Pariwisata Kerakyatan: Tanding atau Naik Banding? (1)

Spread the love

Ini adalah artikel dari pemenang I lomba menulis ulang tahun ke 75 Republik Indonesia dan ArnoldusWea.com ke 1

***

Tahun 2019 lalu saya berkunjung ke Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, menyambangi seorang kerabat sekaligus membuat tulisan perjalanan (travel writing)  untuk suatu majalah penerbangan dan surat kabar lokal.

Lebih dari seminggu berada di sana, saya sempat mengamati beberapa hal ataupun isu terkait pengelolaan destinasi pariwisata di pulau bagian selatan Indonesia itu.

Pertama-tama, beberapa tempat wisata berbeton nan fotogenik, terutama di dekat Kota Ba’a, ibukota Kabupaten Rote Ndao, tampak agak kurang terperhatikan; tidak ada petugas yang berjaga, loket kasir berantakan, dan berseraknya sampah plastik juga daun kering-sebuah perkara konvensional yang kerap dikeluhkan di mana-mana.

Berikutnya, di wilayah terluar bagian barat daya, tanah-tanah pinggir pantai dikapling dengan pagar batu karang dan coran semen, baik untuk kepentingan spot wisata besar maupun resort atau vila pribadi.

Waktu berbincang dengan seorang warga tempatan, saya mendapatkan informasi bahwa lahan sekitar kawasan bahari itu memang dijual sekenanya ketimbang dibiarkan kosong dan kering kerontang (EKORA NTT, 2019). 

Akan tetapi, di antara itu, terdapat juga beberapa tempat kunjungan yang memasang plang penanda bahwa itu dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan komunitas kewargaan tertentu.

Ada semacam usaha dari masyarakat untuk mengelola ruang hidupnya secara mandiri. Atau ungkin juga itu dilakukan sebagai respons spontan atas keberadaan spot-spot lain yang mengakomodasi kunjungan massal dan berskala industrial.

Situasi agak berbeda saya temukan di wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya; Maumere, Pulau Flores. Sebuah wisata pantai terletak di wilayah barat dekat lintasan trans-Flores Maumere-Ende menjadi arena saling “tarik” tarif oleh warga sekitar. Pengunjung yang datang ke situ harus membayar di sejumlah titik karena jalan masuk yang dilewati merupakan lahan milik warga.

Sepintas kilas orang akan menyalahkan masyarakat. Namun, kalau mau dilihat lebih jauh, contoh kasus di pantai bernama Koka ini justru ada pada ketidakjelasan intervensi pemerintah (daerah) yang hanya membangun, atau lebih tepatnya memberikan akses, kemudian tinggalkan begitu saja; membiarkan warga berebutan remah-remah uang dari kantong wisatawan.

Problem kompleks lainnya juga berkelindan erat dengan hubungan tidak pasti antara investor pemilik Hak Guna Bangunan dan masyarakat lokal, terutama para pemilik tanah (Ola Sura, 2019).

Dalam artikel ini saya tidak hendak membuat perbandingan antara satu tempat wisata dan tempat wisata lainnya ataupun menyoroti secara khusus konsep juga pengelolaan pariwisata di Nusa Tenggara Timur.

Artikel ini hendak menjelaskan pengaruh industri pariwisata terhadap dinamika sosial-ekonomi kewargaan secara umum dan bagaimana hal semacam itu disiasati agar tidak setiap wilayah (baca: ruang-ruang kecil) menjadi arena akumulasi kapital berpita komersial atau industrial atau premium atau apa pun istilah yang tepat merujuk pada peminggiran hak-hak hidup masyarakat banyak.

Tentu, penetrasi ide kapitalisme-neoliberalisme yang begitu masif memberikan tantangan serius bagi pola pikir kita bahwa pariwisata harus berarti, “semenisasi”, “gusurisasi”, “hotelnisasi”, bahkan lebih parah lagi di beberapa tempat, dalil “konservasi” dijadikan kedok oleh Negara untuk model pembangunan yang benar-benar alien alias asing (bdk. Hopkins, 2014; Afioma, 2016; Dahir, 2018).

Imbasnya, bukan hanya tempat hidup orang-orang lokal yang tersisihkan, melainkan juga gerak decak kulturnya; bukan hanya tempat cari makan yang berpindah, melainkan juga cara pandang terhadap dinamika sosial-ekonomi modernitas.

Dari situ, tulisan ini juga saya maksudkan untuk membincangkan ikhtisar potensi pariwisata kerakyatan yang seyogianya lebih berfokus pada model/bentuk wisata tempatan atau komunitas dalam lokus geografis yang kecil.

Ini terutama merujuk pada desa, kampung, dusun ataupun unit-unit objek potensi wisata yang khas dan tidak melulu benda semata tetapi juga pengetahuan dan kearifan-kearifan tertentu.

Meskipun begitu, tulisan ini juga akan membentang sekelumit catatan kritis atas pendekatan termaktub karena tidak setiap dimensi ruang kewargaan mampu “dipotensikan” sebagai arena wisata, terlepas dari gagasannya yang bersekop kecil pun mengedepankan kepentingan seluruh elemen masyarakat.

Menyitir cara pandang materialisme kultural sebagaimana yang ditawarkan Harris (1979), kemajuan (suprastruktur) suatu komunitas muncul dari beresnya prasyarat-prasyarat paling mendasar (infrastruktur) sehingga tidak menimbulkan kerenggangan hubungan sosial satu sama lain dalam tatanan strukturnya.

Di beberapa tempat ataupun Negara, bentuk pariwisata tempatan ini menemukan sejumlah tantangan tersebab dinamika internal di dalam kelompok masyarakat ataupun pengaturan semena-mena dari berbagai stakeholder (Timothy, 2002; Jamieson, Goodwin and Edmunds, 2004; Sharply, 2009).

Pariwisata Tempatan: Dialektika Dunia Lama dan Dunia Baru

Bagi ilmuwan sosial dan humaniora, terutama pengkaji bidang sosial-budaya, paradigma pariwisata kerakyatan—untuk mengaitkannya dengan konteks yang lebih global—memiliki sejumlah penyebutan teknis-praktis, seperti Community Based Tourism, Ecotourism, Ethno-ecotourism, Agri-tourism, Cottage-tourism, dan lain sebagainya.

Namun, kata “tourism” ini tidaklah serta merta diartikan dengan “wisata” ataupun “pariwisata” yang berasal dari kata bahasa Sansekerta (bdk. Yoeti, 1996). Berangkat dari landasan etimologis, “wisata” lebih tepat dipadankan dengan kata “travel” dalam bahasa Inggris, merujuk pada perjalanan.

Sementara “pariwisata”, yang merupakan gabungan lema “pari” dan “wisata” barulah sedikit bersesuaian dengan “tourism”, berarti perjalanan dari satu daerah ke daerah lain.

Baca Juga: E-Tourism dan Pembangunan Pariwisata di NTT

Pada level global, konsep-konsep turunan tourism di atas telah menjadi perbincangan hangat sejak dekade ‘60-an sebagai tanggapan alternatif atas mode mass tourism yang diproposalkan World Trade Organization (WTO), yang hanya mementingkan aspek bisnis, mengedepankan pembangunan tajuk besar, dan mengabaikan dimensi sosial-ekologis (Kim et al., 2012).

Mass tourism ini juga merupakan bagian dari agenda kaum neolib untuk “menghibur” tenaga kerja industri agar membelanjakan uangnya di tengah destabilitasi ekonomi Negara pasca-Perang Dunia II (Urry, 2003).

Adapun untuk konteks Indonesia, kebijakan pariwisata kerakyatan dalam arti dikelola oleh orang-orang lokal dan bukannya dikontrol oleh pemilik modal (baca: asing) tertentu sempat dibahas pada masa pemerintahan Soekarno-Hatta.

Tentang ini, supaya tidak terjebak pada anjungan ultranasionalisme, mesti dipahami bahwa waktu itu usai kemerdekaan, Negara berusaha menasionalisasi perusahaan-perusahaan kolonial, termasuk hotel-hotel, ditandai dengan terbitnya Surat Keputusan Wakil Presiden (Dr. Mohamad Hatta) sebagai Ketua Panitia Pemikir Siasat Ekonomi juga pembentukan Badan Pusat Hotel Negara di Yogyakarta pada tahun 1947 (Suwena dan Wydiatmaja, 2017).

Walakin dihantam dinamika politik eksternal-internal kala itu, upaya ini seyogianya bersinggungan erat dengan konsep ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi) yang memang digarap sungguh-sungguh oleh Bung Hatta.

Ekonomi kerakyatan—yang kemudian menjadi inspirasi penulisan judul artikel ini— menekankan pada tegaknya kedaulatan rakyat dalam mengelola faktor-faktor produksi secara mandiri.

Konsep ini sebelumnya telah diutarakan oleh Tan Malaka (1912) bahwasanya ekonomi kerakyatan ialah “…produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan berbagai institusi dalam masyarakat…” (bdk. Baswir, 2009).

Akan tetapi, dalam kaitannya dengan pariwisata, perkembangannya secara nasional kemudian menemukan jalan buntu terutama pada masa awal berkuasanya Orde Baru.

Geliat ini kembali hidup saat terjadi krisis minyak dunia, disusul resesi ekonomi dunia yang berakibat pada turunnya penerimaan devisa Negara secara drastis.

Pemerintah lalu menyatakan bahwa, peningkatan devisa melalui ekspor non-migas, jasa-jasa, dan pariwisata harus merupakan perjuangan habis-habisan, sebagaimana dikatakan Presiden Soeharto dalam Pidato Kenegaraan di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, 16 Agustus 1988 (Pujaastawa, 2017).

Ironisnya, kebijakan itu lantas mengubah total paradigma pariwisata di Indonesia, yakni perkara kejar-mengejar profit, bahkan sampai pada alih fungsi lahan. Tidak peduli nasib orang lokal, yang penting turis (investor) datang dan bayar pajak untuk Negara.

Tak pelak, di beberapa daerah, seperti Bali (wilayah yang memang telah dihantam arus wisata sejak era kolonial), sebagian warga melakukan protes, berlaku kasar kepada wisatawan (mancanegara), bertindak kriminal, dan merusak fasilitas-fasilitas publik (bdk. Mahagangga, 2008; Nurdin, 2016).

Begitu juga yang terjadi di Makassar, proyek “Kota Budaya” oleh Orde Baru memberikan dampak serius bagi tersisihnya sumber penghidupan informal warga kota akibat penguasaan ruang spasial oleh pihak swasta (Ilham, 2019). Lebih lanjut, dinamika lainnya terjadi di dalam diri masyarakat itu sendiri. Rasa senang dan kagum terhadap orang “luar”, dalam hal ini para turis bule, ditambah cerapan-cerapan citra keseragaman modernitas, menyebabkan kesadaran warga mudah sekali terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu.

Warga lalu dianggap sebagai unit sosial yang gampang diatur, mudah menerima dan bernegosiasi dengan identitas budaya lain, serta tak pelak “pembangunan” pariwisata dipampatkan sebagai urusan teknis belaka.

Para pengambil kebijakan tidak ubahnya seperti melempar batu ke dalam suatu kolam. Pengaruhnya tidak hanya terjadi di mana batu dilemparkan, tetapi pengaruhnya juga terjadi di sepanjang riak gelombang yang ditimbulkannya (Putra, 2008).

Proyek pariwisata model Orde Baru tersebut tampaknya masih bercokol sampai sekarang dengan (ko)-modifikasi nilai jual, seperti “Bali Baru”, “Wisata Premium”, ataupun pelabelan-pelabelan aneh lainnya, sebuah pertanda yang menunjukkan minimnya imajinasi para pengelola Negara.

Namun, terlepas dari tantangan-tantangan termaktub, kewaskitaan atas dampak pariwisata konvensional tersebut, terutama setelah berlakunya Otonomi Daerah, membuat beberapa wilayah mulai memikirkan ulang tata kelola potensi-potensi tempat wisata, bahkan merasuk sampai ke desa-desa ataupun satuan komunitas tertentu.

Baca Juga: Membangun Pariwisata Model CBT di Flores

Di sejumlah Negara berkembang, implementasi model pariwisata tempatan tadi telah berlangsung sejak tahun 1990-an, salah satunya berkat intervensi lembaga-lembaga donor di bawah payung sustainable tourism.

Hanya saja, menurut Baskora dan Rukendi (2008), sustainable tourism (pariwisata berkelanjutan) ini sedikit berbeda dengan konsep pariwisata kerakyatan karena tetap mengedepankan pendekatan top-down, dan bukannya bottom-up.

Tentu, dalam perspektif kritis, pendapat ini masih juga bisa diulik lagi untuk merefleksikan operasi seperti apa dalam memberdayakan potensi-potensi wisata kewargaan itu. (Bersambung)

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

 

Oleh: Elvan De Porres

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari  Elvan De Porres

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai