Kita yang Terus Terbelenggu dengan Demam Berdarah Dengue

Spread the love

Dan terjadi lagi, kisah lama yang terulang kembali…

Seperti lirik lagu Ariel Noah itu saja, kita lagi-lagi mendengar kabar memilukan dari wilayah NTT. Perhatian kita sempat teralihkan pada isu baru yang tidak kalah menghebohkan, wabah COVID-19 yang kini jadi pandemik dunia. Sementara itu, wabah lama Demam Bedarah Dengue (DBD) yang masih terus membelenggu kita tiap tahunnya hampir luput dari pantauan.

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI melaporkan kejadian DBD di NTT dalam rentang waktu 1 Januari hingga kondisi terakhir pada 9 Maret 2020, tercatat sudah mencapai 1.195 kasus dengan total yang meninggal dunia sebanyak 31 orang.

Bila kita menengok kembali data tahun sebelumnya, kita di NTT juga mengalami masalah yang sama. Kita salah satu penyumbang peningkatan angka penderita DBD secara nasional tahun 2019, dengan 7 kabupaten/kota yang ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Laporan Dinkes Provinsi NTT per tanggal 18 Februari 2019 pada waktu itu, jumlah penderita DBD di NTT mencapai 2.291 orang; dan 24 orang di antaranya dilaporkan meninggal dunia.

Kita juga akan menemukan fakta yang kurang lebih sama bila menelusuri kejadian tahun-tahun sebelumnya lagi. Artinya, DBD ini memang telah membelenggu kita begitu erat, sampai-sampai tidak diberi kesempatan barang setahun saja untuk bisa terbebas dari serangannya. Kita kembali jatuh pada lubang yang sama.

Apakah kejadian yang terus berulang tersebut menunjukkan kita tidak belajar apa-apa dari pengalaman sebelumnya? Ini pertanyaan reflektif untuk kita semua, yang tentu saja sangat berat untuk dijawab secara lugas. Mungkin ini menunjukkan kalau DBD ini bukan masalah yang gampang untuk diselesaikan.

Informasi mengenai DBD ini, khususnya upaya pencegahan, barangkali sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat. Bagaimana tidak, iklan layanan masyarakat tentang Pembarantasan Sarang Nyamuk (PSN) telah disosilisasikan sejak lama lewat berbagai media massa. Istilah “3M Plus” sudah terekam baik dalam memori banyak orang. Peringatan untuk segera mendatangi fasilitas kesehatan bila mengalami sakit juga telah banyak disampaikan. Tapi, kenapa masih saja terjadi kecolongan?

Tulisan Carabali, Hernandez, Arauz, Villar, & Ridde, (2015) yang menelaah sebanyak 78 hasil penelitian yang berkaiatan dengan faktor penyebab kematian akibat DBD, bisa dijadikan bahan pelajaran dan perenungan bagi kita semua. Secara umum, mereka membagi faktor penyebab dalam 3 dimensi, yaitu: individu; sosial dan lingkungan; dan sistem kesehatan.

Pertama, dimensi individu terdiri dari komponen biologis seperti usia, jenis kelamin, komorbiditas (penyakit penyerta), etnis, dan kondisi imunitas atau kekebalan tubuh seseorang. Selain itu, karakteritik lain seperti pekerjaan, pendapatan dan pendidikan juga turut memberi pengaruh.

Kedua, dimensi sosial dan lingkungan mencakup kondisi sosial ekonomi dan politik, perang dan konflik, perilaku sosial, lingkungan yang lembab atau musim/curah hujan yang tinggi, kondisi geografis, dan keberadaan vektor (nyamuk Aedes Aegypti) serta karakteristik virus yang menyertainya.

Ketiga, dimensi sistem kesehatan yang meliputi informasi tentang akses layanan kesehatan, cakupan, peluang dan kualitas, serta informasi pengawasan. Banyaknya faktor yang memengaruhi kejadian kematian akibat DBD ini menunjukkan betapa masalah ini memang sangat kompleks.

Secara individu, orang bisa saja berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi diri dan kelurga dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk. Tapi, bila tetangga dekat atau lingkungan sosial di sekitarnya malah berperilaku yang justru meningkatkan perkembangbiakan nyamuk, maka sia-sia sudah upaya individu tadi. Begitu pula ketika sudah mengalami sakit; apa daya bila fasilitas kesehatan sangat jauh? Belum lagi menyinggung soal biaya perjalanan dan perawatan selama sakit, belum tentu semuanya mampu. Dan masih banyak lagi kendala yang membuat kita sepertinya tidak berdaya melawan wabah dengue ini.

Kalau kita terus fokus mencari siapa yang paling bertanggung jawab atas persoalan ini, maka yang terjadi hanyalah upaya saling menyalahkan satu sama lain. Selain tidak produktif, sikap seperti itu cenderung merugikan banyak pihak.

Daripada terus bergunjing yang tidak berguna, lebih baik kita mengikuti sebuah saran yang berumber dari penelitian kualitatif tentang pengalaman orang yang pernah mengalami atau merawat keluarga mereka yang menderita DBD, yaitu: “Kita membutuhkan orang untuk berkolaborasi bersama melawan penyakit (DBD) ini.”

Penelitian yang dilakukan Frank, Beales, de Wildt, Meza Sanchez, & Jones, (2017) itu bertujuan untuk  membantu pelaksanaan program dan strategi pengendalian nyamuk pada masa mendatang. Ada 3 tema utama yang bisa kita pelajari dari studi tersebut, yaitu kesadaran akan DBD dan pengendaliannya; menyadari kerentanan anak-anak, masyarakat yang tinggal di tepi sungai pedesaan dan penduduk kota; dan menyadari tanggung jawab pengendalian vektor.

Kesadaran terhadap DBD dan pengendaliannya dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang mengenai konsep penyakit tersebut. Secara umum orang sudah mengenal tanda dan gejalan DBD ini, termasuk cara pencegahannya. Meski begitu, salah persepsi tentang penyakit ini juga sering terjadi. Karenanya, petugas kesehatan yang mempunyai peran untuk melakukan promosi kesehatan, perlu terus mengenalkan informasi penyakit ini kepada semua lapisan masyarakat. Pengalaman sebelumnya yang pernah mengalami atau merawat anggota keluarga yang menderita DBD juga mampu meningkatkan kesadaran akan untuk mengendalikan penyakit tersebut.

Kita juga perlu menyadari kalau DBD ini lebih rentan terjadi pada usia anak-anak, orang yang tinggal dekat sungai dan daerah perkotaan yang padat. Penelitian tersebut menyebutkan kalau anak-anak merupakan golongan yang paling rentan mengalami DBD hingga berakibat fatal. Hal itu bisa terjadi lantaran anak-anak tidak cukup maksimal menyampaikan keluhan yang dirasakannya.

Bila kita bandingkan dengan kondisi yang terjadi di Kab. Sikka-NTT, pada dasarnya memiliki pola yang sama. Hampir semua penderita yang dilaporkan meninggal dunia itu dalam rentang usia anak. Karena anak cenderung kurang mampu menyampaikan keluhannya secara rinci, orang tua mungkin menganggapnya sebagai sakit biasa. Ketika kondisi makin memburuk, barulah buru-buru diantar ke rumah sakit. Keterlambatan mencari pertolongan itu menjadi penyebab banyak yang tidak bisa diselamatkan.

Tanggung jawab mengontrol vektor (nyamuk), dalam penelitian tersebut dibagi menjadi tanggung jawab eksternal, masyarakat dan personal. Tanggung jawab ekternal ini menyangkut peran pemerintah melalui dinas kesehatan dan perangkat kerjanya untuk aktif melakukan sosialiasi dan memberi bantuan terkait upaya pengendalian sarang nyamuk.

Tanggung jawab masyarakat secara komunitas juga sangat penting, sebab hanya dengan kerja kolaborasi, maka upaya pengendalian sarang nyamuk bisa lebih mudah dilaksanakan. Kekompakkan dalam masyarakat itu bisa dimulai atau ditunjukkan dengan tanggung jawab sebagai pribadi dalam mempraktikkan pengendalian sarang nyamuk di lingkungan rumah sendiri. Bila semua komponen itu bekerja sama; saling berkolaborasi melakukan pengendalian vektor nyamuk, bukan tidak mungkin mitos terbelenggu DBD selama ini bisa tergerus pelan-pelan.

Hasil penelitian yang dijadikan sumber inspirasi untuk bisa keluar dari belenggu DBD ini, memang tidak spesifik bersumber langsung dari studi yang dilakukan di NTT. Meski begitu, pola penyakit DBD yang terjadi di berbagai belahan dunia kurang lebih sama. Kita bisa belajar dari mana saja dan siapa saja. Kuncinya, kita masih punya kemauan untuk belajar sehingga bisa terbebas dari belenggu apapun. Semoga tahun depan kita tidak kembali maratapi masalah yang sama.

Oleh: Saverinus Suhardin

 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari  Saverinus Suhardin


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai