Selama Pagebluk Covid, Begini Sebaiknya Menceritakan Riwayat Sakit

Spread the love

Kita mungkin sempat merasa lega setelah pasien 01 yang positif Covid-19 di NTT sesuai hasil pemeriksaan Real Time‐Polymerase Chain Reaction  (RT-PCR) dinyatakan sembuh.

Tapi, tidak berselang lama, pada Kamis (30/04/2020) kita kembali dikejutkan dengan laporan adanya temuan pasien baru sejumlah 9 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19.

Pasca penyediaan sarana laboratorium untuk pemeriksaan RT-PCR di NTT, angka yang terkonfirmasi positif terus menanjak. Data per tanggal 19 Mei 2020 menunjukkan total kasus positif mencapai 76 orang. Dari jumlah tersebut 6 orang dinyatakan sembuh dan 1 orang meninggal dunia.

Setelah adanya tren peningkatan kasus Covid-19 di NTT, kita bisa mengikuti beragam respons dari warganet. Pada umumnya menunjukkan kesan panik, masing-masing mencari tahu siapa saja yang melakukan kontak erat dengan pasien positif Covid-19 tersebut.

Jejak perjalanan pasien-pasien tersebut dilacak kembali, supaya memudahkan petugas melakukan pemetaan penyebaran virusnya, sekaligus membuat masyarakat lain makin awas dengan situasi tak menentu tersebut.

Upaya pelacakan tersebut rupanya tidak berjalan mulus. Ada pasien atau OTG yang menolak kedatangan petugas. Di tempat lain kita juga kita membaca kabar kalau ada pasien yang kabur dari rumah sakit atau tempat isolasi terpusat, kemudian berkeliaran di pemukiman warga atau tempat-tempat umum.

Berbagai laporan lain juga menyebutkan kalau banyak orang tidak jujur ketika ditanyai petugas yang pada gilirannya merugikan banyak pihak. Selain merugikan pasien itu sendiri dan keluarga atau orang-orang terdekatnya, tenaga kesehatan juga ikutan terkena dampak.

Ada beberapa rumah sakit yang terpaksa mengistirahatkan beberapa personilnya. Kalau ini berlangsung lama, siapa yang akan merawat pasien berikutnya?

Bina Hubungan Saling Percaya (BHSP)

Hubungan yang kurang harmonis antara petugas (tenaga kesehatan) dengan pasien tentunya menjadi kendala terbesar dalam proses perawatan, terutama masalah Covid-19 yang penularannya begitu cepat.

Apakah penolakan tersebut murni terjadi karena sikap pasien memang tidak kooperatif?

Sebelum lebih dulu menganggap pasien tidak jujur atau tidak bisa diajak bekerja sama, ada baiknya kita sebagai tenaga kesehatan juga perlu merenung, apakah kita sudah menerapkan salah satu bagian penting dalam melakukan pengkajian pasien, yaitu BHSP.

Apakah sikap kita sudah cukup memberi rasa aman dan nyaman bagi pasien? Bagaimana dengan pendekatan yang kita lakukan, apakah cara komunikasi terapeutik kita sudah cukup untuk meyakinkan kelompok sasaran agar mau terbuka?

Baca Juga: Covid-19 Makin Menghampiri, Kita Perlu Tahu Cara Perawatan Mandiri

Selanjutnya, bagi masyarakat umum atau pasien yang mau mendapat perawatan yang tepat dan baik, keterbukaan informasi menjadi pintu masuk tujuan akhir tersebut. Perlu kita sadari, tenaga kesehatan tidak seperti dukun—mungkin terpengaruh dari tayangan televisi atau pengalaman langsung—yang mampu menebak masalah kita hanya dengan sekali tatap atau setelah memejamkan mata beberapa saat.

Petugas kesehatan hanya mampu merumuskan masalah kita lewat wawancara yang mendalam dan berbagai macam pemeriksaan.

Kalau petugas menerima informasi yang salah, maka solusi yang mereka tawarkan juga ikutan keliru. Ujung-ujungnya malah berakibat fatal.

Pentingnya Menceritakan Riwayat Sakit

Selama ini mungkin kita terlalu mendewakan hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR untuk mediagnosis Covid-19. Sebelum hasil pemeriksaan yang memakan waktu itu keluar, tidak boleh ada yang menyampaikan kesimpulan hasil pemeriksaan metode lainnya.

Pokoknya tunggu hasil hasil pemeriksaan RT-PCR, barulah ada penanganan yang lebih serius seperti isolasi terpusat maupun mandiri.

Bila pola pikir kita masih seperti itu dalam menghadapi wabah corona ini, tentu saja keliru karena prosesnya sangat lamban. Saat melakukan pengkajian pasien, setidaknya ada tiga tahapan yang dilakukan, yaitu: anamnesis atau wawancara keluhan dan riwayat pasien; pemeriksaan fisik; dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan laboratorium seperti RT-PCR dalam konteks Covid-19, posisinya berada pada tahap terakhir, pemeriksaan penunjang. Bila kita melihat urutannya, anamnesis atau wawancara pasien merupakan bagian utama dari pengkajian untuk mendiagnosis sebuah masalah, sedangkan pemeriksaan laboratorium itu sekadar penunjang saja.

Selain itu, hasil labotarorium RT-PCR juga bisa salah. Persis seperti laporan tinjauan sistematis yang dilakukan Feng He, Yu Deng, dan Weina Li (2020), mereka menjelaskan kalau untuk memastikan seseorang positif Covid-19 atau tidak, hasil tunggal pemeriksaan RT-PCR tidak bisa diandalkan.

Bahkan salah satu studi membuktikan kalau pemeriksaan CT Scan dada jauh lebih sensitif atau lebih akurat untuk mendeteksi infeksi SARS-CoV-2 bila dibandingkan dengan RT-PCR.

Masih dari sumber yang sama melaporkan, pengalaman yang dilakukan di Hubei-China, mereka menetapkan diagnosis Covid-19 pada 10.567 kasus hanya berdasarkan gejala klinis, riwayat pajanan dan hasil CT Scan dada yang menunjukkan adanya pneumonia (peradangan paru-paru).

Mereka pun merekomendasikan, khusus untuk wilayah yang belum memiliki fasilitas laboratorium RT-PCR yang memadai, bisa menggunakan kriteria tersebut untuk mendiagnosis dan memutuskan tindakan isolasi dan perawatan lainnya.

Sebuah studi yang dilakukan Jinwei Ai, dkk., juga menunjukkan kesimpulan yang sama. Uji RT-PCR tunggal memiliki tingkat kesalahan (negatif palsu) yang relatif tinggi. Karena itu mereka menyarankan, ketika tes RT-PCR pertama menunjukkan hasil negatif pada pasien yang diduga, CT scan dada, riwayat kontak, usia dan jumlah limfosit harus digunakan secara bersamaan untuk menilai kemungkinan infeksi SARS-CoV-2.

Bila kita perhatikan dari dua studi yang disebutkan di atas, masing-masing menyebutkan riwayat kontak menjadi salah satu indikatornya. Itu artinya, keberhasilan melakukan anamnesis atau wawancara awal dengan pasien sangat menentukan ketepatan diagnosis.

Karena itu, kita semua yang mungkin suatu saat mencari pertolongan di fasilitas kesehatan, ceritakan riwayat sakit kita secara lengkap dan apa adanya.

Menceritakan Riwayat Sakit

Ketika pertama kali datang ke fasilitas kesehatan, kita tentunya akan ditanyakan mengenai keluhan utama. Sampaikan kepada petugas apa yang saja yang dirasakan atau dikeluhkan sampai memutuhkan pertolongan.

Selanjutnya, petugas akan menanyakan lebih lanjut mengenai riwayat keluhan tersebut. Beberapa pertanyaan yang sering dilontarkan: Apa yang mendahuli keluhan tersebut; bagaimana sifat terjadinya; bagaimana gejalanya (mendadak, perlahan, terus-menerus, berupa serangan, hilang timbul, atau berhubungan dengan waktu); lokalisasi terjadinya gejala dan sifatnya (menjalar, menyebar, berpindah-pindah, atau menetap); berat ringannya keluhan dan perkembangannya, apakah menetap, cenderung bertambah, atau berkurang; lama keluhan berlangsung; kapan dimulainya; upaya apa yang telah dilakukan; dll.

Bila keluhan kita menjurus pada tanda dan gejala Covid-19, tentunya akan diklarifikasi lebih lanjut mengenai riwayat pajanan sebelumnya. Informasi ini menjadi bagian yang penting. Kalau sebelumnya kita pernah melakukan kontak erat dengan orang yang diketahui positif Covid-19 atau baru saja pulang dari daerah yang disebut sebagai “zona merah”, maka sampaikan saja apa adanya.

Petugas juga akan menanyakan mengenai riwayat sakit atau penyakit yang diderita sebelumnya. Bila sebelumnya kita menderita TB Paru atau penyakit pernapasan lainnya, sampaikan saja, hal itu akan membantu tenaga kesehatan membedakan infeksi paru ini terjadi karena masalah lama atau karena infeksi virus jenis baru tersebut.

Selain itu, bila kita menderita penyakit lain (komorbid) yang makin memberatkan infeksi (seperti DM, penyakit jantung), sampaikan juga supaya ada perhatian khusus.

Masih banyak pertanyaan lain yang mungkin menyusul, tentunya disesuaikan respons selama wawancara berlangsung. Prinsipnya, semakin terbuka informasinya, maka tahapan selanjutnya akan lebih baik.

Sebab, dengan data dasar hasil wawancara awal tadi, petugas kesehatan akan memutuskan pemeriksaan fisik apa yang fokus dilakukan saat itu. Setelahnya, baru ditetapkan kemudian, kira-kira pemeriksaan penunjang apa yang perlu dilakukan untuk makin meyakinkan petugas dalam menetapkan diagnosis.

Bayangkan sendiri bila kita memberi keterangan yang salah. Ketika pintu masuknya pada bagian anamnesis salah, maka jalan lanjutannya akan tersesat. Kesesatan itu merugikan diri sendiri dan orang lain, termasuk keluarga yang kita sayangi. Jujur itu hebat!

Oleh: Saverinus Suhardin

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari  Saverinus Suhardin

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai