Misi Tanpa Pertobatan? Nihil!

Spread the love

Saya, mungkin juga Anda sekalian, tentu pernah mendengar atau membaca pelbagai literatur atau sumber referensi lainnya seputar misi, misiologi, proyek akademik seorang misiolog, atau yang paling praktis, aktivitas para “misionaris”.

Saya, mungkin juga Anda sekalian, tentu pernah, paling kurang satu kali, terlibat dalam sebuah misi. Sebagai seorang anggota Gereja yang telah dibaptis, saya acapkali merefleksikan apa itu misi, pasca menjalankan sebuah misi.

Anda tentu demikian, apalagi kalau Anda juga anggota Gereja, karena kita yakin, setiap orang yang dibaptis dalam Roh Kudus serentak diserahi mandat menjadi misionaris.

Bagi saya, misi berarti tinggal dalam keanekaragaman. Jika misi berarti pemberian diri untuk tinggal dalam keanekaragaman, semestinya jarak tidak menjadi persoalan. Orang dapat bermisi di mana saja, dekat atau jauh.

Tesis umum ini saya sangka membenarkan iman kolektif kita bahwa setiap anggota Gereja adalah misionaris. Jadi, sudah saatnya konsep lama kita dibongkar. “Misionaris” bukan lagi para imam/pastor dari Barat yang datang ke daerah kita, atau sebaliknya para imam/pastor dari daerah kita, Indonesia umumnya, yang berangkat menuju Eropa, Amerika Latin, atau Afrika. Kita semua yang dengan bangga dan penuh percaya diri menyebut diri kita “murid Kristus”, semestinya juga sadar bahwa kita adalah misionaris, pewarta Sabda Bahagia.

Sampai di sini, sebelum berlangkah lebih maju, apa itu misi? Di atas fondasi macam apakah “bangunan” bernama misi itu berdiri? Sekiranya uraian berikut ini dapat menjawabnya.

Jalan Menuju Yesus

Dalam imbauan apostoliknya, Ecclesia in Asia atau Gereja di Asia (1999), Mendiang Paus Yohanes Paulus II menyajikan deskripsi yang amat tegas tentang tiga jalan menuju perjumpaan dengan Yesus Kristus. Jalan pertama ialah pertobatan, sedangkan dua jalan yang sisa, persekutuan dan solidaritas.

Kendati pertobatan, persekutuan, dan solidaritas, ketiganya dibutuhkan bersama-sama demi persatuan dengan Kristus, amat penting untuk dicermati bahwa dalam imbauannya ini, Paus menempatkan ketiganya secara bijak lagi tepat (Phan, 2004:9). Dan persis, pertobatan menempati posisi yang saya sebut, pertama dari bawah, dasar dari atas. Posisi pertobatan sebagai yang pertama dan dasar mengindikasikan betapa pertobatan merupakan prasyarat dan landasan bagi kemungkinan terwujudnya persekutuan dan solidaritas. “Pertobatan melahirkan persekutuan persaudaraan karena memampukan kita untuk memahami Kristus sebagai kepala Gereja, tubuh-Nya; pertobatan menuntut solidaritas, karena menyadarkan kita bahwa apa saja yang kita lakukan untuk kaum miskin, kita lakukan untuk Kristus sendiri” (EA, No. 26).

Hemat Peter C. Phan (teolog Katolik Amerika, berasal dari Vietnam, 1943-), pertobatan memberikan keintiman bagi persekutuan dan autentisitas bagi solidaritas. Tanpa pertobatan, persekutuan hanya akan menjadi sekadar perasaan empati dan simpati, cita rasa kerekanan dari pribadi-pribadi yang sependapat.

Tanpa pertobatan, solidaritas tentu akan menghadapi risiko direduksi hingga menjadi sekadar sharing kepentingan bersama yang mengikatsatukan anggota sebuah perkumpulan sukarela non-profit atau sebuah perusahaan bisnis.

Pertobatan: Roh Bagi Misi

Pertobatan merupakan hal yang hakiki dan fundamental bagi kehidupan Kristen, umumnya, dan menjadi lebih penting lagi bagi misi, khususnya, demikian Phan. Pada bagian ini, saya sekaligus memperkenalkan refleksi Phan tentang pertobatan. Phan yakin, Kerajaan Allah yang menentukan Gereja dan misinya, bukan sebaliknya. Dalam terang kaji ulang secara radikal atas misi, perlu diuji kembali konsep pertobatan dan tempatnya dalam misi.

Pertama, pertobatan sebagai “berbalik” kepada Yesus Kristus dan melanjutkan misi-Nya. “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk. 1:15). “Sesal/tobat” dan “percaya” ditampilkan sebagai dua tindakan yang berbeda, tetapi bukan terpisah. Keduanya dikaitkan dengan kata penghubung dan untuk menunjukkan bahwa keduanya merupakan proses tunggal, di dalamnya “penyeselan” membawa kepada “iman”. Proses rumit ini kemudian disebut “pertobatan”.

Kedua, pertobatan sebagai “berbalik” kepada Yesus. Meskipun Ia sendiri Rabi, Yesus duduk semeja makan dengan para pemungut cukai dan pelacur, dan dengan itu merendahkan diri-Nya, tetapi pada saat dan dengan cara yang sama, Ia mempresentasikan kepada mereka (juga kita) betapa Allah mengampuni tanpa syarat. Meskipun Ia Rabi, Yesus berani melanggar hukum haram dan menyentuh serta membiarkan Ia disentuh oleh para perempuan, wanita-wanita yang sedang mendapat haid juga yang berdosa, untuk mengangkat mereka, meyakinkan mereka bahwa mereka harus diperlakukan secara bermartabat karena Kerajaan Allah telah datang untuk semua. Maka, hemat Phan, pertobatan mereka ialah saat mereka “berbalik” kepada Yesus. Ia seakan menjadi rumah tempat mereka pulang, seakan samudera mahaluas tempat pelbagai air dari aneka anak sungai bersatu padu.

Ketiga, pertobatan berarti melanjutkan pelayanan Yesus. Aspek kedua dari pertobatan, demikian Phan, ialah melanjutkan pelayanan Yesus. Panggilan menjadi murid Yesus serentak merupakan sebuah perutusan kepada banyak orang dengan tujuan tunggal, mewartakan bahwa Kerajaan Allah hampir tiba. Ia mengutus para murid-Nya untuk sebuah misi, untuk mengajarkan bahwa Kerajaan Allah sungguh sudah dekat, untuk menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, menahirkan orang kusta, serta mengusir setan (bdk. Mat. 10:7-8). Bahkan setelah kebangkitan-Nya, Ia memerintahkan untuk pergi, mengajar semua bangsa dan mewartakan Injil kepada seluruh ciptaan, membaptis mereka dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus (Mat. 28:19; Mrk. 16:15).

Pra-Paskah Menuju Paskah

Membicarakan pertobatan dalam/selama masa pra-paskah tentu amat relevan serentak tidak berarti bahwa tema ini hanya aktual selama pra-paskah saja. Kita telah sekali lagi memasuki masa tobat tahun ini dan kini tengah memaknainya. Mengapa secara kronologis, liturgi Gereja menempatkan masa pra-paskah sebelum paskah? Mengapa tobat mesti lebih dahulu baru sesudah itu sukacita? Mengapa kita lebih dahulu menerima abu sebagai tanda keberdosaan dan ketakberdayaan sebelum bernyanyi halleluya bersama Kristus yang bangkit mengalahkan maut? Sekali lagi, pertobatan merupakan hal yang hakiki dan fundamental bagi kehidupan Kristen, umumnya, dan menjadi lebih penting lagi bagi misi, khususnya.

Kita mesti terlebih dahulu menepuk dada dengan penuh penyesalan dan sadar bahwa kita hanyalah debu di alas kaki Tuhan, sebelum kita menerima mandat demi tugas perutusan. Kita mesti terlebih dahulu mengoyakkan hati kita yang degil, baru sesudah itu kita pergi mewartakan Kerajaan Allah yang telah nyata. Kita mesti terlebih dahulu berbalik kepada Yesus, untuk kemudian dengan semangat yang bernyala-nyala seperti para rasul dan martir, melanjutkan karya pelayanan Kristus.

Jika setiap kita adalah misionaris dan jika misi berarti kesediaan untuk menerobos batas dan tinggal dalam keanekaragaman, pertobatan hendaknya menjadi yang paling awal membakar hati kita. Sebab, misi tanpa pertobatan pada hakikatnya adalah nihil. Misi tanpa pertobatan bukanlah misi.

Selamat mempersiapkan diri menuju Paskah 2022, di tengah perang dan pandemi ini!*

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Reinard L. Meo

 

Oleh: Reinard L. Meo

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai