Dekolonisasi Pikiran

Spread the love

Media sosial Indonesia begitu riuh setiap kali ada kasus besar, terutama yang melibatkan unsur agama atau unsur primordial lain. Pembelahan terjadi antara yang mendukung dan yang mengecam.

Antara yang percaya bahwa itu fakta dan yang meyakini bahwa ada konspirasi, kriminalisasi, viktimisasi dan sasi-sasi yang lain. Tetapi bukan Vikinisasi oleh Prasetyo.

Pembelahan ini, misalnya, dapat terlihat dalam kasus pencopotan baliho FPI atas Perintah Pangdam Jaya tempo hari. Baliho hanya satu kasus dari sekian kasus di mana pendapat publik terbelah.

Ada banyak kasus lain yang menunjukkan betapa mudahnya pendapat-pendapat berseberangan berkembang dan sulit didamaikan.

Apa yang terjadi sebenarnya? Pertama mungkin cara berpikir kita yang cenderung meloncat. Kesimpulan di awal, pemeriksaan fakta di akhir.

Amati saja cara kita berargumen. Jadi, singkatnya yang bisa disamakan dengan frasa Ingris So dan In short, adalah frasa yang mengirim pesan bahwa pembicara akan sampai ke kesimpulan.

Frasa di atas muncul di akhir sebuah argumen lisan atau tertulis. Setelah panjang lebar menyajikan fakta dan argumen, pembicara kemudian menandai transisi ke kesimpulan dengan mengatakan, Jadi atau singkatnya.

Misalnya, saat berargumen tentang demokrasi, pembicara menarik pendengar dengan frasa, “Jadi, berdasarkan fakt-fakta di depan, saya menyimpulkan Indoenesia adalah negara demokrasi prosedural”.

Dalam obrolan harian maupun diskusi formal, cukup sering orang Indonesia menempatkan jadi atau singkatnya di awal. Ketika menjawab pertanyaan, dimulai dengan “Jadi”. Kesimpuan dulu, penjelasan belakangan.

Struktur berpikir ini adalah struktur berpikir ‘mistis’, mulainya dari keyakinan, kepercayaan, dugaan.

Sebaliknya struktur berpikir empiris, fakta diperiksa dulu sebelum kesimpulan tentang satu peristiwa diambil.

Saat hasil sawah turun, cara berpikir empiris akan memeriksa volume air, kondisi tanah, keadaan hama atau penyakit, baru disimpulakan sebab panenan menurun.

Cara berpikir mistis meloncat, tidak perlu memeriksa fakta penyebab, tetapi mengambil kesimpulan. Misalnya adanya roh-roh marah dan karena itu perlu sesajen.

Pembelahan opini dalam medsos, dugaan saya berasal dari cara berpikir ‘mistis’, anti fakta, anti penalaran, bicara dulu, periksa fakta kemudian. Mengapa ini terjadi?

Mungkin saja pikiran kita sudah lama dikolonisasi (baca: diduduki dan dikuasai) oleh berbagai macam kepercayaan, keyakinan dan prasangka.

Keyakinan dan prasangka tentang yang liyan (the other). Tentang orang lain, agama lain, suku lain, profesi lain.  Kepercayaan ini menjadikan pikiran  sebagai koloni.

Kalau kolonialis barat menguasai tanah jajahan dan kekayaan alam. Kepercayaan dan keyakinan menguasai, mengendalikan ‘tanah’ pikiran.

Kepercayaan dan keyakinan menjadi bingkai di mana manusia memandang dan menilai orang lain. Kepercayaan positif akan menghasilkan pandangan positif.

Sebaliknya, jika negatif akan menghasilkan persepsi negatif tentang yang liyan. Yang lain buruk adalah ketika bingkai itu mencapai tahap demonisasi.

Orang lain dilihat sebagai demon, sebagai setan dan aku adalah yang suci, yang mewakili Tuhan. Pada tahap ini pikiran-pikiran penuh koloni prasangka membenarkan kekerasan atas nama yang suci.

Baca Juga: Budak Sosmed

Yang suci melawan demon, padahal kekerasan adalah manifestasi pikiran demonik.

Kolonisasi pikiran terjadi secara tidak sadar dan direproduksi lewat pendidikan, sosialisasi dalam keluarga, biografi sosial yang dipelihara dan direproduksi lewat narasi.

Narasi bisa berupa hikayat, dongeng, lagu, drama atau seni tradisional lain. Narasi ini bisa berasal dari pertemuan penuh konflik di masa lalu. Sebagai contoh, narasi dan imajinasi orang Aceh tentang Jawa sangat dipengaruhi oleh pengalaman mereka dengan tentara KNIL suku Jawa yang terlibat dalam perang Aceh melawan Belanda. Narasi ini penuh pelabelan yang tidak merepresentasikan karakter semua orang Jawa dan sebaliknya.

Kolonialisme mewarisi colonized mind, pikiran yang terkolonisasi. Misalnya prasangka bahwa orang berkulit  hitam itu tidak beradab, terbelakang, bodoh adalah pandangan yang direproduksi dari kolonialisme Eropa di Afrika dan Asia.Cara berpikir ini memengaruhi cara kita melihat suku bangsa yang berkulit berwarna. Di satu pihak kita teriak-teriak anti kolonialisme, pada saat bersamaan cara berpikir kolonialis direproduksi.

Warisan kolonialisme lain, misalnya soal ukuran cantik. Yang cantik itu ‘putih non-noni Belanda’. Konsep cantik ini direproduksi oleh industri kecantikan. Produk-produk pemutih kulit laku keras. Padahal Luciana nona Bajawa yang sawo matang  juga  cantik dan bikin hati tak karuan.

 Eropa putih adalah ras unggul, yang berwarna itu ‘uncivilized’ karena itu boleh ditangkapi, dijual dan di-peradab-kan secara paksa melalui sekolah-sekolah Eropa. Di Australia ‘putih-nisasi’ menyebabkan satu generasi orang Aborigin kehilangan asal-usul mereka.

Baca Juga: Siapa yang Mesti Bertanggungjawab dengan Berita Palsu

Kembali ke pembelahan opini di medsos yang tajam. Pembelahan ini telah sampai ke pilihan politik, ke dunia nyata, ke orientasi pergaulan. Dampaknya sangat berbahaya bagi kesatuan kita sebagai orang Indonesia. Akarnya bisa saja pikiran kita yang sudah terkoloni oleh prasangka pada suku lain, agama lain, golongan politik lain.

Karena itu, yang dibutuhkan adalah de-kolonisasi pikiran. Ketika ada peristiwa, yang diperlukan adalah diam dan mengecek fakta sebentar, uji silang sumber, bertanya pada diri anda sendiri apakah anda yakin pada kebenaran berita ini atau tidak. Apakah perlu menyebar info itu atau tidak?

Singkatnya, membaca lebih jauh, bergaul lebih jauh, piknik lebih jauh adalah cara yang sangat membantu untuk melakukan de-kolonisasi pikiran.

Sekian, dan Jangan-jangan esai ini juga berangkat dari pikiran yang dikolonisasi.

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

 

Oleh: Nikolaus Loy Wea

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Nikolaus Loy Wea

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai