Ekspansi Kapital dan Disorientasi Koperasi (2)

Spread the love

[alert type=white ]Baca Bagian 1 di Sini[/alert]

Merujuk pada hal-hal di atas, koperasi sejatinya mempunyai dua asas utama yakni suatu usaha bersama, dan berasaskan kekeluargaan (Hatta 2015:22). Usaha bersama dikelola dalam spirit kekeluargaan. Sebab, anggota koperasi adalah anggota keluarga dalam pengertian tegas.

Selain dua hal tersebut, Hatta (2015:161) menganjurkan 5 sikap penting untuk menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Kelima sikap dimaksud adalah: 1) Rasa solidaritas dan kesetiakawanan; 2) Individualitas yang tahu akan harga diri. Term individualitas ini dibedakan dengan individualisme menurut Hatta; 3) Sikap oto-aktiva yang dimiliki tiap-tiap orang demi kepentingan bersama; 4) Mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan diri; 5) adanya rasa tanggungjawab moril dan sosial.

Gemilangnya konsep Hatta tentang koperasi sebagai sarana mencapai kesejahteraan bagi bangsa kita yang kondisi perekonomiannya lemah kala itu, tidak terlepas dari kritik pedas yang dikemukakan D.N Aidit.

Aidit menyebut ide yang ditawarkan Hatta sebagai propaganda sesat. Bahkan, pandangan Hatta (2015:17) yang menegaskan bahwa “pada koperasi tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang kerja sama untuk menyelenggarakan keperluan bersama”, adalah sesuatu yang patut dikritik.

Dikatakan demikian karena koperasi yang dibangun di atas konsep Hatta adalah koperasi yang berciri kapitalistik. Koperasi demikian akan dikuasai oleh kapitalis birokrat, didominasi oleh para tuan tanah, dan dideterminasi oleh para lintah darat. Koperasi macam ini tidak akan mampu menyejahterahkan semua anggota. Karena itu, Aidit menawarkan suatu koperasi berparadigma sosialis yang dapat menciptakan masyarakat adil dan makmur, serta mencegah penghisapan manusia atas manusia lain (Aidit 1963).

Koperasi sosialis menurut Aidit memiliki beberapa manfaat dan prinsip-prinsip dasar. Ada dua menfaat koperasi. Pertama, koperasi dapat mempersatukan para pekerja. Aidit menulis (1963: 14): “[k]operasi dapat mempersatukan Rakjat pekerdja menurut lapangan penghidupannja masing2 dan dapat menghambat proses diferensiasi atau ter-petjah2nja produsen2 ketjil; … [D]engan persatuan dan kerdjasama Rakjat pekerdja dapat berusaha mengurangi penghisapan tuantanah [sic], lintahdarat [sic], tukang idjon, tengkulak dan kapitalis2 atas diri mereka”.

Kedua, koperasi dapat meningkatkan produksi. Aidit menulis (1963: 14): “koperasi djuga dapat digunakan untuk meningkatkan produksi, jang berarti dapat menambah penghasilan atau pendapatan terutama bagi para angotanja. Dan jang merupakan segi jang penting lagi adalah bahwa pengalaman2 Rakjat dalam hidup berkoperasi sekarang akan sangat berguna bagi kehidupan koperasi2 tingkat tinggi, jaitu koperasi2 jang bersifat sosialis dimasa (sic) jang akan datang”.

Melalui dua menfaat tersebut, diharapkan bagi para anggota koperasi agar menjaga jangan sampai koperasi berubah menjadi badan-badan kapitalis yang dipakai oleh tuan tanah dan oleh kelompok lainnya.

Prinsip dasar koperasi (sosialis) adalah kerjasama antara anggota yang memiliki kondisi perekonomian yang sama. Karena itu, satu koperasi tidak diperkenankan menampung orang-orang dari kelas sosial-ekonomi yang berbeda. Dengan tegas Aidit menyatakan bahwa tampak keliru jikalau koperasi menampung orang yang memiliki kepentingan kelas yang berbeda-beda dalam masyarakat.

Baca Juga: Ekspansi Kapital dan Disorientasi Koperasi (1)

Ia menulis (1963: 17): “Dalam satu koperasi kredit umpamanja adalah keliru djika dihimpun lintahdarat dan tanimiskin ber-sama2, karena kepentingan mereka sangat berbeda, bahkan bertentangan”. Lebih lanjut ia mengatakan: “Kepentingan jang berbeda dan bertentangan daripada  pengusaha peternakan  dan buruh peternakan tidak dapat dipersatukan dalam satu koperasi peternakan”.

Koperasi memiliki 4 prinsip pokok yakni, pertama, koperasi adalah lembaga berkumpulnya orang-orang, dan bukan tempat kumpulan kapital. Kedua, anggota kelompok memiliki hak yang sama dalam koperasi. Ketiga, menjadi seorang anggota atau tidak adalah sesuatu yang bersifat sukarela. Keempat, masing-masing anggota mempunyai tujuan yang sama dalam koperasi dan karena itu pelaksanaan tujuan dimaksud membutuhkan bantuan sesama anggota (Aidit 1963:27).

Perbedaan pandangan antara Hatta dan Aidit, sebagaimana ditunjukkan di atas, sampai pada simpulan bahwa Hatta menyatukan semua orang dengan latar kepentingan, bahkan kelas yang berbeda ke dalam koperasi yang satu dan sama. Sebaliknya, Aidit pada pihak lain, menolak pandangan Hatta, sembari mengajukan alternatif koperasi yang menarik distingsi kepentingan dan kelas yang berbeda bagi anggota koperasi.

Tanpa bertendensi memilih perspektif manakah yang perlu dikembangkan, tulisan ini adalah semacam diskursus awal, yang membuka perdebatan baik di ranah teoretik maupun praktik, dengan tujuan mendasar untuk membongkar praktik koperasi yang menguntungkan para elit koperasi dan merugikan anggota koperasi.

Yang kerapkali ditemukan dalam masyarakat adalah banyak orang menggunakan nama koperasi dalam usahanya. Namun, modus penggunaan itu hanya bagi pribadi dan kelompoknya. Maka, tidak mengherakan jika banyak koperasi yang praktiknya mirip bank kredit dan praktik gelap memberi bunga yang tinggi kepada anggota yang meminjam uang koperasi.

Koperasi mesti dijadikan sarana mediasi antara public sphere dan private sphere. Artinya, koperasi dapat memenuhi kepentingan pribadi, dan serentak memajukan kepentingan bersama para anggota. Koperasi dapat dijadikan mediasi untuk memotong mata rantai antara peminjam dan sumber dana/modal.

Sebagai milik bersama yang berasaskan kekeluargaan, dua hal berikut ini perlu dikembangkan di koperasi. Pertama,  sikap memiliki (sense of belonging) koperasi. Kedua, menyelenggarakan pendidikan koperasi bagi anggota, agar masing-masing anggota koperasi bertanggungjawab atas keberlanjutan masa depan koperasi.  

Intervensi Koperasi Alternatif Dalam Bingkai Bourdieu

Koperasi alternatif yang dibentuk untuk mempersatukan anggota dan meningkatkan produksi, atau jika diperluas sebagai koperasi non-kapitalis, dapat diintervensi dengan konsepsi habitus yang dihubungkan dengan modal, ranah dan praksis Pierre Bourdieu. Tentu, implementasi hal-hal teoretik dan paradigmatik ke dalam hal-hal teknis dan praktik tidak mudah. Apalagi, secara epistemik, posisi Bourdieu adalah berusaha untuk menjembatani ketimpangan teoretik yang sejak lama tidak terdamaikan, antara subyektivitas versus obyektivitas, kesadaran dan ketidaksadaran, antara masyarakat dan individu, dan antara struktur dan agen.

Saya menyadari bahwa proses implementasi akan mengalami benturan sebab terdapat kontradiksi-kontradiksi yang belum sepenuhnya diatasi ketika menjadikan kelas pekerja sebagai subyek koperasi. Posisi epistemik Bourdieu perlu dicermati secara serius, sebab pemikir Perancis ini dipengaruhi oleh banyak pemikir besar kala itu, entah Marx maupun Weber, dalam melihat kelas.

Tanpa bermaksud untuk mengabaikan perdebatan teoretik dan membongkar kontradiksi implementasi di ranah teoretik secara lebih mendalam, berikut ini dipaparkan secara ringkas empat konsep kunci Bourdieu yang dapat membentuk tindakan agen sosial anggota koperasi.

Pierre Bourdieu menelorkan sebuah pemikiran tentang habitus. Rumus umum habitus adalah (Habitus x Modal) + Ranah = Praktek. Habitus merupakan subyektivitas dalam seluruh bangunan filosofis Bourdieu. Ia menggunakan istilah “struktur yang menstrukturkan, dan struktur yang distrukturkan. Konsep ini dimaksudkan untuk melampaui dikotomi perdebatan antara struktur versus agensi, obyektif versus subyektif, doxa versus episteme, dan kesadaran versus ketidaksadaran.

Bagi Bourdieu, habitus merupakan suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah. Ia adalah hasil belajar yang panjang melalui pengalaman, pengasuhan, bermain dan pendidikan dalam arti luas. Habitus berperan sebagai basis generatif bagi praktek-praktek yang terstruktur dan terpadu secara obytektif. Habitus mengandaikan adanya sebuah proses internalisasi di dalam dan terhadap lingkungan sosial yang membentuk sikap dan tindakan sosial. Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa habitus adalah proses ‘distrukturkan’ oleh dunia sosial, dan proses ‘menstrukturkan’ dunia sosial. Habitus terjadi bukan hanya pada orang perorangan melainkan juga pada kelas tertentu (Haryanto 2014:29-36; Jenkins 2010:106-123).

Selain habitus, ada pula konsep modal. Bagi Bourdieu modal terdiri atas modal ekonomi (marxian), modal kultural, modal sosial, dan modal simbolik. Modal ekonomi terdiri atas sarana produksi dan finansial. Modal kultural meliputi disposisi pikiran dan pembawaan fisik, benda-benda budaya (tulisan, monumen dan  lukisan, dll), dan modal kultural yang terinstitusi sebagai misa lewat pendidikan. Modal sosial merupakan sumber daya aktual dan potensial dalam jaringan sosial. Modal sosial melahirkan ‘kewajiban sosial’. Modal simbolik yang meliputi gelar, jabatan, nama, dan sebagainya. Tiap modal (ekonomi, kultural, sosial) dapat berfungsi sebagai modal simbolik.

Ranah dalam pandangan Bourdieu adalah arena atau sistem sosial yang terstruktur dan terorganisasi oleh individu atau institusi. Di dalam ranah terdapat relasi dominasi, subordinasi, dan bahkan ekuivalensi antar aktor sosial yang dipengaruhi oleh akses terhadap sumber daya modal yang dipertaruhkan di dalam arena (Jenkins 2010: 125). Sedangkan, praksis merupakan produk dari relasi antara habitus dan arena/ranah. Praksis ini melibatkan sejumlah inter-relasi antara habitus dan ranah (Haryanto 2014).

Pertemuan antara habitus, ranah, modal dan praksis dapat menghasilkan tindakan agen sosial. Tindakan sosial bagi Bourdieu terstruktur oleh lingkungan sosial, dan serentak tindakan sosial itu menstrukturkan lingkungan sosial tertentu. Ini berarti bahwa tindakan agen sosial pertama-tama bukan disebabkan oleh determinasi subyek terhadap struktur, dan bahkan determinasi total struktur terhadap subyek. Sebaliknya, tindakan agen sosial merupakan hasil dialektika antara subyek dan struktur. Selain itu, tindakan sosial dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat berupa persepsi diri terhadap lingkungan sosial serta evaluasi agen atas realitas sosial berdasarkan hasil internalisasi pemikirannya. Faktor eksternal meliputi modal dan ranah. Modal dapat dipakai sebagai sumber daya untuk melakukan tindakan sosial, dan ranah sebagai tempat dimana tindakan sosial itu berlangsung (Haryanto 2014:54-55).

Koperasi alternatif sebagai koperasi yang meng-counter lajunya koperasi kapitalis dapat dibentuk menjadi sebuah praxis, dengan modal yang disiapkan oleh koperasi sendiri (modal ekonomi, sosial, kultural, simbolik), yang berlangsung dalam ranah, dan pada akhirnya menjadi sebuah habitus. Koperasi alternatif yang telah menjadi sebuah habitus dapat dijadikan pilot project untuk meningkatkan ekonomi masyarakat kecil dan digunakan untuk menekan laju ekspansi badan-badan keuangan kapitalis yang memiskinan.

Ekspansi kapital di Kupang khususnya dan NTT umumnya akan terus berlangsung ke depan. Kapital swasta akan memonopoli usaha-usaha perekonomian yang dapat memvalorisasi dirinya menjadi nilai lebih. Ironisnya dalam kondisi demikian, koperasi-koperasi alternatif masih mencari bentuk yang ideal, sementara itu, koperasi mainstream jarang mengambil-alih pemanfaatan ruang bagi kapital koperasi yang digunakan untuk kesejahteraan anggota.

Koperasi perlu mengisi ruang kosong untuk menggantikan peran mall, hotel dan Alfamart. Jika hal itu tampak rumit dilaksanakan, paling tidak, dititik awal, ia mulai mengambil peran sebagaimana peran yang dimainkan kapital swasta selama ini. Hal ini tentu saja, dimaksudkan untuk mencegah monopoli pemanfaatan ruang oleh kapital asing yang berkolaborasi dengan kapital domestik, dan yang difasilitasi oleh negara.

Pada akhirnya, membiarkan ruang investasi dimonopoli oleh kapital swasta, maka publik sebetulnya sedang membiarkan kapital terus mengalir ke kantong-kantong elit swasta. (Habis)

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

 

Oleh: Didimus Dedi Dhosa

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Didimus Dedi Dhosa

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Ekspansi Kapital dan Disorientasi Koperasi (2)

  1. Terima kasih atas tulisan ini. Analisinya sangat keren.

    Maunya nanya, gmana cranya kita krim artikel opini ke sini?

    Berapa ketentuan jumlah kata per artikel?

Komentar ditutup.