Kusut Nalar BPIP dan Alasan Pembubarannya (1)

Spread the love

Pengantar

Segala hingar bingar kegaduhan yang keblinger soal Pancasila berpangkal pada suatu keyakinan buta bahwa Pancasila adalah ideologi Negara.

Oleh karena itu, mengajukan anti-tesis sebaliknya, bahwa Pancasila bukan ideologi Negara dan bahwa segala macam lembaga Negara yang didirikan atas nama Pancasila sebagai ideologi Negara mesti dibubarkan, merupakan solusi awal untuk menyelesaikan kegaduhan itu.

Dengan mengurai kusut nalar pendiriannya dan mengajukan bukti ilegitimitasnya, tulisan ini tiba pada kesimpulan bahwa BPIP harus dibubarkan.

Gaduh Pancasila yang Keblinger

Pada Minggu (17/5/2020), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerja sama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID – 29, Indika Foundation, dan GSI Lab menggelar konser virtual solidaritas bertajuk “Berbagi Kasih Bersama Bimbo, Bersatu Melawan Korona.” Dalam konser itu, Presiden Jokowi, yang membuka konser via video conference, melelang “Si Gesits”, sebuah sepeda motor listrik pertama.

Pastor Katolik, yang menjadi Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP, Romo Antonius Benny Susetyo mengatakan, konser virtual, yang dikemas mirip dengan konser Didi Kempot, itu bertujuan untuk mengumpulkan donasi untuk masyarakat terdampak virus corona, yang akan disalurkan lewat Kitabisa.com.

Konser amal ini, yang kemudian berhasil menghimpun dana mencapai Rp 4.243.310.050,00, diwarnai aksi “prank”,—demikian istilah dari Ketua MPR Bambang Soesatyo—dari seorang buruh di Jambi bernama M. Nuh.

Mengaku sebagai pengusaha di Jambi, M. Nuh mengajukan penawaran motor listrik Jokowi sebesar Rp2,25 Miliar. Saat ditagih panitia konser, tentu saja M. Nuh tak sanggup membayarnya. Riuh rendah kontorversi konser kemudian merebak di jagat maya.

Gaduh Pancasila keblinger berikutnya adalah Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang berpuncak pada aksi pembakaran bendera PDI-P dan bendera berlogo palu arit oleh para demonstran kontra RUU HIP.

Diberitakan, kalau para demonstran memprotes isi dari RUU HIP yang dianggap dapat mengubah nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan marah terhadap PDI-P yang dianggap menginisiasi lahirnya RUU kontroversial itu.

Tidak berhenti di sana, Pemerintah sekarang riuh menggebu-gebu mengajukan RUU BPIP, sebagai ganti RUU HIP yang ditolak keras berbagai lapisan masyarakat.

Untuk menenangkan senewen dan kemarahan kelompok Kanan, Pemerintah berjanji akan mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme di dalam RUU BPIP.

Artikel ini tidak fokus pada riuh rendah kontroversi konser, mulai dari isu keterlibatan Pastor Katolik dalam politik praktis dengan menduduki jabatan eksekutif tertentu (menjadi staf khusus, misalnya), transparansi anggaran, ketidakpatuhan protokoler kesehatan terkait Covid – 19, sampai komedi-tragedi M. Nuh.

Sebaliknya, Penulis mau persoalkan basis legitimasi BPIP dan kekusutan nalar pendiriannya.

Pertanyaan pokok yang hendak dijawab adalah apa basis legitimasi BPIP?

Penulis berpegang pada argumen utama, yaitu BPIP sama sekali tidak punya basis legitimasi etis dan pragmatis yang kokoh dan karena itu mesti dibubarkan

Ilegitimitas BPIP

Semua lembaga Negara mesti punya basis legitimasi. BPIP adalah lembaga Negara. BPIP mesti punya basis legitimasi.

Akan tetapi, BPIP tidak punya basis legitimasi. Segala lembaga Negara yang tak punya basis legitimasi mesti dibubarkan. BPIP harus dibubarkan.

Selanjutnya adalah bagaimana membuktikan premis bahwa BPIP tidak punya basis legitimasi?

Pertama-pertama, kita perlu ingat, semua Negara modern dibangun di atas dasar dan syarat-syarat yang tak bisa dijaminnya sendiri. Maka, Negara butuh semacam institusi moral untuk menjamin dasar keberadaannya.

Mantan Presiden Mahkamah Konstitusi Jerman Ernst-Wolfgang Bockenferde sampaikan adagium ini: “Negara hidup dari syarat-syarat yang tak dapat diciptakannya sendiri.” Syarat-syarat itu adalah moralitas substansial yang membentuk akhlak warga.

Di satu sisi, Negara butuh warga yang bermoral agar dapat menata sebuah kehidupan bersama dan membangun jaringan solidaritas; Solidaritas tak dapat ditenun kalau sebuah komunitas diisi para egois.

Namun, di lain sisi, kekuasaan Negara tidak boleh menciptakan standar moralitas sendiri. Sebab, jika hal itu terjadi, maka Negara akan terjerembab dalam lubang totalitarianisme yang membonsai ranah privat dan kebebasan warga Negara (Otto Gusti, 2014).

Namun, selanjutnya, kedua, kita juga perlu ingat, Negara butuh legitimasi agar ia dapat menjalankan kekuasaannya secara efektif dan sah. Tanpa legitimasi, Negara tak ubahnya organisasi preman yang menduduki teritori tertentu.

Hal legitimasi Negara ini dirumuskan secara tepat oleh Aurelius Agustinus, “Kerajaan-kerajaan tanpa keadilan apa itu selain gerombolan-gerombolan perampok? Oleh karena itu, halus dan benar jawaban yang diberikan oleh seorang perampok laut kepada Iskandar Agung, sewaktu sang raja bertanya bagaimana dia itu sampai berani membuat laut menjadi tidak aman. Maka orang itu dengan bangga dan terbuka mengatakan: ‘Dan bagaimana engkau sampai berani membuat seluruh bumi menjadi tak aman? Memang, aku dengan perahu kecilku disebut perampok, tetapi engkau dengan angkatan laut besar disebut panglima yang jaya.'” (De Civitate Dei IV, dikutip dari Franz Magnis-Suseno, 1999, p. 193).

Baca Juga: Menerjemahkan Pancasila Sebagai Konsensus Lintas Batas Di Hadapan Tantangan Bangsa

Tanpa keadilan, kata Agustinus, Negara merosot menjadi sarang penyamun, “remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia? Quia et latcrocinia quid sunt nisi parva regna? Manus et ipsa hominum est, imperio principus regitur, pacto societatis, astringitur, placiti lege praede dividitur“—”karena itu bilamana keadilan dihapus apakah itu kerajaan/negara kalau bukan sarang besar penyamun? Karena, bahkan sarang penyamun pun tidak lain dari suatu kerajaan kecil? Gerombolan penyamun adalah rombongan manusia, diperintah oleh perintah pimpinannya, diikat oleh perjanjian sosial, rampokan dibagi menurut hukum yang disetujui?” (De Civitate Dei, Book VI, hlm. 16, dikutip dari Daniel Dhakidae, 2015, p. 31).

Baik gerombolan perompak laut maupun satuan angkatan laut Iskandar Agung sama-sama membunuh. Namun, kekuasaan membunuh gerombolan perompak laut tak legitim karena tak punya basis legitimasi etis dan pragmatis, sedangkan kekuasaan Kerajaan Iskandar Agung beserta alat penggunaan kekerasan fisik seperti angkatan laut besar dianggap legitim karena punya basis legitimasi etis dan praktis.

Saat mendefinisikan Negara sebagai satu-satunya institusi yang berwenang memaksakan penggunaan kekerasan fisik, Max Weber mungkin saja membaca secara teliti analisis politik Agustinus tentang legitimasi Negara dalam De Civitate Dei di atas.Badan Pembinaaan Ideologi PancasilaKarena basis legitimasi praktis dan etis itulah, para perompak disebut pembunuh nan kejam, sedangkan para tentara sebuah Negara dipanggil pahlawan penuh tanda jasa. 

Secara pragmatis, basis legitimasi Negara adalah aneka faedah pendirian Negara yang dengan mudah bisa diukur dengan standar-standar objektif.

Secara etis, basis legitimasi Negara yang membenarkan manusia berada di bawah institusi kekuasaan, aturan-aturan abstrak, dan birokrasi tanpa jiwa diajukan oleh berbagai sudut pandang berikut ini (Otto Gusti, 2013).

Pertama, dari sisi tilik hukum kodrat, basis legitimasi Negara didekati dengan dua cara berbeda. Di satu sisi, Negara dipandang tak sesuai dengan kodrat alamiah manusia, sengaja diciptakan, dan karena itu mesti dihapus atau paling kurang diperbaiki kebobrokannya. Di sisi lain, Negara dianggap legitim karena menjalankan prinsip keadilan fundamental melalui penetapan undang-undang atau hukum.

Moralisme hukum a la hukum kodrat ini mendapat tentangan dari positivisme hukum, yang berpandangan bahwa konsep dan validitas hukum harus dirumuskan terlepas dari penilaian moral dan penilaian lainnya.

Thomas Hobbes merangkum pandangan positivisme hukum dalam kalimat, “Non veritas, sed auctoritas facit legem“,—bukan kebenaran, tetapi kekuasaanlah yang membuat hukum.

Kedua, dari sisi tilik individualisme, basis legitimasi Negara adalah pemenuhan hak-hak dasar individu. Sementara itu, dari sisi kolektivisme, basis legitimasi Negara adalah sebagai sarana perwujudan kesejahteraan kolektif.

Ketiga, dari sudut pandang liberalisme, basis legitimasi keberadaan Negara adalah jaminan atas kebebasan individual.

Sementara itu, menurut sudut pandang perfeksionisme, basis legitimasi Negara adalah pencapaian keadaan sempurna yang diinginkan antara lain kondisi sosial yang sempurna, model kekuasaan yang sempurna, identitas manusia yang sempurna, dan perfeksionisasi karakter tertentu dari warga Negara sebagai individu.

Walapun terdapat aneka teori legitimasi Negara, sejarah filsafat politik juga menunjukkan adanya teori politik yang tidak beri alasan mengapa Negara harus ada.

Marxisme, misalnya, menganggap Negara sebagai kejahatan yang harus dipilih dalam aliran sejarah kekuasaan dan sosial kemanusiaan. Negara sebagai salah satu realitas politis adalah peristiwa yang niscaya terjadi berdasarkan tahap alur logika sejarah yang ketat.

Pada akhirnya, demikian diagnosis ilmiah Marxisme, kapitalisme akan ambruk dan masyarakat komunis sebagai tujuan akhir sejarah akan terbentuk.

Dengan terlebih dahulu memerhatikan dua pertimbangan di atas, yaitu bahwa Negara pada dasarnya dibangun di atas basis legitimasi yang rapuh dan bahwa karena itu perlu diciptakan alasan etis dan pragmatis sebagai basis legitimasinya, sekarang saatnya kita membedah basis legitimasi BPIP untuk membuktikan sebaliknya: bahwa BPIP sesungguhnya tak punya basis legitimasi. Dengan kata lain, BPIP legal, tetapi ilegitim.

Dalam laman resminya disebutkan bahwa BPIP merupakan “lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi Negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.” Dijelaskan lebih lanjut “BPIP merupakan revitalisasi dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPIP).”

Wacana pembentukan BPIP sudah bergulir sejak 2016 saat Presiden Jokowi membentuk Unit Kerja Presiden Bidang Pemantapan Pancasila. Menurut laporan TEMPO seperti dilansir Tirto, lembaga setingkat menteri dibentuk langsung di bawah presiden dengan tugas melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan mengendalikan penerapan nilai Pancasila dengan sasaran implementasi meliputi sekolah, lembaga pemerintahan, hingga organisasi kemasyarakatan.

Dalam laman resmi BPIP dijelaskan, “Dalam rangka aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pemerintah Republik Indonesia memandang perlu dilakukan pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh penyelenggara negara yang terencana, sistematis, dan terpadu. Pada 19 Mei 2017, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Namun demikian, UKP-PIP dirasa perlu disempurnakan dan direvitalisasi organisasi maupun tugas dan fungsinya dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 perlu diganti dalam rangka penguatan pembinaan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Atas dasar pertimbangan tersebut, pada tanggal 28 Februari 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Dengan revitalisasi dari bentuk unit kerja menjadi bentuk badan, diharapkan BPIP akan tetap existing walaupun pemerintahannya terus berganti.” (Bersambung)

[alert type=white ]Baca Bagian 2 di Sini[/alert]

*) Gagasan kolumnis ini adalah sepenuhnya tanggungjawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi

Oleh: Silvano Keo Bhaghi

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Gagasan atau tulisan menarik lainnya dari Silvano Keo Bhaghi


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Kusut Nalar BPIP dan Alasan Pembubarannya (1)

  1. Saya setuju dengan pendapat penulis yang mengatakan bahwa tidak ada legitimasi dalam pembentukan BPIP. Tapi perlu dilihat kembali ada atau tidaknya urgensi pembentukannya. Legislator bukan tanpa alasan mengeluarkan produk hukum. Kita harus melihat berbagai fakta di lapangan, RUU HIP adalah bentuk reaksi dari pemerintah terhadap aksi sekelompok orang yang mengatasnamakan golongan tertentu dan membawa ideologi tertentu yang dalam pandangan banyak pihak dapat merusak dan menggeser ideologi Pancasila.. Sebenarnya yang menolak diberlakukannya UU HIP tidak semua orang kok. Hanya sekelompok orang yang merasa keberadaan mereka dan ideologi “baru” yang mereka bawa terancam. Terancam jerat hukum, terancam dibubarkan, dan terancam lain lain.☺
    Nah tidak dipungkiri toh kalau pada akhirnya UU HIP berakhir dengan pertentangan dari golongan-golongan tertentu.
    Penulis juga mengutip, bahwa bukan kebenaran yg membuat hukum, tapi kekuasaan. Oh Jelas. Sah atau tidaknya, kuat atau tidaknya hukum kan juga dipengaruhi oleh siapa yg membuat. Umm.. Sebenarnya bukan itu yg saya mau bilang. Saya mau bilang kalau sejatinya hukum baru itu muncul karena peristiwa baru.. Jika tidak ada HTI, tidak ada khilafah, tidak ada ideologi-ideologi yang bertentangan dengan pancasila, maka tidak akan ada HIP, tidak ada BPIP. Mari kita melihat, bukan ada atau tidaknya legitimasi untuk alasan pembentukan sebuah produk hukum dan atau badan pemerintah, tetapi kita juga perlu melihat urgensinya..
    PDIP disinyalir sebagai “kaum” yang menunggangi proses pembentukan UU HIP atau apalah segala macam bentuk penolakan terhadap organisasi radikal lainnya. Demi kepentingan umum, memang PDIP sudah seharusnya begitu. Terlepas dia mau menjaga kepercayaan masyarakat (namanya juga parpol keeuunnn???).. Tetapi kita perlu tengok positifnya juga dong..
    Kepentingan masyarakat Indonesia pada umumnya harus lebih di atas segala-galanya.. Bukan pengusung bendera hitam yang ada tulisan putihnya, atau kelompok-kelompok lainnya..?
    Kesimpulan saya : HIP dan BPIP adalah urgensi dari radikalisme yang semakin merebak di seluruh pelosok negeri, baik di kota maupun di derah-daerah terpencil. Mari kita bicarakan legitimasinya nanti.☺
    Salam Anak Desa..

Komentar ditutup.