Akun Palsu

Spread the love

Rupanya, “aku berpikir maka aku ada” yang dicetuskan René Descartes tak lagi relevan. Perlu segera direvisi.

Setelah merenung cukup panjang di masa penuh kecemasan dan harapan akibat pandemi Covid-19 ini, saya akhirnya menemukan pengganti yang lebih kontekstual dan tetap sepadan secara epistemis. Pengganti itu, “aku mempunyai akun maka aku ada!”.

Makin hari, orang makin malas dan susah berpikir. Hoax berkembang dengan sangat baik, rasisme juga KKN bertumbuh subur di mana-mana.

Berpikir menjadi teramat mahal. Ini yang saya maksudkan dengan “tak lagi relevan” di atas. Sedangkan “sepadan secara epistemis” kurang-lebih begini: bila “berpikir” merupakan cara “berada” yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain, “mempunyai akun” saya kira juga merupakan cara “berada”.

Dewasa ini, untuk eksis dan tetap diakui sebagai “ada”, orang tak perlu berpikir. Bikin akun. Itu saja sudah cukup.

Sebagai sebuah cara “berada” yang selaras zaman dan mempunyai basis epistemologis yang jelas, mempunyai akun—dalam hal ini akun media sosial—tentu baik dan tak ada salahnya.

Saya sendiri mempunyai beberapa akun media sosial dan saya sendiri pun mengalami bagaimana “mempunyai akun” itu mengubah banyak hal.

Baca Juga: Budak Sosmed

Bila puluhan tahun lalu seseorang bertemu Anda dan bertanya siapa nama Anda, saat ini sulit menemukan yang demikian.

“Ade, nama FB-mu apa? Minta nomor WA! IG-mu juga, biar saya follow dan jangan lupa folbek!”

Mungkin kesimpulan saya terlalu berlebihan, tapi saya mendapati bahwa orang menjadi sangat tidak peduli pada Anda sebagaimana adanya Anda di dunia nyata.

Orang hanya butuh Anda dengan segala ke-maya-an Anda di dunia maya.

Orang tidak peduli pada “Kobus” di dunia nyata, misalnya, tapi orang butuh “Jackos” di dunia maya untuk menandai foto.

Kita akhirnya terjebak dalam paradoks ini: Anda mungkin punya banyak utang, tapi sekali Anda unggah foto bagus di tempat wisata, Anda akan langsung didefinisikan sebagai yang punya banyak uang dan sangat bahagia dalam hidup.

Ini hanya pengantar. Saya ingin bahas lebih jauh soal Akun Palsu.

Terutama di FB, ada banyak sekali akun palsu yang bisa ditemui. Setelah cukup sering mengamati, terutama ketika bergabung dalam grup-grup kedaerahan yang selalu sangat panas di musim politik, sebuah akun saya sebut palsu oleh sebab telah memenuhi indikator-indikator berikut.

Namanya aneh dan kerap lucu. Punya foto profil atau sampul yang terlampau umum dan membingungkan. Umum misalnya, gambar tokoh publik tertentu.

Membingungkan misalnya, gambar-gambar yang sulit diidentifikasi baik identitas maupun lokasinya.

Rumit. Indikator-indikator ini terlalu rumit saya bahasakan. Sederhananya, Anda tentu tahu akun palsu itu macam mana.

Tujuan seseorang memalsukan akunnya? Atau, apa alasan yang membuat seseorang memalsukan akun sosmed-nya? Sabar.

Apakah tepat saya pakai “seseorang”? Dalam sosial media, kita bahkan tidak pernah tahu, yang baru saja meminta pertemanan atau yang sedang sinis ini bisa saja anjing yang telah dilatih. Tapi abaikan saja, tetap pakai “seseorang”.

Bahaya Akun Palsu

Mari kita sama-sama periksa.

Pertama, agar menjadi misterius. Orang memalsukan akunnya dengan tujuan agar dia menjadi misterius.

Beberapa tahun lalu, ada sebuah akun yang berteman dengan saya di FB. Kami akhirnya sering terlibat dalam diskusi dan debat, oleh sebab berminat pada tema-tema yang sama.

Saya menjadi sangat penasaran pada pemilik akun tersebut yang semakin misterius. Lalu akhirnya terbongkar, dia mengganti nama aslinya, dan kami tetap berteman sampai kini.

Berhadapan dengan pemilik akun palsu dengan motif macam ini, Anda mesti siap dengan jawaban ini: “Mana yang lebih penting? Identitas saya atau substansi diskusi kita?” Makin kesal? Sama!

Baca Juga: Siapa yang Mesti Bertanggungjawab dengan Berita Palsu

Kedua, takut. Orang memalsukan akunnya karena takut. Bagi orang macam ini, originalitas dalam dunia maya adalah bahaya, adalah ancaman.

Bila Anda masuk dalam grup-grup berbasis kesukuan yang tengah panas membahas politik, Anda akan dengan sangat mudah menemukan akun-akun palsu yang dibuat atas dasar takut.

Takut kalau-kalau aslinya terbongkar, namanya, asalnya, atau di mana dia kini berada.

Akun palsu dibuat agar bebas memosting apa saja, bebas berkomentar apa saja, tanpa beban, tanpa terlacak aslinya.

Provokasi atau menjadi loyalis garis keras, akan makin mantap bila menggunakan akun palsu.

Sekarang, Anda bisa segera mengantisipasi diri: jangan-jangan, dia yang kemarin memaki Anda di sosmed karena berbeda pilihan adalah dia yang saat ini duduk minum kopi di rumah Anda.

Ketiga, kritik. Amat boleh jadi—meski saya yakin ini pikiran yang belum terpikirkan—akun palsu adalah kritik.

Kritik terhadap ke-terlalu-serius-an kita dalam bermedia sosial. Akun palsu hadir untuk mengolok-olok originalitas yang kita seret serta dari dunia nyata masuk ke dunia maya: nama asli, tempat kerja asli, foto asli, dan seterusnya.

Akun palsu hadir untuk mengingatkan kita bahwa untuk masuk dalam sebuah dunia yang tidak nyata, mengapa kita mesti tampil sungguh-sungguh nyata?

Pada nama akun yang aneh dan lucu atau pada foto yang umum dan membingungkan, tersirat makian.

Akun palsu memaki ke-sungguh-sungguh-an kita. Akun palsu memberi semacam peringatan, bahwa untuk bersosialisasi di dunia maya, identitas tidaklah penting. Yang paling penting adalah pulsa dan jaringan. Sebagai ilmu, Sosiologi sedang ditelanjangi.

Apakah Anda akan segera memalsukan akun sosmed Anda? Ini jelas bukan urusan saya.

Urusan saya adalah, mengapa seseorang dengan cekatan memalsukan akunnya hanya dan hanya ketika membahas politik, membahas dukungan, membahas kegagalan pemimpin tertentu?

Sedemikian brutal dan hororkah politik kita, sampai-sampai hanya dalam tema dan dinamika ini saja, orang dengan enteng memalsukan identitasnya? Bisa jadi.

Ingat Orde Baru? Banyak orang mati dan hilang karena politik. Akun palsu lahir karena trauma.

Akhirnya, yah, “aku mempunyai akun maka aku ada”. “Aku mempunyai akun palsu maka aku…?” Selamat berpikir dan kembali menjadi “ada” sebagaimana kredo Descartes itu! ***

 

Oleh: Reinard L. Meo

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Corak atau tulisan menarik lainnya dari Reinard L. Meo

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Akun Palsu

Komentar ditutup.