Laporan Korban yang Koit dan Kegelisahan Seputar Covid  

Spread the love

 

Laporan mengenai angka kesakitan, kematian, dan kesembuhan dari Covid-19 terus  bermunculan di media massa dan media sosial. Dari semua informasi tersebut, kabar tentang jumlah korban yang koit (meninggal dunia) akibat Covid-19 yang terus dibagikan banyak orang, menunjukkan kegelisahan kita semua yang tidak mungkin ditutupi lagi.

Pada awal-awal wabah ini merebak di China, semuanya tampak tenang-tenang saja. Orang-orang malah iseng berkelakar. Bahkan ketika mulai ada bukti penyebaran ke negara lain yang sangat cepat dan masif, ada yang serampangan mengatakan kalau orang Indonesia itu kebal. Virus yang menginfeksi sistem pernapasan itu kesulitan masuk Indonesia karena izinnya dipersulit.

Ketika Presiden Jokowi mengumumkan ada warga Indonesia yang terdiagnosis positif Covid-19, tanda-tanda kepanikan mulai terlihat. Anjuran untuk meningkatkan kewaspadaan makin gencar disosialisasi. Kita mungkin sudah familiar dengan pesan ini: “Tetap waspada, jangan panik!” Tapi, makin ke sini, ketika wabah itu terasa makin dekat, anjuran baik tersebut seperti dipersepsi terbalik menjadi: “Tetap panik, jangan waspada!” Diakui atau tidak, kita mengalami kegelisahan yang sama. Bahkan mungkin kita perlu pikirkan untuk mencari bantuan profesional psikiatri.

Perasaan gamang seperti itu memang sangat manusiawi. Apalagi ketika kita menyadari jumlah penderita Covid-19 diperkirakan akan terus meningkat, sedangkan kemampuan pelayanan kesehatan yang kita miliki tidak cukup memadai untuk menanggungnya.

Survei mengenai kecemasan menghadapi wabah ini mungkin belum dilakukan di Indonesia, tapi di beberapa negara lain menunjukkan sebagain besar warganya mengalami perasaan ketidakpastian yang sama. Di Hongkong, pada masa awal epidemi Covid-19 muncul, hampir sebagain besar warganya marasa sangat rentan tertular; merasa situasinya parah; khawatir; dan rutinitas harian terganggu. Survei di China menunjukkan kalau tingkat traumatis paling tinggi hingga lebih rendah secara berurutan dialami oleh masyarakat umum, tenaga kesehatan (nakes) yang tidak berhadapan langsung dengan pasien terinfeksi, dan nakes yang berada di garda terdepan melayani pasien Covid-19.

Kondisi di NTT yang Mengkhawatirkan

Masyarakat yang berada di negara maju itu saja mengalami kegayatan seperti itu. Bagaimana dengan kita di NTT, sebuah wilayah yang dikenal masih terbelakang; termasuk sumber daya yang dibutuhkan untuk menangani wabah pandemi dunia ini; apakah kita sudah siap?

Kita mengapresiasi langkah Pemprov NTT yang ikut tanggap menerapkan peraturan yang memungkinkan berkurangnya penyebaran virus. Anak-anak sekolah diliburkan selama 2 minggu; pengecekan suhu tubuh di kantor pemerintah; menyediakan sarana cuci tangan; melarang ASN melakukan perjalanan dinas, apalagi sampai ke luar daerah; menyiapkan fasilitas kesehatan; dan langkah strategis lainnya.

Kita akan fokus melihat kesiapan fasilitas kesehatan yang tersedia di NTT dalam menghadapi Covid-19. Laporan terbaru tanggal 06 April 2020 menyebutkan sudah ada 684 warga yang terkategori orang dalam pemantauan (ODP); yaitu mereka mengalami gejala demam/riwayat demam tanpa pneumonia yang memiliki riwayat perjalanan wilayah/negara yang terjangkit, dalam waktu 14 hari sebelumnya.

Baca Juga: Jangan Panik: Panduan Tentang Coronavirus (9 April 2020)

Sayangnya, dari jumlah OPD sebanyak itu, tidak semua mendapat kesempatan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan statusnya positif atau negatif dari virus Corona.  Sejauh ini, baru ada 17 sampel yang selesai diperiksa dengan hasil negatif. Masih ada 21 sampel lain yang masih dalam proses pemeriksaan. Sedangkan lainnya, tidak ada kepastian apakah diperiksa semuanya atau tidak. Kondisi tersebut berkaitan dengan ketersediaan alat pemeriksaan yang belum tersedia di NTT. Bila kita memperhatikan daftar 12 pusat laborarotium terbaru Kemenkes RI yang mampu memeriksa virus tersebut, kita di NTT harus mengirim sampelnya hingga ke Surabaya.

Selanjutnya, 2 dari 3 RS rujukan di NTT sesuai keputusan Kemenkes RI pun masih dipertanyakan kesiapannya. Kepala Dinkes Sikka mengaku fasilitas yang dimiliki RS TC Hiller Maumere masih minim. Di RSUD Labuan Bajo juga sama, bahkan hal tersebut dikabarkan langsung oleh Dirjen P2P Kemenkes RI, Achmad Yurianto, dalam sebuah kesempatan wawancaranya bersama Deddy Corbuzier. Mulai dari menit ke-25 dalam video tersebut beliau menjelaskan kalau RS tersebut masih bestatus tipe D yang relatif baru; ruangan isolasi tidak ada; dan APD (alat pelinding diri) bagi nakes sangat terbatas.

Tidak bermaksud menakut-nakuti, sejak awal saya konsentrasi pada isu meredam kepanikan selama wabah ini berlangsung. Tapi, deretan fakta di atas yang menunjukkan fasilitas di NTT masih minim, paling tidak meningkatkan rasa awas dalam diri kita masing-masing, sehingga makin sigap melakukan tindakan pencegahan; mau bekerja sama dan saling menjaga. Lalu, apa langkah konkrit yang bisa kita lakukan dalam kondisi seperti ini?

Pertama, patuhi betul-betul saran untuk mengisolasi diri di rumah bersama keluarga untuk sementara waktu. Saran ini memang tidak mudah, apalagi bagi orang yang bekerja dengan upah harian. Kalau seperti itu, upayakan untuk jaga jarak dengan orang lain selama beraktivitas dan selalu mempraktikkan tindakan pencegahan. Anjuran pemerintah ini tidak asal buat, tapi berdasarkan bukti pengalaman di China, bahwa kombinasi antara pembatasan perjalanan antar kota/daerah; pengurangan kontak sosial atau jaga jarak dengan orang lain; deteksi dini dan isolasi mandiri di rumah, telah mengurangi transmisi virus secara signifikan.

Baca Juga: Meredam Kepanikan Akibat Desas-Desus Covid-19

Kedua, pahami betul gejala Covid-19 seperti demam, batuk, pilek dan sesak napas. Memang dari berbagai laporan menyebutkan kalau banyak juga orang yang sudah terinfeksi virus, tapi belum menunjukkan gejala karena masih dalam masa inkubasi atau tidak menunjukkan gejala sama sekali karena sistem kekebalan tubuhnya kuat.

Bila sudah timbul gejala, tetap tenang sembari mencari pertolongan. Ikuti alur pemeriksaan ke rumah sakit yang telah disarankan pemerintah. Kalau pernah kontak dengan pasien positif Covid-19 atau pernah berkunjung ke daerah endemis (tempat yang jadi pusat penyebaran Covid-19) dalam 14 hari terkahir, maka hubungi nomor telepon rumah sakit yang ditunjuk sebagai RS rujukan untuk penyakit ini. Tanyakan dulu bagaimana prosedur untuk bisa mendapatkan pelayanan di sana. Jika tidak ada kemungkin kontak dengan orang atau lingkungan yang berisiko, bisa mencari pertolongan ke dokter atau pelayanan kesehatan terdekat dan tetap mengisolasi diri di rumah agar bisa beristirahat yang cukup.

Khususnya di NTT, saat ini telah tersedia halaman facebook yang menjadi pusat informasi Covid-19. Salah satu yang paling penting, telah tersedia nomor pusat bantuan informasi secara umum: 08113827710. Kemudian ditambah nomor telepon RS rujukan, seperti RS Johannes Kupang (0380-833614); RS TC Hillers (081261153944); dan RSUD Komodo (081337055250).

Kedua langkah di atas paling tidak bisa mengurangi lonjakan pasien yang datang ke RS rujukan atau fasilitas kesehatan yang lainnya. Kalau jumlah pasien yang mendatangi faskes tidak terkontrol baik, dengan kondisi fasilitas dan sumber daya yang masih minim, petugas kesehatan akan kewalahan menghadapi semuanya.

Risikonya, nakes yang berjuang di garda terdepan akan mudah tertular juga. Sama seperti yang terjadi juga di China, tidak sedikit nakes yang ikut terinfeksi dan ada yang sampai meninggal dunia. Atau seperti yang dialami oleh tenaga kesehatan kita, sejauh ini sudah ada  18 dokter yang meninggal dunia selama pandemi virus Corona.

Bila hal itu terus berlanjut, ketakutan berikutnya adalah ketersediaan nakes yang kurang banyak untuk melayani pasien yang terus membludak. Pelayanan kesehatan yang tidak berimbang dengan beban yang diterima, tentu saja menimbulkan banyak korban jiwa bagi masyarakat umum. Karena itu, tidak salah bila kita melihat foto para nakes di berbagai media massa, mereka mengirim pesan penting: “Kami di RS untuk Anda; Anda di rumah untuk kami.”

Semua langkah sederhana ini dimaksudkan untuk mengurangi kegelisahan yang justru melemakan sistem kekebalan tubuh dan mengocar-ngacir pikiran kita. Kita tetap berusaha untuk tetap waspada dan jangan panik. Bukan sebaliknya: Tetap panik, jangan waspada!

Oleh: Saverinus Suhardin

 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari  Saverinus Suhardin

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai