Pelecehan Seksual dan Kesehatan Mental

Spread the love

Kabar tentang kasus pelecehan seksual, barangkali bukan hal yang baru bagi kita. Kejahatan ini sudah ada sejak dulu, menjadi kisah kelam yang terus mengganggu alam pikiran kita.

Kenapa hal ini bisa terjadi dan apa dampaknya bagi para korban?

Baru-baru ini, kita kembali dihebohkan dengan dua kasus yang sama.

Menariknya, dua kasus itu punya hubungan dengan dunia kampus, dan sama-sama memakai modus penelitian untuk mengelabui calon korbannya.

Kasus pertama, seorang alumni UGM yang berinisial BA, melakukan pelecehan seksual dengan kedok penelitian atau konsultasi perilaku swinger –sebuah istilah yang ditujukan pada pasangan yang melakukan hubungan seksual terbuka; membolehkan pasangannya melakukan hubungan seksual dengan orang lain.

Kasus kedua, dilakukan mahasiswa Unair yang dikenal dengan sebutan ‘Gilang bungkus kain jarik.’ Dia juga memperdayai sasarannya dengan alasan penelitian.

Para korbannya dibungkus dengan kain jarik menyerupai pocong, dan itu membangkitkan gairah seksualnya.

Ini memang tidak lazim. Kelainan ini dinamai dengan istilah fetisisme atau di berbagai media biasa menuliskan dengan ‘fetish’ saja.

Selain sama-sama menggunakan kedok riset untuk melancarkan aksi pelaku, kedua kasus itu, bila dikategorikan masuk dalam perilaku pelecehan seksual, baik itu dilakukan secara tradisional (langsung) maupun secara virtual atau melalui media sosial.

Pelecehan di Kampus

Kebetulan dua kasus di atas punya hubungan dengan lingkungan kampus, hal itu menunjukkan fakta lain dunia perguruan tinggi yang mungkin jarang terpikirkan, tapi kasusnya benar-benar ada dan mulai menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.

Ada beberapa lokasi dan situasi yang memungkinkan terjadinya pelecehan seksual.

Biasanya paling banyak disebut akhir-akhir ini terjadi di tempat kerja, misalnya di lingkungan militer; area kerja kesehatan; dan lingkungan kerja lain.

Institusi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi juga menjadi salah satu lokasi favorit terjadinya pelecehan seksual yang menjadi keluhan banyak orang di seluruh dunia.

Sebuah tinjuan sistematis yang dilakukan Bondestam & Lundqvist menyebutkan bahwa pelecehan seksual mungkin terjadi karena berbagai faktor seperti kondisi kerja yang ketat; hierarki organisasi; menganggap lumrah kekerasan berbasis gender; maskulinitas akademis yang berbahaya; budaya diam; dan pemimpin yang kurang tegas pada masalah seperti ini.

Masih dari studi yang sama, disebutkan bahwa pelecehan seksual yang merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender, terjadi di semua disiplin ilmu di perguruan tinggi dan sering dilaporkan semua kelompok mahasiswa dan staf.

Pelajar, wanita yang lebih muda, wanita dengan kondisi kerja yang tidak aman dan minoritas secara etnis dan seksualitas merupakan kelompok yang rentan  mengalami pelecehan seksual.

Secara umum, tindakan pelecehan seksual ini mirip seperti kasus perundungan (bullying), yaitu dilakukan oleh orang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan lebih terhadap korban yang lebih lemah atau rendah posisinya.

Misalnya, antara dosen dan mahasiswi, atau seperti kasus di atas oleh mahasiwa senior terhadap mahasiswa yunior.

Kabar buruknya, tindakan bejat itu jarang dilaporkan korban. Entah karena malu atau takut dipecat, takut tidak diluluskan bagi mahasiswa, dan alasan lainnya.

Masalah makin runyam karena ternyata korban atau penyintas mengalami efek psikologis dan secara profesional akivitasnya ikut terganggu.

Kesehatan Mental

Selain karena faktor lingkungan kerja dan faktor risiko lain yang memungkinkan terjadinya pelecehan seksual, ada juga temuan lain yang menunjukkan kalau pelaku tindakan tidak senonoh itu tergolong dalam gangguan jiwa.Pelecehan seksual dan gangguan mentalSebagai contoh, pada kasus ‘Gilang bungkus kain jarik’ yang disimpulkan mengalami fetisisme, ternyata merupakan salah satu masalah kesehatan mental atau jiwa.

Lola D. Houston mendefinisikan fetisisme sebagai minat khusus pada objek, aspek atau bagian tertentu dari seseorang yang memicu respons seksual yang kuat. Kelainan ini sudah dianggap masalah klinis yang perlu ‘disembuhkan’ atau ‘diperbaiki.’

Klasifikasi dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-V) menempatkan fetisisme sebagai bagian dari gangguan paraphilia –ketertarikan, dorongan, fantasi, atau perilaku seksual yang terus-menerus dan berulang dengan intensitas tinggi yang ditandai dengan melibatkan objek, aktivitas, atau bahkan situasi yang bersifat atipikal atau tidak wajar.

Bentuk paraphilia lain yang segolongan dengan fetisisme adalah

  • pedofilia (dorongan melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak)
  • eksibisionisme (menunjukan alat kelamin seseorang kepada orang)
  • voyeurisme (suka melihat orang yang sedang melepas pakaian atau aktivitas seksual)
  • sadisme seksual (gairah seksual diperoleh dari penyiksaan mental atau fisik pada pasangan seks)
  • masokisme seksual (mendapat gairah seksual ketika menerima pelecehan fisik atau mental)
  • froteurisme (melakukan sentuhan atau gesekan pada orang lain); dan
  • fetisisme waria (gairah seksual dari berpakaian silang atau berpakaian lawan jenis).

Apa yang terjadi pada kasus ‘swinger’ juga menunjukkan orientasi seksual yang tidak lazim, khususnya secara psikologis dan sosial budaya.

Pendek kata—meski hal ini masih menjadi perdebadatan dan perlu penyelidikan lebih lanjut—kasus pelecehan seksual dilakukan orang yang mengalami gangguan mental, kemudian korbannya akan menderita masalah mental yang lain.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, pelecehan seksual memberi dampak kesehatan yang buruk, khususnya kondisi mental para penyintas.

Baca Juga: Meredam Kepanikan Akibat Desas-Desus COVID-19

Penelitian yang dilakukan Thurston,dkk., menyimpulkan mereka yang memiliki riwayat pelecehan seksual di tempat kerja, bisa gejala depresi, kecemasan, dan gangguan tidur.

Bila kita memperhatikan siklus dari contoh kasus di atas, masalah mental yang dialami oleh pelaku pelecehan seksual, pada gilirannya juga menimbulkan masalah mental pada korban. Inilah ‘lingkaran setan’ yang cukup mengkhawatirkan.

Korban yang mengalami masalah mental tadi, bisa saja melakukan tindakan brutal lain pada korban selanjutnya bila tidak segera tertangani dengan baik. Masalah makin panjang dan tidak terselesaikan.

Karena itu, sudah semestinya kita sadar akan ancaman ini.

Pelecehan seksual tidak bisa dianggap sebagai hal yang wajar, apalagi ikut menyalahkan korban yang malah dianggap sebagai pemicu kejadian tersebut.

Kita tidak boleh diam. Hal sederhana yang bisa kita lakukan, mungkin dengan cara ikut menerapkan dan mengampanyekan tentang gerakan #MeToo yang dilucurkan Tarana Burke sejak tahun 2006 silam.

Gerakan #MeToo itu merupakan seruan untuk ‘bangkit’ bagi pada penyintas untuk berani maju atau mengungkapkan kasus pelecehan seksual yang mereka alami di media massa atau langsung ke penegak hukum.

Bila memperhatikan pola pelaku tindakan pelecehan seksual, mereka biasanya menjalani aksinya secara berulang-ulang.

Bila kita diamkan terus-menerus, itu sama saja menciptakan bom waktu yang suatu waktu meledak dengan kasus yang lebih heboh dan sadis.

Kita belum terlambat untuk menyadarinya dan mulai bertindak tegas. Bagaimanapun juga, masalah ini berpengaruh bagi kesehatan kita semua.

Pelecehan seksual, selain masalah kriminal, saat ini juga dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat. Masalah kesehatan kita semua.


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari  Saverinus Suhardin


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Pelecehan Seksual dan Kesehatan Mental

Komentar ditutup.