Konsep Diri Penyair dalam “Seorang Perempuan yang Tinggal dalam Diriku”

Spread the love

Judul: Seorang Perempuan yang Tinggal dalam Diriku
Penulis: Vincet Mario Atawolo
Penerbit: Rua Aksara
Tebal: 67 Halaman

***

“Manusia adalah sekumpulan rencana yang hanya menambah keramaian sejarah” (Garis)

Manusia yang didefinisikan demikian tentu akan bertanya, siapakah dirinya? Pertanyaan ini merujuk pada refleksi mengenai dimensi eksistensi manusia.

Heidegger dalam karya Ada dan Waktu membahas “ada” dalam kaitannya dengan waktu. Dalam hidup sehari-hari, manusia bergelut dengan “ada”.

Manusia satu-satunya makhluk yang dibimbing oleh suatu pengetahuan yang samar tentang “ada”. Manusia adalah “ada” yang unik.

Keunikannya mampu membedakannya dengan benda-benda dan membuatnya mampu mempersoalkan “ada”.

Karena manusia bukan benda, maka Heidegger memilih istilah dasein untuk menunjukkan “ada” manusia.

Pemikiran Heidegger berporos pada suatu distingsi yang disebut pembedaan ontologi, yakni antara sein (ada) dan seinde (mengada).

Heidegger dalam menangani masalah ontologi menggunakan metode fenomenologi yang diterapkan dalam melihat dasein, yakni kelahirannya di dunia ini.

Namun, kelahirannya ini juga masih belum asli betul, karena masih bersifat biologis dan belum ontologis.

Sampai titik ini setiap orang mengakui, bahwa mereka dilahirkan untuk mencari bentuk kelahiran yang lain- sibuk mencari eksistensi diri.

Kesibukkan inilah yang akhirnya menimbulkan keributan dalam garis-garis waktu.

Di sini, Vincent benar; kita hanya sekumpulan manusia yang merasa “kurang”, berencana mencari jawaban atas pertanyaan mengenai diri hingga akhirnya waktu menjadi gaduh karena jamaknya pertanyaan. Inilah yang kemudian disebut euforia sejarah.

Sepintas lalu, pikiran tersebut muncul ketika kita menelusuri puisi-puisi Vincent Mario Atawolo dalam buku puisi perdananya “Seorang Perempuan yang Tinggal dalam Diriku”.

Ada semacam sebuah tawaran pemikiran yang mengorek pembaca untuk sampai pada pertanyaan mengenai dirinya sendiri. Karena itu, buku antologi puisi ini menawarkan sebuah alur pemikiran terbuka bagi pembaca yang ingin mengenal dirinya ataupun mengenal alur konsep diri dalam balutan makna dalam setiap penetesan puisi-puisinya.

Dalam buku antologi puisi ini, terhimpun 40 judul puisi yang bisa dikatakan berisi rambu-rambu lalulintas dalam sebuah tamasya imajiner menuju diri sendiri.

Buku ini diawali dengan puisi Malam;

(I)

….

sebuah rahasia kembali membuka

pintunya. membiarkan masuk

sejarah kampung dan luka,

 

rasa lucu dan

kekudusan para martir

Diri dalam puisi ini sebagaimana diungkapkan Foucault (O’Donnell, 2009: 78), adalah khayal, konstruksi yang terus berkembang dan bergeser sehingga mempunyai riwayatnya tersendiri.

Di sini, arkeologi kebenaran, pengaruh sosial dan kultural membentuk pemikiran Vincent.

Perasaan ”diri” memiliki sejarahnya sendiri dalam lapisan pengaruh dalam keluarga, masyarakat, dan dalam kurun sejarah.

Hal ini tentu berbeda dengan kesadaran diri versi Descartes dalam cogito, ergo sum yang memandang diri sebagai esensi batin dalam badan.

Vincent menawarkan sebuah cara pandang baru dengan melihat diri sebagai konstruksi psikologis.

Artinya, ide tentang “diri” terus-menerus ditemukan dan ditulis kembali, diungkapkan melalui penggambaran diri sebagai masyarakat tradisional, individu, roh dan tubuh, kesatuan psikomatis, sekelompok pengalaman dan dorongan psikologis yang dijadikan rahasia pembuka pintu menuju cerita masa lalu, dari yang paling lucu sampai yang paling kudus sekalipun.

Apakah tubuh yang melahirkan itu masih terus mencarimu?

Di tengah suara yang menyesatkan, ia berdiri sambil menegakkan hati.

Meninggikan duka. Dan menghilangkan tawa sebagai bagian tercinta di

setiap hentakan roda penjaga malam yang sesekali terbata menunjukkan

ujud syukur kepada pintu di ujung kampung. Ia hendak pulang ke rumah

yang berisi tangisan pertama seorang bayi yang dijanjikan semesta, atau

kepada bau musim gugur dan ramah senyum kerabat. Lapar membuatnya

berpikir bahwa rumah adalah tempat paling indah untuk berakhir sebagai

kata pertama yang timbul di mulut bayi.

 

Semestinya ia berhenti. Memastikan semua penghuni rumah baik-baik

saja, sebelum malam yang indah ini menawarkan dua pilihan yang teramat

sulit ia tentukan; mencintai bayi atau mencintai dirinya sendiri.

 

(Tubuh, 2)

Jika tubuh adalah sebuah manifestasi fisik dari perbedaan, maka identitas adalah korelasi budayanya. Sebuah pertempuran yang dilakukan terhadap identitas hampir sama dengan yang dilakukan terhadap tubuh.

Karena itu, Vincent menegakkan hatinya sebagai bentuk keutuhan dan pertahanan tubuh di tengah duka yang menekan dan pudarnya kebahagiaan.

Itulah cara Vincent mempertahankan identitasnya, mendefinisikan dirinya dengan caranya sendiri.

Ia hendak pulang ke rumah yang berisi tangisan pertama seorang bayi…untuk berakhir sebagai kata pertama yang timbul di mulut bayi. Tubuh Vincent menjadi mesin yang punya keinginan; keinginan yang bersifat revolusioner.

Tubuh membentuk revolusi hasrat dengan maksud mencapai ‘skizoanalisis” dalam bahasa Deleuze dan Guattari, yang mendekonstruksi dunia lama ketimbang merekonstruksi dunia baru.

Oleh karena itu, Vincent menyatakan kepulangan sebagai bentuk pembebasan dari tubuh yang terpenjara. Terlepas dari kebingungannya menentukan pilihan untuk bertahan pada kehidupannya sekarang atau nostalgia masa kecil, Vincent menunjukkan dorongan dari “bawah” dalam bahasa, kebudayaan, dan jiwa.

Ia menyadari dirinya sebagai manusia dengan haknya sendiri, menentukan pilihan-pilihannya secara sadar, bahkan dengan pengetahuannya, ia menggunakan tema dan imajinasi primer secara jeli dengan menghadirkan diri sebagai kata yang keluar pertama dari mulut bayi.

Pembaca tentu tahu bahwa kata pertama itu tak lain adalah “mama” sebagai perempuan yang tinggal dalam diri Vincent.

Dalam puisi “Seorang Perempuan yang Tinggal dalam Diriku”, mengikuti konsep Lacan, bahasa tentang bawah sadar ditandai dengan tiga fase; fase imajiner, fase simbolik, dan fase riil (Suryajaya, 2015).

Yang imajiner, menurut Lacan adalah suatu ranah sebelum ego mengerti bahasa. Pengertian tentang diri didapat melalui citra tentang dirinya di hadapan “cermin” yang tak hanya dimengerti secara harfiah, tetapi juga secara metaforis.

Melalui citra cermin inilah diri terbentuk, tetapi diri yang terbentuk itu terbelah antara diri dan citra diri. Vincent menemukan dirinya di dalam citra dirinya di cermin. Artinya, pengertian pertama tentang diri adalah salah pengertian.

Bagi Lacan, disinilah terjadi keterasingan pertama manusia, yaitu ketika identitas diri dikonstitusikan oleh sesuatu yang eksternal atau asing terhadap diri, itulah yang disebut citra diri.

Dengan demikian, yang imajiner adalah ranah di mana ego terbelah antara dirinya dengan citra tentang dirinya sebelum ia terintegrasikan sepenuhnya dalam struktur bahasa; diriku terbuka, separuh/ yang lain menghilang.

Baca Juga: Kiblat Puisi Kritis-Profetis dalam Kumpulan Puisi di Kaki Ina Bo’i

Dalam tahap simbolik, subjek mengalami keterbagian secara internal, yakni antara subjek yang menyatakan (subject of statement) dan subjek yang mengutarakan (subject of enunciation).

Kedua istilah dipakai Lacan untuk menjelaskan perbedaan tingkat kesadaran dan ketaksadaran dalam laku berbahasa: subjek yang menyatakan adalah suatu kondisi ketika subjek menyatakan secara sadar apa yang ada dalam pikirannya kepada orang lain, sementara subjek yang mengutarakan adalah landasan tak sadar dari pernyataan itu, yakni makna tak sadar dari pernyataan tersebut.

Karena itu, sebuah pernyataan yang diutarakan subjek dapat berarti lain jika ditilik dari intensi tak sadarnya. Inilah yang disebut Lacan sebagai subjek terbagi (barred subject).

Keterbagian tersebut bisa dimaknai sebagai sebuah akibat dari pertentangan, subjek dikonstitusikan oleh negativitas, yakni apa yang disebut Lacan sebagai kekurangan; seorang perempuan  berlari/ keluar, dengan kabar/ ada sebuah peperangan/ yang tak bisa ia/ menangkan dalam dirinya.Seorang Perempuan yang Tinggal dalam DirikuDengan kekurangan itu, Lacan menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih mendalam ketimbang ranah simbolik, sesuatu yang menjadi sumber sesungguhnya dari yang tak tersimbolisasikan itu.

Jika yang simbolik selalu ditandai oleh negativitas, kekurangan, absensi, maka yang riil sebaliknya: “Tak ada absensi dalam yang riil”. Yang riil bukanlah ranah subjektif psikologis semata, melainkan juga realitas dalam artinya yang paling material.

Konsep tentang yang riil dalam Lacan, oleh karenanya, bersifat ambigu. Ia memiliki arti yang mendua dan nampak kontradiktif.

Di satu sisi, ia internal dalam subjek, namun di sisi lain, ia juga kurang riil dalam dunia material-konkret yang eksternal terhadap subjek.

Yang riil, dengan demikian, adalah landasan dari yang imajiner dan yang simbolik, tetapi sekaligus pada dirinya tak dapat diketahui.

Artinya, setiap upaya identifikasi melalui kerangka bahasa dan identifikasi simbolik, akan selalu gagal mencapai kepenuhan makna, sebab selalu ada yang tersisa dan tak terbahasakan.

Yang Riil, karenanya, menandai batas-batas identifikasi simbolik; ia hidup di hatimu/ tak bisa ke mana-mana/ kau tahu itu/ artinya apa bukan?

Ia ingin menyambut perempuan itu tanpa mengikatnya, membukakan pintu bagi perempuan itu sebagai tamu untuk tinggal dalam dirinya.

Dengan demikian, Vincent menyatakan dirinya sebagai bagian dari ibunya. Hanya dengan menyerahkan sesuatu dari dirinya untuk berhubungan dengan ibunya, ia menemukan dirinya sendiri.

Artinya, keinginannya bukan hanya narsistik, tetapi merupakan jawaban  terhadap panggilan dari yang lain. Ada perasaan mendalam bahwa eksistensi adalah relasional, dan manusia, dari ide diri, tidak dapat didefinisikan dalam keterpisahan.

Keinginan Vincent tidak bepusat pada diri, ia justru melampaui kategori tersebut dan membebaskan diri untuk membangun hubungan secara sejati.

Vincent mencoba menciptakan kembali nilai-nilai lama dan kedalaman hidup batin.

Dalam paham lain, mengikuti alur berpikir Jung (O’Donnell, 2009: 90-91), percikan reflektif bait akhir puisi tersebut adalah konsep anima, di mana laki-laki memiliki imej diri batiniah yang feminin dalam bentuk simbolisnya.

Baca Juga: Komuni: Kutuk, Kepulangan, dan Pertobatan

Anima merupakan ide lawan jenis yang diinternalisasikan, dan dapat berfungsi sebagai simbol diri. Penyair bercakap-cakap dengan animanya sendiri.

Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa ada percikan feminin dalam diri penyair.

Ia mengakui sesuatu yang lain dalam dirinya tanpa memperhatikan kekuasaan prokreasi, tetapi membuka penghargaan dan pencarian spiritualitas, pencarian keseluruhan, makna, dan interioritas.

Lebih daripada itu, anima ialah simbol arketipe kokoh yang diwariskan dan mengungkapkan aspek kebenaran mengenai diri.

Secara keseluruhan, puisi “Seorang Perempuan yang Tinggal dalam Diriku” mengikuti konsep berpikir Julia Kristeva (O’Donnell, 2009: 97), terperangkap dalam semiotik sebagai kesadaran kekanak-kanakan dan dorongan individu dalam fase pra-Oedipus.

Terdapat chora (tempat penciptaan) sebagai sumber kehidupan yang dalam, dorongan keibuan sehingga ia menjadi ruang berbagi bersama antara ibu dan anak.

Bentuk puitis kesadaran ini memberi peluang paradoks; karena hanya dengan menyerahkan sesuatu dari diri untuk berhubungan dengan yang lain, penyair menemukan dirinya sendiri.

Chora tetap hidup sebagai keinginan dan sebagai ekspresi dalam puisi-puisi Vincent.

Chora membiarkannya mengalami aporia, ketergelinciran, momen-momen terlupakan, dalam ekstase, kekaguman, dan terlebih puisi yang mengalir.

Alhasil, “Seorang Perempuan yang Tinggal dalam Diriku” menjadi sumber hidup yang vital nun kreatif, menjadi kekuatannya untuk terus berjalan, menemukan konsep diri dalam dalam waktu yang terus bergulir.

Aku ingin memahami/ Perkataannya, sementara rekah/ Cahaya mata dan hangat suaranya/ Mengantarku pulang/ Ke masa lalu. Masa yang jauh./Pulau yang menyimpan dirinya. (Garis)

 

Oleh: Dunstan Maunu Obe 

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari Dunstan Maunu Obe 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai