Strategi Estetik dalam Buku Kumpulan Puisi Museum Kehilangan

Spread the love

Judul: Museum Kehilangan
Penulis: Wawan Kurniawan
Tebal: 88 halaman, 20 cm
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2020
ISBN: 978-602-06-4331-1

***

Pelbagai puisi dalam Museum Kehilangan karya Wawan Kurniawan dapat dikatakan sebagai puisi-puisi referensial yang mengolah peristiwa kematian Munir dan peristiwa lain yang mengitarinya menjadi dunia tekstual.

Kesan ini diperkuat dengan impresi visual sampul buku yang menyajikan gambar jendela pesawat yang separuh tertutup serta kutipan perkataan Munir yang ditempatkan pada halaman awal buku.

Kita tahu, Munir adalah tokoh HAM besar Indonesia yang dibunuh di atas pesawat Garuda GA-974 tiga jam setelah lepas landas dari Singapura menuju Amsterdam pada tanggal 7 September 2004, pukul 08.10.

Narasi mayor dari puisi-puisi Wawan adalah peristiwa kehilangan. Pembaca akan menemukan respon Aku-lirik dan tokoh-tokoh puitik lain dalam puisi ini dibangun untuk kepentingan perlawanan terhadap peristiwa kehilangan.

Dengan kata lain, dalam bahasa Eco, peristiwa kehilangan Munir menjadi opera aperta (karya terbuka) yang mewakili pelbagai bentuk peristiwa kehilangan lainnya. Lalu, bagaimana Wawan menempuh strategi estetik dalam menggarap tema referensial itu? Strategi tekstual apa yang ia gunakan?  

Strategi “Domestifikasi Kesadaran”

Eksplorasi rasa kehilangan orang-orang terdekat Munir menjadi jembatan yang disediakan Wawan untuk mengakrabkan rasa hilang itu dalam kesadaran pembaca. Eksplorasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah upaya “domestifikasi kesadaran”.

Secara psikologis, pembaca akan lebih bersimpati pada peristiwa kehilangan orang-orang yang mencintai Munir, terutama keluarganya. Ada tiga puisi yang diatribusikan kepada anggota keluarga Munir.

Puisi “Di Jendela Kamarmu” diatribusikan kepada Suciwati, istri Munir. Kedua puisi “Soultan Alief Allende” dan “Diva Suukyi Larasati” jelas diatribusikan kepada kedua anak kandung Munir.

Sudut pandang penyair dalam ketiga puisi ini berbeda. Pada puisi “Di Jendela Kamarmu”, Aku-lirik mengambil jarak dengan tokoh puitik Suciwati yang ditunjuk dengan kata ganti orang kedua tunggal.

Peristiwa kehilangan seorang suami dikonstruksi dalam suasana yang sendu. Penanda-penanda yang memperkuat penafsiran pembaca terhadap peristiwa referensial dalam puisi ini adalah “jendela, penjara, kebebasan, hilang dan mati.” Wawan merekonstruksi peristiwa kehilangan yang terekam di balik “jendela”.

Kata “jendela” bisa saja punya resonansi terhadap “jendela pesawat” yang menandai locus kematian Munir. Wawan menulis: suara rebah hujan di akhir kemarau/ membuatmu melihatnya dalam diam/ dari jendela kamarmu,//

Dalam kesadaran umum, hujan sering kali diasosiasikan dengan momen kenangan dan kerinduan. Tetapi, kenangan akan peristiwa kehilangan yang diangkat oleh Wawan dalam narasi puitik tokoh Suciwati adalah memoria passionis (kenangan penderitaan) yang akan dilawannya.

Tokoh “kau” dalam puisi “Di Jendela Kamarmu” adalah tokoh yang sedang berjuang melawan kehilangan. “demi menemukan kebebasan seseorang:/ yang sejak belasan tahun silam/ kauyakini tak pernah hilang//.

Jika peristiwa “hujan” menandai kenangan akan Munir, maka semakin deras hujan turun, semakin keras pula usaha si tokoh “kau” untuk melawan kehilangan tersebut. Kita bisa menemukan penyair dengan jeli memainkan perpindahan intensitas psikologis si tokoh “kau” dalam puisi.

Perpindahan intensitas ini bergerak dari sekadar “keinginan” menuju “keharusan”. Pada Bait ketiga Wawan menulis: “kala hujan berhenti, semakin samar terlihat/ kau selalu merasa ingin melawan mati//.

Kemudian pada Bait keempat dilanjutkan: “kala hujan kembali, semakin jelas terlihat/ kau merasa mesti melawan mati//. Perpindahan intensitas psikologis ini menunjukkan kebulatan tekad seorang istri yang berjuang untuk melawan kehilangan.

Strategi Inisial

Salah satu kekhasan strategi semiotik yang dimanfaatkan Wawan adalah penggunaan inisial. Misalnya, Wawan menulis beberapa puisi dengan inisial “M”, seperti: puisi “Autopsi Masa Silam M”, “Kasus Terakhir di Kota M”, “Malam Seorang Penyair Kota M”, dan “Menemani M”.

Inisial “M” bisa saja merujuk pada Munir, bisa juga merujuk pada kota Makassar, atau bisa juga “M” adalah opera aperta, yang alih-alih referensial, melainkan menjadi penanda tanpa batas untuk mewakili aneka kehilangan apapun dan di manapun.

Mari kita menyelami siasat semiotik dari penyair yang menggunakan strategi inisial sebagaimana ditampilkan dalam puisi “Percakapan Orang-Orang Hilang” (hlm. 35):

M:

kau di mana?

 

di balik waktu yang terkubur di tengah lautan

 

                                                            M:

                                                            kau di mana?

                                                            di dalam puisi yang tak

                                                            menemukan apa-apa

M:

kita belum hilang

                                                            M:

                                                            Kita akan ditemukan

M:

siapa?

                                                            W:

                                                            aku!

Secara semiotik, inisial “M” dan “W” dalam puisi “Percakapan Orang-Orang Hilang” ini bisa diperluas maknanya oleh pembaca.

“M” bisa saja mewakili Munir sebagai subjek sentral, yang melalui dirinya, “ditandailah” orang-orang yang sengaja dihilangkan oleh kekuatan represif otoritatif sebagai pars pro toto, atau bisa saja “M” diperluas maknanya sebagai the menthe lost men (orang-orang yang hilang). Yang paling menarik, “M” merangkum “Munir dan the lost men”.

Dengan pembacaan ini, kita bisa memahami maksud percakapan yang dirangkum di bawah inisial “M” tersebut. Wawan berhasil merekonstruksi narasi besar dan kompleks hanya dengan siasat inisial.

Sedangkan, inisial “W” bisa saja merujuk pada “Wawan”, Si penyair, atau siapa saja, “whoever” yang berusaha melawan lupa dan menyelamatkan orang-orang yang dihilangkan dari sejarah. 

Dalam puisi “Soultan Alief Allende”, penyair mengidentifikasi si Aku-lirik sebagai Soultan Alief Allende, putra Munir. “R” adalah inisial yang digunakan dalam puisi ini.

Secara tertentu, inisial memiliki makna “apokaliptik”. Ia membuka sekaligus menyembunyikan suatu realitas yang ditandainya. “R” bisa saja merujuk pada tokoh referensial tertentu yang tak terkatakan, atau bisa mewakili “rahasia” yang selalu disembunyikan oleh mulut penguasa (negara).

Dalam puisi ini, Si Aku-lirik mengenangkan Munir yang mewariskan kekuatan “berbicara” atau “mengungkap rahasia” kepada anaknya. Wawan menulis:

aku selalu bermimpi

semua huruf R

tak mesti kusebutkan

tapi ayah selalu bilang

Allende, kau tak perlu takut! Katakan saja!” (Penggalan Puisi “Soultan Alief Allende”, hlm. 17).

Allende mewakili perlawanan terhadap peristiwa kehilangan. Frasa “berlari melewati kerumunan orang berbaju hitam” adalah sebuah perlawanan terhadap kuasa kesedihan dan kehilangan.

Baca Juga: Perempuan, Puisi dan Kosmetik

Daripada pasrah terhadap peristiwa kematian Munir dengan cara berkabung (ditandai dengan kerumuman orang berbaju hitam), lebih baik melawan dengan “berlari” dan “berteriak sekeras-kerasnya.”

“Berlari” memiliki arti keluar dari posisi kenyamanan diri, menjauhi zona nyaman dan menolak berdiam diri. Sementara, “berteriak sekeras-kerasnya” bisa menjadi penanda bagi upaya perlawan untuk menyuarakan keadilan.

“Berteriak” berarti memecahkan diam, mengeluarkan suara, mengisi ruang publik dengan teriakan yang keluar dari penolakan terhadap kepasrahan diri. Kata “melewati” pada frasa “melewati kerumunan orang berbaju hitam” juga berarti “melampaui” keputusasaan terhadap peristiwa kehilangan.

Melewati bukan menghindar. Ia melawan dengan bergerak melampaui posisi diamnya para sidang perkabungan.

Puisi yang paling kuat merespon narasi kehilangan adalah puisi “Diva Suukyi Larasati”. Kekuatan puisi ini tidak bertumpu pada akrobatik metafora dan tumpukan imaji.

Dengan memanfaatkan hanya tiga kata dan tiga tanda visual, berupa dua garis miring menyerupai jalan atau ruang antara dan tanda tanya di tengahnya, Wawan menjadikan pertanyaan puitik Diva “mengapa/ abah/ dibunuh//” (hlm. 86) sebagai suara yang mengancam dengan keras peristiwa kehilangan.       

Pada beberapa puisi, sensitivitas tipografis sangat kuat menguasai kesadaran Wawan. Upaya untuk memanfaatkan ruang visual menjadi salah satu keutamaannya dalam mengerjakan puisi-puisi yang kaya secara semiotik.

Dari semua puisi yang menempuh siasat konstruksi visual ini, puisi “Diva Suukyi Larasati” menjadi puisi semiotik-visual yang bertenaga. Kehadiran tiga tanda visual adalah juga penanda yang menuntut pemaknaan lebih lanjut.

Dua garis miring bisa menciptakan impresi terhadap jalan lapang yang terputus, bisa juga membangun “ruang antara” di mana, kata “abah” (Munir) menempati “ruang antara” tersebut. Sebagai seorang anak kecil yang tak paham mengapa ayahnya hilang, pertanyaan Diva adalah pertanyaan yang mengganggu dan mengusik batin pembaca.

Kata tanya “mengapa” selalu menuntut penjelasan. Dan berhadapan dengan kasus Munir, penjelasan itu tidak pernah muncul. Maka, pertanyaan ini adalah sebuah senjata perlawanan untuk melawan amnesia sejarah. Pertanyaan ini akan terus menggema di ruang batin untuk menuntut penjelasan terhadap peristiwa luka Munir yang juga menjadi peristiwa luka terhadap kemanusiaan.

Strategi Perlawaan Ad Intra

Puisi Wawan dapat disebut sebagai puisi politis karena merespon peristiwa referensial tentang ketidakadilan sosial. Namun, alih-alih menempuh jalur sarkas dan gema teriakan, puisi-puisinya justru melawan secara internal.

Perlawanan puitik Wawan terhadap peristiwa kehilangan dan penghilangan adalah perlawanan ad intra, yakni sebuah perlawanan ke dalam diri. Untuk mendukung suara perlawan ini, siasat psikologis yang reflektif menjadi jalan tempuh Wawan.

Baca Juga: Kiblat Puisi Kritis-Profetis Dalam Kumpulan Puisi Di Kaki Ina Bo’i

Beberapa puisi yang mengungkapkan perlawanan terhadap peristiwa kehilangan adalah puisi “Racun”, “Museum Kehilangan”, “Mencari Cara Pulang dan Hilang” dan “Di Bawah Teduh Payung Hitam.” Pada puisi “Racun”, perlawanan itu dimunculkan dengan menghidupkan asa.

Puisi ini jelas mengangkat narasi kematian Munir yang disebabkan oleh racun arsenik yang diberikan kepadanya. Wawan menulis: racun mengalir/ cepat seperti kilat/ menyatu dalam kalut// di darahmu:/sukacita terbentang/ memelihara arah// setelah tuntas/ kita hilang kuasa/ tapi tak pernah hilang asa// (hlm. 47).

Putus asa adalah kematian harapan. Munir mungkin telah meninggal. Tidak ada lagi suara kritisnya yang membela para korban kejahatan HAM. Namun, harapan untuk memperjuangkan keadilan tak akan pernah hilang.

Nada perlawanan juga digemakan dalam puisi “Mencari Cara Pulang dan Hilang”. Wawan menulis: tapi kau – tak membawa aku pada apa yang pernah/ mereka temukan dan namakan sebagai pasrah./ kita sungguh tak pernah kalah.// (hlm. 71).

Dalam puisi ini perlawanan diterjemahkan sebagai usaha untuk menolak pasrah dan kalah. Kematian Munir bukan menjadi tanda kekalahan. Pasrah terhadap keadaan justru mengkhianati perjuangan Munir itu sendiri.

Sementara pada puisi “Di Bawah Teduh Payung Hitam”, perlawanan terhadap peristiwa kehilangan ditunjukkan dengan upaya merawat ingatan. Mengingat berarti melawan lupa. “kau memberi cara terbaik lupa/ namun ingatan kami bermukim/ di bawah payung hitam.// (hlm. 74).

Jika pada ketiga puisi di atas, narasi perlawanan disampaikan secara gamblang tanpa siasat metaforik yang bertele-tele, maka pada puisi “Museum Kehilangan” narasi perlawanan justru dibahasakan secara semiotik. “Museum Kehilangan” adalah simbol bagi perjuangan melawan kehilangan.

Museum adalah simbol konservasi dan perawatan. Kehilangan yang dirawat dan terus dikunjungi menimbulkan energi untuk melawan lupa. Wajah Munir yang hilang dirawat dalam ruang konservasi ingatan. Konservasi ingatan ini bertahan dalam sejarah, bahkan hingga “berabad-abad lamanya.”

setelah di museum kehilangan:

terpajang cermin, terpasung

wajahmu dan kesunyian

berabad-abad lamanya.

(Penggalan Puisi “Museum Kehilangan”, hlm. 50)

Beberapa Catatan Kritis

Ada beberapa cataan kritis sebagai penutup ulasan buku ini.

Pertama, karena puisi-puisi ini merespon narasi kehilangan, khususnya peristiwa kematian Munir, maka kecenderungan refleksi ad intra menjadikan posisi penyair lebih cenderung mengeksplor kedalaman daripada keluasan tematik.

Akhirnya, imaji-imaji yang dibangun masih terbatas ruang eksplorasinya. Ada satu puisi yang membuka resonansi kehilangan Munir dengan peristiwa lain yang cukup kuat. Pada puisi “Jendela Ini dari Masa Silam”, penyair menemukan resonansi kematian Munir dengan kematian Socrates yang beririsan secara jelas pada peristiwa meneguk racun.

Puisi-puisi dengan jalinan interteks yang kuat punya kekhasan tersendiri yang mungkin saja dapat mendukung narasi kehilangan Munir agar merasapi semua peristiwa lainnya dalam rekam ingatan sosial masyarakat.

Siasat interteks dapat menjadi jalan untuk eksplorasi keluasan tematik serta dapat menjadi jalan yang baik untuk menghindari beberapa imaji dan metafora yang menimbulkan kesan serupa.

Kedua, grafik konsistensi intensitas puisi sebagai satu keseluruhan sistemik masih fluktuatif. Ada beberapa puisi yang sangat kuat dari segi kebahasaan maupun disposisi penyair, namun ada beberapa puisi yang kurang kuat memberikan impresi.

Misalnya, pada puisi “Racau di Persidangan” akan ditemukan beberapa metafora dan imaji yang mudah tertebak dan sedikit gamblang. Pilihan diksi populer seperti: palu, dinding, kursi para saksi, suara melengking, dan lainnya dengan mudah menghantar pembaca pada suatu peristiwa referensial tentang perisidangan Munir.

Metafora yang kurang segar dan sedikit mengganggu misalnya muncul dalam ungkapan: “segelas racun di bibirnya merekah”. Apakah yang merekah itu bibir, atau segelas racun yang ada di bibir? Padahal, pada puisi-puisi lain, penyair mampu membawa pembaca pada taraf permenungan yang cukup tenang dan mendalam.

Terlepas dari beberapa catatan personal ini, buku kumpulan puisi Museum Kehilangan hadir secara khas dalam ruang publik pembaca sebagai puisi-puisi yang menyuarakan perlawanan dengan siasat refleksi yang penuh perhitungan semiotik.

Menyelami puisi-puisi Wawan, kita akan dibenamkan dalam lautan ingatan sosial. Pembenaman ini direkam sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap kuasa represif penguasa yang ingin menghapus Munir, juga ingatan-ingatan penting lainnya dari sejarah kesadaran masyarakat kita.

 

Oleh: Giovanni A. L Arum

 

 

Baca juga tulisan lain di kolom Resensi atau tulisan menarik lainnya dari Giovanni A. L Arum


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

Satu tanggapan untuk “Strategi Estetik dalam Buku Kumpulan Puisi Museum Kehilangan

  1. Saya mau tanya nih pada judul puisi racun
    Pada kata
    “di darahmu: 3,1 mg/l arsen” kira-kira itu ada indeks sebab akibat tidak ya? Mohon arahannya soalnya imajinasi bahasa puisi nya keren

Komentar ditutup.