Merasa Takut Mati, Itu Pertanda Apa?

Spread the love

Saya agak tidak percaya ketika tiga orang teman yang masih tergolong muda, dalam rentang waktu yang tidak berselang lama, satu per satu mengeluhkan kondisi kesehatannya yang, menurut saya terbilang aneh ketika mereka alami sangat dini, yaitu sering merasa terganggu dengan pikiran dan perasaan takut mati.

Teman-teman itu, usianya tidak terpaut jauh dengan saya. Masih di bawah 35 tahun. Mereka juga memiliki kualifikasi pendidikan yang baik, paling tidak sudah menyelesaikan kuliah dan kini  bekerja dengan pendapatan per bulan terbilang cukup memenuhi kebutuhan harian. Mereka juga sudah menikah, memiliki istri yang tampaknya baik dan dianugerahi anak-anak yang pintar dan lucu.

Beberapa faktor itu saja sudah berhasil membuat saya heran, kenapa mereka masih bisa mengalami hal yang tidak umum seperti itu?

Saya awalnya mengira, kondisi hidup mereka yang kelihatannya sudah baik seperti itu, mestinya tidak pantas mengalami perasaan cemas berlebihan tentang hidup ini.

Rupanya saya keliru. Kemudian saya makin menyadari, betapa masalah kesehatan mental itu tidak mudah diselesaikan. Masalah kejiwaan ini penuh misteri karena wujudnya tidak kasat mata.

Berbeda dengan masalah fisik, misalnya ada luka, kita bisa melihat secara jelas bagian mana yang rusak; seberapa banyak darah yang keluar dan sebagainya.

Mungkin karena alasan itulah, masalah kesehatan mental masih belum mendapat perhatian lebih bila dibandingkan masalah kesehatan fisik.

Kalau orang yang tidak berani mengungkapkan perasaan atau pikirannya sejak awal, lama-kelamaan akan terlihat juga wujud gangguan mental yang lebih parah.

Kembali lagi pada kasus tiga teman tadi, mereka sama-sama mengaku tidak memiliki alasan yang jelas sebagai penyebab rasa cemas itu. Intinya mereka cemas dan takut tidur karena seperti mau meninggal dunia. Setiap kali memejamkan mata, mereka merasa seolah-olah rohnya keluar bersama hembusan napas. 

Masalah ini sudah berlangsung lama, sehingga tidak heran bila mereka mengaku sudah mencari pertolonga ke mana-mana. Awalnya mereka mengira ini disebabkan masalah fisik, gangguan jantung, misalnya, sehingga berapa kali mengunjungi dokter atau rumah sakit.

Hasil pemeriksaan menunjukkan mereka baik-baik saja, padahal ketika perasaan cemas itu sedang memuncak, mereka merasakan jantung berdebar dan sedikit nyeri dari area dada. Kondisi yang menyimpan banyak misteri ini membuat mereka dan keluarganya selalu bertanya-tanya, pada diri sendiri maupun orang di sekitar.

Berbagai saran lain pun mereka coba. Mulai dari mengunjungi pendoa hingga ke dukun sudah dijalani, termasuk melakukan berbagai metode yang mereka anjurkan.

Hasilnya belum menunjukkan adanya perubahan yang signifikan, sehingga mereka berencana mencari pertolongan pada psikiater. Sebagai pendengar yang merupakan tenaga kesehatan, saya sepakat dan mendukung rencana mereka yang terakhir itu.

Setelah mendengar langsung pengalaman tiga orang teman tersebut, saya kemudian bertanya-tanya, apakah gejala seperti itu merupakan sesuatu yang normal bagi manusia?

Baca Juga: Laporan Korban yang Koit dan Kegelisahan Seputar Covid-19

Apakah kalian juga pernah merasakan hal yang sama; merasa cemas karena takut mati?

Masalah Kesehatan Jiwa

Berbekal rasa penasaran yang mendasari pertanyaan di atas, saya berusaha mencari jawaban, hingga akhirnya menemukan teori manajemen teror.

Teori ini menggambarkan suasana teror yang dialami seseorang akibat konflik psikologis, di mana manusia punya keinginan untuk hidup, namun tetap menyadari kalau kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari.

Ketakutan akan kematian merupakan salah satu kecemasan manusia yang paling dalam. Kondisi camas yang berlebihan ini dipicu oleh berbagai stresor (penyebab stres) yang beragam.

Apa yang dialami tiga teman saya, memang belum bisa dipastikan apa penyebabnya secara spesifik.

Saat ini, pandemi Covid-19 menjadi salah satu stresor yang  terbilang kuat pengaruhnya hingga merangsek kesehatan mental hampir setiap orang di seluruh dunia.

Wabah yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 ini dilaporkan terus meningkat, baik orang yang terinfeksi maupun yang meninggal dunia. Setiap hari, kita selalu disuguhi berbagai berita yang berkelindan dengan hoaks sehingga kadang menimbulkan rasa khawatir.

Sebagai masalah yang terbilang baru dan menimbulkan banyak ketidakpastian, sangat wajar bila kita mengalami ketakutan, kekhawatiran, dan stres.

Namun, gejala-gejala psikologis yang dianggap sebagai respons normal tersebut, apabila tidak diurai dengan tepat, lama-kelamaan bisa memicu masalah mental yang lebih besar –seperti contoh kasus di atas.

Baca Juga: Meredam Kepanikan Akibat Desas-Desus Covid-19

Atau respons lain yang timbul akibat gangguan kesehatan mental selama ini termanifestasi dalam bentuk peningkatan gejala depresi hingga bunuh diri; pada anak-anak mengalami kesulitan berkonsentrasi, mudah tersinggung, gelisah dan gugup; peningkatan konsumsi alkohol dan masalah lainnya.

WHO mendefinisikan kesehatan mental sebagai suatu keadaan sejahtera di mana seseorang menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi bagi komunitasnya.

Mari Berinvestasi untuk Kesehatan Mental

Pengaruh Covid-19 pada kesehatan mental tidak terbantahkan lagi. Sudah banyak penelitian yang mengonfirmasi kebenaran fakta tersebut.

Bagaimana tidak, satu virus itu berhasil menciptakan persoalan turunan lainnya seperti takut tertular, isolasi sosial, kehilangan anggota keluarga, kehilangan pekerjaan dan pendapatan yang ikut berkurang, dan seterusnya.

Tidak heran bila perayaan Hari Kesehatan Mental Sedunia pada tanggal 10 Oktober 2020, WHO secara khusus menyerukan tentang pentingnya meningkatkan investasi dalam kesehatan mental.

Takut Mati

Kata “investasi” yang dimaksud tentunya tidak terbatas pada penanaman modal atau uang, tapi sebuah ajakan untuk benar-benar menyadari tentang pentingnya masalah kesehatan mental.

Tema yang digaungkan WHO dan lembaga kesehatan lainnya, Move for mental health: let’s invest, didasari pertimbangan bahwa dampak psikologis atau kesehatan mental akibat Covid-19 akan terus berkembang pada masa mendatang.

Kondisinya bisa makin memburuk bila kita abai. Sebaliknya, kalau saja ajakan untuk berinvestasi pada kesehatan mental itu bisa diikuti, kemungkinan dampaknya lebih ringan atau secara umum kita mampu beradaptasi.

Sejauh ini, sudah banyak rekomendasi yang dikeluarkan oleh ahli kesehatan mental –baik secara individu maupun kelompok yang mengatasnamakan lembaga tertentu—untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19 atau pada kondisi bencana besar lainnya.

Salah satunya seperti yang dituliskan oleh Felipe Ornell, dkk., di mana mereka telah menyusun rekomendasi secara komprehensif untuk kalangan pemerintah, individu, kelompok khusus (anak-anak dan lansia), dan rumah sakit.

Secara umum, WHO menganjurkan agar secara individu kita mengambil tindakan nyata dalam mendukung kesehatan mental kita sendiri, dan memberi dukungan pada teman dan keluarga yang sedang berjuang.

Sebagai pemberi kerja, kita diminta untuk mengambil langkah-langkah penerapan program kesehatan untuk karyawan. Sedangkan pemerintah diharapkan berkomitmen membangun atau meningkatkan layanan kesehatan mental.

Masih banyak pula peran penting lainnya. Sebagai penulis bidang kesehatan, misalnya, saya berusaha mencari informasi untuk menghasilkan tulisan sederhana ini. Kemudian yang paling penting lagi, Anda sebagai pembaca, bisa mendiskusikan topik ini lebih lanjut di kolom komentar, serta tidak lupa membagikan di media sosial masing-masing agar pesan kesehatan mental ini bisa menyebar luas. Salam sehat!


Oleh: Saverinus Suhardin
 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari Saverinus Suhardin

 

 


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai