Standar New Normal WHO Tidak Bisa Diterapkan di NTT, Lalu Kita Mengikuti Pedoman yang Mana?

Spread the love

Bila kita memakai indikator ketersediaan fasilitas laboratorium RT-PCR untuk pemeriksaan Covid-19 di NTT yang mengalami “delay” cukup lama dibandingkan dengan daerah lain, mestinya saat ini hingga berapa minggu atau bulan ke depan, kita masih perlu gencar melakukan pengendalian penyebarannya dengan: melakukan pemeriksaan yang masif; melakukan isolasi yang ketat dan terpantau bagi yang positif; memastikan pelaksanaan isolasi mandiri sesuai anjuran bagi yang pernah kontak dekat dengan pasien positif atau pernah berpergian ke zona merah; dan masyarakat lainnya tetap setiap menjalani berbagai upaya pencegahan.

Ketika di Jawa dan beberapa daerah maju lain yang mempunyai fasilitas yang lebih lengkap untuk pemeriksaan dan penanganan Covid-19 mulai melaksanakan berbagai upaya pengendalian sebaran virus Corona (SARS-CoV-2), kita di NTT belum bisa berbuat banyak karena terkendala fasilitas laboratorium.

Kemudian, Pemprov NTT terus berjuang hingga bisa menyediakan sarana untuk memastikan seseorang menderita Covid-19 atau tidak. Kita juga perlu mengapresiasi karena pemerintah juga menyediakan pesawat terbang untuk menjemput spesimen hasil swab atau sapuan tenggorokan dari berbagai daerah di NTT.

Baca Juga: COVID-19 Makin Menghampiri, Kita Perlu Tahu Cara Perawatan Mandiri

Sayangnya, saat daerah lain yang lebih dulu melakukan penanganan pagebluk mulai memikirkan untuk melonggarkan PSBB dan menyiapkan skenario “new normal” karena berdasarkan evaluasi menunjukkan sudah ada pengendalian sebaran virus, kita di NTT yang baru merangkak perlahan dari belakang juga langsung ikutan berencana seperti mereka. Apa tidak terlalu buru-buru?

Saya lebih memilih berhadapan dengan virus ini walaupun nyawa taruhannya, daripada berdiam diri dan bersembunyi dan kemudian masyarakat mati karena kelaparan,” begitu salah satu pernyataan Bapak Gubernur NTT, Victor Laiskodat, yang dikutip Kompas.com saat menyampaikan rencana kembali beraktivitas normal atau kenormalan baru di seluruh wilayah NTT.

Seperti pemerintah pusat, Pemprov NTT tidak ingin dampak ekonomi dari wabah ini terus menggerus hingga ke titik nadir.

Ketika pandemi ini dihadapkan dengan pertimbangan sektor ekonomi, pilihannya menjadi sangat dilematik. Mana yang lebih dulu diselamatkan? Situasi gamang ini, khususnya dalam konsteks kehidupan di NTT, tergambar baik dalam tulisan  Petrus Kanisius Siga Tage yang berjudul “Sesudah Makan Simalakama.”

Kini jawaban dari pertanyaan bagian akhir tulisan itu makin jelas, setelah makan simakala tahap pertama, pemerintah menyiapkan racikan simakala berikutnya. Suka tidak suka, siap tidak siap, kita akan menghadapi kenyataan ini. 

Syarat Memulai New Normal

Setidaknya ada tiga kriteria bagi suatu negara atau daerah untuk memutuskan mulai melonggarkan PSBB atau memulai hidup dengan kelaziman baru, yaitu angka reproduksi virus yang biasa disebut angka R; tingkat keparahan kasus; dan jumlah kasus yang positif.

Saat ini, angka reproduksi virus (R) menjadi indikator yang sering dijadikan acuan bagi pemerintah dalam memutuskan tindakan penanganan Covid-19. Bila angka R-nya di bawah satu atau mendekati nol, itu artinya penyebaran virus lebih terkendali, sehingga kehidupan normal baru bisa dimulai.

Bonza, sebuah platform yang menghitung dan melaporkan angka reproduksi virus (R) berdasarkan wilayah, kemarin Rabu (27/5) merilis 14 provinsi yang nilai R-nya di bawah 1. Dari indikator ini, kita di NTT memang termasuk salah satu yang layak untuk kembali hidup normal karena angka R-nya masih di bawah 1, yaitu 0,90.

Meski begitu, angka ini bisa terus berubah dari waktu ke waktu sesuai kondisi di lapangan. Bila berhasil mempertahankan angka R di bawah 1 selama 14 hari berturut-turut, maka dianggap layak menerapkan new normal.

Angka R di NTT itu masih diragukan keakuratannya karena cakupan tes belum begitu masif. Hingga Jumat (29/5), Gugus Tugas Posko Covid-19 NTT melaporkan jumlah sampel yang sudah dikirim baru mencapai 916 unit, dengan hasil terkonfirmasi positif sebanyak 91 orang.

Bila dibandingkan dengan hasil sebelumnya, perkembangan sebaran penyakit ini masih sangat fluktuatif. Karena itu, menurut penulis, keputusan untuk kembali hidup normal dengan pendekatan baru itu mesti dibuat lebih hati-hati, sehingga efek penyebaran yang belum terkendali ini tidak makin memberatkan, khususnya lagi bagi sistem kesehatan.

Hidup New Normal di NTT

Kalaupun rencana penerapan new normal di NTT ini tetap berjalan, kehidupan normal baru seperti apa yang bisa kita praktikan sehari-hari? Sebab, menurut Bapak Gubernur NTT, standar yang direkomendasikan WHO terkait penanganan Covid-19 tidak serta merta bisa diterapkan di semuanya di Indonesia, terutama di NTT. “Lalu, kita mengikuti pedoman yang mana?” Barangkali ini menjadi pertanyaan kita semua.

Apa yang disampaikan Gubernur NTT itu tidak ada salahnya, sebab karakteristik di setiap wilayah sangat berbeda. Penerimaan terhadap aturan baru tentunya berlangsung alot dan menimbulkan banyak perdebatan. Kondisi seperti ini lumrah terjadi di berbagai bidang. Misalnya dalam bidang penjaminan mutu perguruan tinggi, Kemernterian Pendidikan RI hanya memberi standar-standar minimalnya saja. Selebihnya, perguruan tinggi itu sendiri yang menetapkan standar sesuai kondisi setempat, asalkan tidak bertentangan atau kurang dari ketentuan umum tadi.

Bila berkaca dari contoh tersebut, maka dari pedoman utama WHO itu, kita mestinya memformulasikan standar baru yang lebih sesuai dengan kondisi lokal. Saat ini pemerintah Indonesia telah mengeluarkan perarutan pencegahan Covid-19 di tempat kerja era new normal dengan menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/328/2020.

Peraturan itu lebih fokus pada tempat kerja perkantoran dan industri, sedangkan kondisi pekerjaan utama masyarakat NTT lebih dominan pada bidang pertanian, peternakan, dan kelautan.

Apakah sudah ada petunjuk pencegahan dan pengendalian Covid-19 saat menggembalakan sapi?; saat ke ladang jagung?; saat menangkap ikan di laut?; dan sebagainya. Sependek yang penulis ketahui, saat ini belum ada pedoman yang sarat dengan nilai lokalitas di NTT.

Mestinya, kalau kita menganggap standar dari luar itu kurang cocok, maka siapkan pedoman lokal yang tetap seirama. Jangan sampai masyarakat beranggapan semua yang direkomendasikan WHO selama ini kurang cocok, sehingga pada era new normal kita berlaku bebas saja, yang penting bisa kerja untuk cari makan lagi.

Padahal tidak seperti itu. Pedoman umum dari WHO seperti kebiasaan cuci tangan, jaga jarak aman, hindari kerumunan, hindari menyentuh area wajah, patuhi etika batuk, pakai masker, dan anjuran lainnya tetap relevan di mana saja dan sampai kapan saja.

Era new normal itu pada dasarnya hanya meneruskan upaya pencegahan yang sudah kita ketahui dan praktikkan selama masa kewaspadaan selama ini. Kemungkinan kita tidak bisa ke pola hidup sebelum pandemi, karenanya jadikan upaya pencegahan Covid-19 sebagai gaya hidup baru.

Daripada menunggu pedoman lokal, lebih baik kita berpikir kreatif saja dengan memanfaatkan sumber terpercaya. Selain dari WHO, baca juga peraturan Kemenkes RI, petunjukan dari Badan POM, dan sumber terpecaya lainnya.

Salah satu yang mungkin memudahkan Anda, ikuti terus saja di rubrik POSE (Pojok Sehat) arnolduswea.com, karena media ini secara konsisten akan menyajikan intisari informasi kesehatan yang penting untuk kita semua. Salam sehat.

Oleh: Saverinus Suhardin

 

Baca juga tulisan lain di kolom Pojok Sehat atau tulisan menarik lainnya dari  Saverinus Suhardin


Spread the love

Mungkin Anda Menyukai

2 tanggapan untuk “Standar New Normal WHO Tidak Bisa Diterapkan di NTT, Lalu Kita Mengikuti Pedoman yang Mana?

  1. Tulisan yang menarik. Terkait “NTT MENOLAK WHO”, edukasi harus, terus dan tetap dijalankan, tidak sebatas omong-omong, apalagi iming-iming. Mungkin kita harus menjadi pelajar sebelum mengajar, sampai orang yang memberi gelar (bukan kita yang menggelari diri). Pengetahuan itu dinamis. Dalam praktek pembelajaran, bukan saja “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” ataukah murid berbalik kencingi guru bahkan guru membalas kencing berlari, murid malah memilih untuk onani. Salam dari Kupang

Komentar ditutup.